I'm Officially Yours Chapter 8

Chapter 8



Kehormatan



Disclaimer: credit to Usagistu


"Aku sudah tidak apa-apa, Harry," ujar Hermione, tersenyum lemah. Saat ini dia sedang duduk bersandar di atas ranjang dengan dua buah bantal menyangga punggungnya. Sementara Harry duduk di samping ranjangnya, menggenggam salah satu tangan Hermione. Wajahnya masih diliputi kecemasan. "Kau sudah bisa pulang sekarang. Tak perlu memaksakan diri menemaniku sampai malam."

Harry melirik arlojinya, sedikit terkejut menyadari kalau hari hampir beranjak petang. Sejak kejadian di toko buku tadi, pikirannya hanya terfokus ke Hermione. Ia sudah menawarkan diri untuk mengurus laporan kasus Hermione dan mengantarkan gadis itu berobat ke St Mungo, tapi jawaban Hermione membuat Harry bertanya-tanya. Hermione tidak mau melaporkan Ron dan juga lebih memilih diobati kekasihnya sendiri daripada ke St Mungo.

Dalam hati kecilnya, diam-diam Harry kalut. Ia tak bisa membayangkan harus memilih satu di antara dua sahabat terbaiknya, dan kenyataan bahwa Hermione tidak ingin memperpanjang masalah menegaskan dirinya kalau gadis itu belum banyak berubah. Hermione yang sekarang ini masih tetap Hermione yang dulu. Hermione yang lebih suka menyimpan kesedihan dan masalahnya seorang diri, dan berusaha sebisa mungkin untuk tetap tampil tegar di hadapan semua orang.

"Kau yakin?" Harry memeriksa pipi Hermione yang tadinya lebam. Severus bisa memulihkan luka lebam itu dengan sekali lambaian tongkat dan sesendok ramuan penghilang rasa nyeri. Kini lebam itu berangsur-angsur menghilang. "Beruntungnya kau punya kekasih yang hebat, Mione," puji Harry tulus, melirik Severus yang sedari tadi diam seribu bahasa. Pria berpakaian serba hitam itu hanya berdiri mematung di sudut kamar, seolah berusaha menyamarkan diri di dalam kegelapan. Sinar matahari tenggelam yang menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela menyorot figurnya yang kokoh sekaligus misterius. Tiba-tiba saja Harry jadi teringat dengan sosok Batman.

"Dia hal terbaik yang pernah datang dalam hidupku, Harry." Senyum Hermione sedikit melebar, tanpa sadar ia meraba perut bagian bawahnya. "Salah satu hal terbaik yang pernah datang dalam hidupku, lebih tepatnya."

Harry sempat tercengang sejenak. "Apa kau…?"

Hermione menggeleng, lekas-lekas menempelkan jari telunjuknya ke depan bibirnya, dan berbisik di telinga Harry. "Aku belum tahu. Belum sempat mengeceknya dengan alat uji kehamilan." Severus memang lebih memilih untuk tidak terlibat dalam pembicaraan, namun Hermione sadar betul kalau pria itu diam-diam mengamati mereka dari sudut ruangan dengan tatapan elangnya. Dan andaikan benar ia hamil, Hermione merasa belum siap untuk mengatakan hal ini kepada pria itu. Maka ia pikir sebaiknya Severus jangan sampai tahu dulu.

"Well, segeralah mengecek, kalau begitu. Tidak baik terus memendam rasa penasaran dan ketidakpastian begini. Apalagi untuk hal sepenting ini," Harry balas berbisik. Hermione hanya mengangguk kalem.

"Jujur, aku ikut senang melihatmu bahagia." Harry meremas tangan Hermione sambil tersenyum. "Tapi aku tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk sahabatku yang satu lagi…"

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ronald?" tuntut Hermione. Ia memang sudah tidak peduli lagi dengan kabar mantan tunangannya itu sejak setahun yang lalu. Severus berhasil mengalihkan dunianya. Namun setelah bertemu dengan Ron siang ini, rasa ingin tahunya bangkit.

Harry menarik nafas panjang. Bibirnya sedikit bergetar saat mulai bercerita. "Sekitar sebulan setelah kalian putus, Ron dan Lavender menikah. Lalu lima bulan kemudian Lavender melahirkan sepasang anak kembar…" Cerita Harry terhenti saat menyadari ekspresi Hermione. Gadis itu terlihat seolah baru saja mendapat tamparan keras di wajahnya. "Aku tahu. Maaf, Hermione. Dengan menyesal harus kukatakan kalau ini artinya Ron sudah lama mengkhianatimu sejak kalian masih berhubungan. Dia sudah menghamili Lavender dua-tiga bulan sebelum kalian putus. Aku juga baru tahu hal ini saat anak-anak Ron lahir."

Hermione memaksakan seulas senyum kaku. Hatinya terluka, tentu saja. Tapi sakit hatinya ini tidak bertahan terlalu lama. Sorot mata Severus di kejauhan memberinya secercah semangat di dada. "Kalau ada sesuatu yang perlu kusesali saat ini adalah kenapa aku tidak segera meninggalkan Ron selagi aku bisa. Saat aku masih jadi tunangannya, dia sama sekali tidak pernah membicarakan tentang rencana pernikahan kami. Harusnya aku sudah bisa membaca pertanda ini. Tapi aku terlalu keras kepala." Hermione merasakan genggaman tangan Harry semakin erat. "Aku tidak apa-apa, Harry. Sejujurnya, aku malah bersyukur bisa putus dari Ron dengan cara tragis. Kalau tidak, pasti aku tidak akan bisa bertemu dengan Severus."

Di sudut ruangan, Severus menyeringai, berpuas diri. Ia memalingkan muka, memilih untuk menikmati pemandangan matahari terbenam, sambil tetap memasang telinga baik-baik untuk mengikuti perbincangan ini.

"Teruskan ceritamu. Aku masih ingin dengar," pinta Hermione.

"Well, tampaknya Ron memang belum siap untuk berumah-tangga dengan siapa pun dan Lavender bukanlah tipe wanita yang cepat puas. Aku tahu Ron berusaha keras membahagiakan keluarganya, tapi Lavender terlalu sering menuntut dan membuatnya stress. Mereka sering bertengkar dan ini berimbas kepada pekerjaan Ron sebagai Auror. Kau pasti sudah paham bagaimana Ron jika sedang punya masalah… saat ia masih jadi Kiper tim Quidditch Gryffindor, misalnya.

"Untungnya dia ditempatkan di tim yang hebat dan mengingat nama baik ayahnya di Kementerian, posisinya masih tetap aman sampai sejauh ini. Tapi kalau performa Ron seperti ini terus, dia akan kesulitan naik pangkat…" Harry menghela nafas panjang. "Dan kemarin malam dia datang ke apartemenku dalam kondisi kacau. Dia bilang Lavender minta cerai."

Hermione tertegun. "Merlin… Kasihan Ron.."

"Ini bukan pertama kalinya Lavender minta cerai. Meski begitu, kukira dia hanya menggertak saja. Aku tahu dia masih sangat mencintai Ron dan tak mau melepaskannya. Biasanya sehari-dua hari kemudian mereka akan baikan lagi. Bagaimana pun juga mereka punya sepasang bayi kembar yang masih membutuhkan orang tuanya," ujar Harry kalem. "Dan di saat yang bersamaan, Hedwig datang membawa surat balasanmu atas suratku beberapa hari yang lalu, atau itulah asumsiku mengingat aku tidak pernah membaca surat balasanmu."

Hermione mengangguk. "Aku membalas suratmu yang kapan hari itu, Harry, dan dalam suratku itu aku mengabarkan toko buku milikku. Jadi… kurasa Ron mengambil surat yang bukan miliknya…? Oh, astaga… Aku sempat berprasangka buruk terhadapmu. Maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Dalam hal ini aku tetap bersalah karena tidak menaruh curiga saat tahu Hedwig tak membawa surat balasanmu seperti biasanya. Aku kira kau sedang sibuk dan akan membalas suratku dengan burung hantumu sendiri suatu saat. Maafkan aku juga, Mione." Harry mengusap-usap punggung tangan Hermione sambil curi-curi pandang ke arah Severus. Pria itu masih bertahan di tempatnya. Tidak banyak bereaksi, selain hanya melipat kedua tangannya di dada. "Satu hal yang perlu kau ketahui, aku tidak pernah membocorkan rahasiamu kepada siapa pun."

"Kejadian siang ini di luar kuasamu, Harry. Aku bisa mengerti," balas Hermione lembut. "Aku tidak menyalahkan siapa-siapa." Hermione melempar tatapannya ke arah Severus yang kali ini balas menatapnya dengan ekspresi tidak setuju. "Aku hanya menyalahkan alkohol."

"Yeah. Kita berdua tahu Ron tidak sejahat itu. Dia akan terbangun besok pagi tanpa mengingat apapun mengenai kejadian tadi siang. Aku tidak bisa mengatakan aku senang kau tidak melaporkan Ron ke pihak berwenang, tapi aku juga tidak bisa mengatakan kalau aku senang melihatmu disakiti. Kalian berdua sudah seperti saudaraku sendiri. Aku bingung…" Harry memijat keningnya. Tiba-tiba saja ia merasa pening.

"Harry, aku tidak apa-apa. Sungguh!" sahut Hermione buru-buru. "Aku hanya sedikit terguncang. Itu saja."

Harry menatap Hermione dengan sorot menyelidik. Dia tahu Hermione hanya berusaha menghiburnya. Perasaan Harry belum juga membaik meski Hermione menepuk-nepuk bahunya lembut, mencoba menentramkannya.

"Kukira yang bisa kulakukan untukmu hanya ini, Mione," ujar Harry sambil mengeluarkan tongkatnya dari saku celananya. Ia mengacungkan tongkatnya ke arah Hermione sambil bergumam lirih, menghasilkan sehelai benang perak berkilau dari ujung tongkatnya. Seketika benang itu membelit kedua pergelangan tangan Hermione, sebelum akhirnya benang perak itu hilang tanpa bekas. "Mantra pelindung untuk para saksi dan korban kejahatan. Dengan ini Ron tidak akan bisa berdekatan denganmu dalam radius lima ratus meter. Dia akan terpental jauh-jauh kalau nekat menerobosnya."

Hermione tertegun sejenak sebelum akhirnya tersenyum lega. "Oh, Harry… terima kasih banyak!"

"Well, sebenarnya mantra itu hanya boleh digunakan untuk saksi dan korban kejahatan yang kasusnya resmi dilaporkan ke Auror. Tapi kupikir tak masalah kalau aku sedikit melanggar aturan demi keselamatan kedua sahabatku." Harry tersenyum jahil saat melihat ekspresi tidak setuju Hermione. "Oh, ayolah. Kita Gryffindor, Mione. Kita sudah terbiasa sedikit melanggar aturan demi kebaikan bersama, kan?" Kali ini Harry menambahkan dengan nada sedih, "Lagipula aku tidak ingin melihat kalian berakhir di St Mungo atau Azkaban."

"Atau pemakaman," timpal Hermione, melirik Severus yang tetap bungkam seribu bahasa. Hermione curiga kalau Severus masih berniat untuk membunuh Ron, dan ini membuatnya cemas sekali.

"Yeah. Pemakaman. Itu yang terburuk." Harry melirik arlojinya dan melompat dari kursinya dengan ekspresi panik. "Astaga! Sudah pukul enam? Ginny akan marah sekali kalau aku sampai terlambat. Dia berjanji akan datang untuk makan malam di apartemenku, sekaligus aku ingin memperkenalkan dia dengan ibuku…"

Hermione mencelos. Seketika itu juga ia teringat kepada sosok Lily Potter. Bahkan Severus yang tadinya berpura-pura acuh kini terang-terangan mengalihkan perhatiannya ke Harry. Hermione menyadari hal ini dengan perasaan yang sukar diungkapkan.

"Kau harus buru-buru, kalau begitu," ujar Hermione sambil memaksakan seulas senyum. "Tapi sebelumnya, bisa kau beritahu aku… Err, bagaimana kau bisa bertemu dengan Severus?" Sedetik kemudian Hermione sadar kalau ia sudah punya jawaban atas pertanyaannya ini, mengingat tadi siang Oliver Wood mengatakan kalau ia melihat ada banyak Auror di acara peluncuran Wolfsbane Nomor 5 saat ia melintas di depan Prince's Apothecary..

"Kebetulan aku ditugaskan menjaga pelaksanaan acara peluncuran perdana Wolfsbane Nomor 5. Aku kebagian mengawal Lucius Malfoy." Harry tersenyum masam. Dia tidak pernah suka dengan jutawan arogan itu. "Ternyata selain sebagai sponsor utama Wolfsbane Nomor 5, Mr Malfoy adalah sahabat baik Severusmu. Aku sempat menguping pembicaraan mereka dan Severus menyebut namamu sebagai calon istrinya. Dari situlah aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Untung saja dia sudah pernah mendengarku darimu. Dia sudah tahu kalau aku sahabatmu dan mengajakku menyusulmu ke toko buku untuk kemudian makan siang bersama…" Harry tak jadi melanjutkan ceritanya. Hermione pasti sudah tahu sendiri bagaimana kelanjutannya. "Maaf, Mione. Kupikir aku harus segera pergi. Ginny dan ibuku pasti sedang menungguku."

Hermione mengangguk, tersenyum manis saat Harry memeluk dan mengecup sekilas pipi kanannya. "Terima kasih atas segalanya, Harry. Sampaikan salamku untuk Ginny dan… ibumu." Sekali lagi Hermione melemparkan tatapannya ke arah Severus. Kekasihnya itu sudah beranjak dari sudut kamar dan kini sedang berdiri tepat di belakang Harry. Ekspresi Severus tak terbaca.

"Sampai jumpa besok. Kuharap kau dan Severus bisa datang ke reuni. Pasti akan sangat menyenangkan bisa berjumpa kalian di sana."

"Akan kuantar kau ke pintu depan," kata Severus. Berbicara untuk pertama kalinya setelah sekian lama bungkam. Harry mengangguk, melambaikan tangannya pada Hermione sebelum berjalan keluar kamar mengikuti Severus.

000000

Sekitar lima menit kemudian, Severus kembali ke kamar dengan membawa nampan berisi semangkuk sup krim ayam yang masih hangat, sepiring biskuit gandum, dan secangkir susu panas. Ia meletakkan semua itu di atas meja yang berada tepat di samping ranjang tanpa mengatakan apa pun.

"Terima kasih," kata Hermione lirih.

Severus hanya mengangguk sambil melambaikan tongkatnya, menyalakan perapian dan semua lilin yang ada di kamar mereka, sebelum akhirnya ia beranjak dari sisi Hermione. Sampai Hermione menyelesaikan makan malamnya, pria itu masih belum ingin mengatakan apapun. Ia hanya berdiri di depan perapian dengan gelas berisi wiski api di tangan kanannya, diam memandangi kobaran api yang menari-nari.

Hermione mengigit bibir bagian bawahnya. Ia benci keheningan semacam ini, membuatnya jadi serba salah. Bagaimana pun, diam tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Dan dengan Severus mendiamkannya seperti ini, kesabaran Hermione habis. Pria itu sudah mendiamkannya sejak tadi siang dan hanya mengatakan beberapa patah kata kepada Harry. Entah kenapa, Hermione merasa Severus sedang menghukumnya.

"Severus…" Hermione bangkit dari ranjangnya, berjalan menghampiri kekasihnya. Severus tidak menyahut. Bahkan menolak menatapnya. "Demi nama Merlin! Katakan sesuatu, Sev! Kau membuatku gila!"

Semenit-dua menit, bibir Severus masih bungkam, sebelum akhirnya ia berucap dengan nada datar."Aku ingin kau mempertimbangkan lagi tentang hubungan kita."

"Apa?" Hermione tersentak. Mempertimbangkan hubungan? Apa maksudnya ini? "Kau ingin memutuskanku di hari di mana kau melamarku?" Sepasang mata coklat Hermione berlinang airmata. Dadanya terasa perih bukan main. "Sehari yang lalu kita baru saja merayakan setahun hari jadi kita, Sev. Kenapa…?"

"Kukira kau sudah tuli. Aku tak pernah berkata ingin putus," potong Severus dingin. Kali ini ia mengalihkan pandangannya dari perapian ke Hermione, menghadiahi gadis itu tatapan mematikan. "Aku hanya ingin kau mempertimbangkan lagi keputusanmu untuk menikah denganku. Apa kau masih ingin menjadi istriku setelah kejadian siang ini?"

"Apa kau masih ingin jadi suamiku?" Hermione balas bertanya, rongga dadanya mulai panas, disesakii rasa sakit hati, sedih, dan marah. Ia berusaha menghapus prasangka buruk tentang kemungkinan Severus jijik kepadanya. Severus bukan orang semacam itu. Yeah, Severus hanya ragu dengan kesungguhan cintaku.

"Jawab saja pertanyaanku!"

"Aku menolak untuk menjawabnya karena jawabannya sudah sangat jelas!" sambar Hermione tak sabar. "Berengsek kau, Severus Snape! Kau meragukan perasaanku kepadamu hanya gara-gara kejadian ini!"

"Apa maksudmu dengan 'hanya'? Kau sendiri tak tahu bagaimana perasaanku melihatmu diperlakukan seperti binatang oleh si bejat itu tepat di depan mataku! Dan pembicaraanmu dengan Harry tadi membuatku nyaris mati berdiri saking geramnya! Apanya yang Ronald tidak bersalah? Apanya yang dia tidak sejahat itu? Demi kolor Merlin, kalian berdua benar-benar sudah hilang akal!" tukas Severus dengan nada tinggi, melotot tajam. "Kehormatanmu adalah kehormatanku juga! Dan bagi seorang Slytherin, kehormatan itu sama harganya dengan nyawa! Camkan itu!"

"Lalu apa maumu?"

Hermione mundur dua langkah saat Severus tiba-tiba mendekatinya dengan raut marah bak binatang buas yang sedang terluka. Mata hitam kelamnya berkilat-kilat murka. Membuat Hermione ketakutan.

"Kau tahu betul apa mauku, dear," desis Severus, menyeringai. Wajahnya hanya berjarak kurang dari dua senti dari wajah Hermione, dan hidung mereka hampir bersentuhan.

Hermione menggeleng sedih. "Tidak. Jangan lakukan ini. Kumohon jangan sakiti Ron!"

"Setelah apa yang ia lakukan kepadamu, bisa-bisanya kau masih melindungi si keparat itu. Benar-benar mantan pacar yang baik," cibir Severus dingin.

"Melindungi Ron? Aku melindungimu, Severus!" Hermione mencengkram kerah baju Severus. Keberaniannya mulai bangkit seiring dengan amarahnya. Ia tak peduli Severus melotot gusar sambil menggertakkan giginya. "Aku tak ingin kau berkeliaran di kota memburu Ron dan merencanakan suatu pembunuhan! Aku masih terlalu sayang kepadamu untuk membiarkan kau dijebloskan ke Azkaban!"

"Bajingan itu pantas mati, Mione!"

"Tapi kau tak pantas masuk Azkaban!" Hermione balas berteriak sampai kerongkongannya perih. "Aku tahu apa yang kau rasakan. Kau marah padaku karena aku tidak melaporkan Ron. Kau marah pada dirimu sendiri karena kau merasa gagal melindungiku. Kau merasa sangat bersalah padaku dan berusaha mencari pelampiasan. Aku tahu itu, Severus!" Airmata Hermione meleleh membasahi kedua pipinya. Sedih bercampur marah. "Kumohon jangan lakukan hal bodoh! Lucius Malfoy mungkin bisa melindungimu dari Rita Skeeter dan berita sampahnya. Tapi aku tak yakin dia bisa melindungimu kalau kau menjadi terpidana pembunuhan. Pikirkan reputasimu!"

"Reputasiku tak berarti apapun kalau aku tak bisa melindungimu! Kau tahu apa? Persetan dengan reputasi! Aku memang bukan orang suci!"

"Kalau begitu pikirkan tentangku! Pikirkan bagaimana hidupku tanpamu kalau kau sampai dijebloskan ke Azkaban! Aku masih sangat membutuhkanmu, bangsat!" Hermione menyandarkan kepalanya ke dada Severus, terisak-isak. Kedua tangannya masih mencengkram erat kerah baju pria itu. Beberapa saat kemudian ia merasakan tangan Severus meraih pinggangnya dan menariknya ke dalam pelukannya.

"Kau belum pernah semarah ini kepadaku," ujar Severus dengan nada lembut. Dia sangat shock mendengar umpatan kasar Hermione tadi. Hermione yang ia kenal belum pernah mengumpatnya, semarah apapun dia. "Apa kau sedang PMS?"

"Aku serius, Sev!"

Severus tak menyahut, salah satu tangannya sibuk menghapus airmata dari wajah Hermione. Jari-jarinya yang panjang menyibak helai-helai rambut yang jatuh menutupi wajah kekasihnya itu.

"Berjanjilah kepadaku kalau kau tak akan membunuh Ron atau siapapun juga!" tuntut Hermione, masih terisak. "Berjanjilah, Severus!"

Saat Severus tak juga menanggapi, Hermione menengadah, mencermati seperti apa ekspresi kekasihnya itu. Wajah Severus tak terbaca. Mulus dan tanpa emosi meledak-ledak seperti tadi. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu yang sukar untuk diputuskan.

"Ah, sial!" umpat Severus lirih, secara mendadak melepaskan pelukannya.

Hermione membekap mulutnya, memekik kaget saat melihat telapak tangan kanan Severus berlumuran darah dan ada beberapa pecahan gelas yang tertancap di sana. Ia lupa sama sekali kalau kekasihnya itu masih menggenggam gelas wiski api selagi mereka bertengkar. Didorong oleh amarahnya yang berkobar dan tak tersalurkan, Severus mencengkram gelasnya terlalu kuat sampai gelas itu pecah dalam genggamannya.

"Astaga, Severus! Kau terluka!"

Jeritan panik Hermione hanya direspon Severus dengan mencabuti pecahan gelas yang menancap di tangannya sendiri. Ekspresinya datar-datar saja. Namun saat mencabut pecahan yang menancap paling dalam, ia mengernyit dan menggigit bagian bawah bibirnya.

"Tolong ambilkan…"

"Aku tahu," potong Hermione, berlari secepat yang ia bisa menuju ke kotak obat tempat Severus menyimpan ramuan obat. Ia mengambil sebotol ramuan pereda rasa sakit dan juga perban. "Biarkan aku saja yang mengobatimu, darling."

Hermione menghampiri Severus, melambaikan tongkatnya dan membersihkan darah yang melumuri telapak tangan pria itu, sebelum kemudian ia mengoleskan ramuan pereda rasa sakit di setiap luka yang ia temukan. Terakhir, Hermione membalut rapi tangan Severus dengan perban.

Severus mengamati semua itu tanpa berkomentar. Kedua mata kelamnya asyik menelusuri wajah cantik yang ada tepat di hadapannya itu. Diam-diam ia menikmati kepanikan di wajah kekasihnya. Kelembutan dan perhatian Hermione ini membuat amarahnya mulai meluntur. Bahkan seketika itu ia kehilangan alasan untuk marah. Setidaknya untuk saat ini.

"Terima kasih," ucap Severus begitu Hermione selesai merawat lukanya. "Kau tahu, sweetheart? Sebenarnya akan lebih baik kalau kau mengoleskan ramuan penutup luka daripada ramuan pereda rasa sakit. Dan seingatku, ramuan pereda rasa sakit itu diminum, bukan dioleskan."

"Oh, astaga! Aku terlalu panik sampai lupa segalanya! Maafkan…"

Hermione tak mampu meneruskan perkataannya karena Severus sudah membungkamnya dengan bibirnya. Pada awalnya Severus menciumnya lembut dan Hermione membalasnya dengan mengulum bibir tipisnya. Sampai kemudian ciuman mereka semakin memanas. Berubah menjadi adu pagut yang penuh gairah. Baik Hermione maupun Severus seakan meleleh setiap kali mereka bercumbu, saling mengklaim bibir satu sama lain sebagai miliknya. Hal terakhir yang mereka sadari saat memisahkan diri adalah posisi mereka berubah, tidak lagi berdiri di depan perapian, melainkan Severus terbaring di lantai dengan Hermione menindihnya.

"Umm, sebaiknya kau melepaskanku sekarang. Punggungku tak terbiasa dengan lantai yang keras dan dingin."

"Oh, maafkan aku." Wajah Hermione merona, cepat-cepat bangkit dari posisinya. Severus hanya tersenyum tipis melihatnya. Ia selalu senang bisa membuat kekasihnya itu tersipu malu.

"Ak—aku akan membersihkan pecahan gelasnya. Akan sangat berbahaya kalau kita sampai lupa, dan… Well, aku akan membersihkannya saja." Hermione berkata gugup sebelum buru-buru meninggalkan kamar. Ia turun ke lantai satu untuk mengambil sapu dan pengki.

Sembari bangun dari lantai, Severus mendengus geli. Salah satu alisnya terangkat. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat kekasihnya tersipu lagi saat kembali nanti.

"Ini hanya perasaanku saja atau kau memang selalu lupa kalau kau ini penyihir? Hogwarts kelupaan mengajarimu mantra Accio, rupanya," sindir Severus saat kekasihnya itu peralatan yang dibutuhkannya. "Lalu sapu dan pengki itu seharusnya bisa bergerak sendiri dengan mantra sederhana. Kuharap aku salah kalau menebak nilai mata pelajaran Mantramu Poor."

"Ejek aku sesukamu, Severus. Aku hanya tidak mau malas bergerak cuma karena aku bisa melakukan hal-hal sederhana dengan sihir. Selama aku masih bisa bangkit dari tempat tidur dan berdiri dengan kakiku sendiri, aku lebih memilih cara Muggle daripada cara penyihir." Meski bantahannya masuk akal, kedua pipi lagi-lagi Hermione merona.

"Kau ini memang selalu keras kepala," cibir Severus dingin, diam-diam menyeringai puas. Ia membuka perban yang dibebatkan Hermione tadi untuk merawat sendiri luka di telapak tangannya dengan ramuan penutup luka, lalu membebatnya kembali. Tangannya akan segera pulih seperti sedia kala besok pagi.

Sementara itu Hermione memunguti pecahan gelas di depan perapian dan menyapu serpihan-serpihan kecil yang tersisa ke pengki. Diam-diam ia bersyukur pecahan kaca itu tidak sampai melukai siapapun saat mereka keasyikan bercumbu tadi.

Setelah memastikan semua beres dan bersih, Hermione turun lagi ke lantai satu untuk membuang pecahan-pecahan kaca itu. Raut Severus masam saat gadis itu kembali ke kamar. Pria itu tampak kurang senang melihat kekasihnya memboroskan tenaga untuk hal sepele semacam ini. Namun ia memilih untuk tidak banyak protes. Perbedaan gaya hidup kaum Muggle dengan kaum penyihir inilah yang justru membuat hidup mereka berwarna.

"Aku lelah. Mungkin sebaiknya aku tidur. Reuni akan diadakan besok malam. Karena itulah besok pagi kita harus memastikan semuanya beres dan siap pakai, padahal kita juga masih harus bekerja di toko sampai sore hari," kata Hermione.

Severus mengangguk."Tidurlah duluan, sweetheart. Aku akan menyusul begitu urusanku selesai."

"Urusan apa?" Kening Hermione berkerut. Kecemasannya muncul lagi. "Kau tidak boleh meninggalkan rumah ini untuk mencari Ron dan melakukan hal bodoh!"

"Merlin! Dasar wanita! Selalu saja berprasangka! Aku hanya ingin menulis surat ke Lucius. Apa itu termasuk kriminal?" omel Severus kesal

"Tapi tangan kananmu kan sedang terluka, darling."

"Kau pikir Pena Bulu Menulis-Sendiri diciptakan tanpa suatu tujuan?" kata Severus sarkas. Saat melihat Hermione menatapnya dengan tatapan sebal, pria itu langsung berbalik pergi. Tempat yang ditujunya adalah ruang belajar di lantai satu.

Masih dongkol, Severus mengenyakkan diri di kursinya, menatap selembar perkamen kosong yang siap pakai. Tidak boleh membunuh Ron, huh? Severus tidak terbiasa melepaskan orang yang dibencinya begitu saja dan menganggapnya seolah-olah tak pernah berdosa. Tidak! Ia tak bisa semudah itu memaafkan Ronald Weasley. Masih ada cara lain untuk menyingkirkan pria itu tanpa harus membunuhnya. Dan meski Severus kurang begitu suka memakai cara halus, tapi rasanya hanya cara inilah yang tidak akan menyolok perhatian. Lagipula si Weasley itu sudah memberinya akses untuk melakukan ini. Sesuai apa yang didengarnya tadi dari perbincangan Hermione dan Harry, kinerja Ronald Weasley di Kementerian tidak terlalu baik.

"Lucius kawan baikku, aku ingin meminta sedikit bantuan mudah darimu…" Severus mulai mendikte. Pena Bulu Menulis-Sendiri pun meliuk-liuk lincah di atas perkamen, menulis kata-perkata untuk baris pertama.

Severus terdiam sejenak, memasang kedua telinganya baik-baik. Ia tak mau mengambil resiko seandainya Hermione mengupingnya dan ia tahu kalau saat ini kekasihnya itu sedang berada di balik pintu. Karena itulah ia mengibaskan tongkatnya ke udara, memasang mantra kedap suara di ruang belajarnya, sebelum kembali mendikte isi suratnya.

Di luar ruang belajar, Hermione merutuk dalam hati. Rupanya Severus tahu kalau ia ingin menguping. Menyebalkan sekali! Apa sih yang sebenarnya sedang direncanakan Severus? batin Hermione tidak tenang. Jika Severus sampai melibatkan Lucius Malfoy ke dalam urusannya, bisa jadi ini adalah urusan yang serius.

Hermione menatap pintu tepat di hadapannya, penasaran sekali. Tapi ia tak mungkin mendobrak masuk. Tidak etis dan pasti akan membuat Severus marah besar. Hermione memutuskan untuk kembali ke kamar tidur setelah menghela nafas panjang beberapa kali. Mungkin memang sebaiknya ia tidur saja.

000000

Disclaimer:Credit to Surrenderdammit


Severus menyeringai, menatap selembar perkamen di atas mejanya. Rupanya Lucius tidak banyak membuang waktunya. Hanya butuh waktu sepuluh menit bagi rekan sesama Slytherinnya itu untuk mengirim kembali burung hantu Severus disertai surat balasan.

Severus sahabatku. Kau tahu kalau aku selalu senang bisa membantumu, meski kau jarang sekali meminta bantuanku. Karena itulah aku yakin ini hal yang sangat penting bagimu. Semua bisa diatur secepatnya. Sampai jumpa di reuni besok. Jangan lupa kenalkan aku dengan calon istrimu, mate.

Lucius.


Yeah, semua bisa kau atur dengan kekuatan uang dan kekuasaan, batin Severus enteng. Tak percuma punya sahabat baik seorang bangsawan sekaligus jutawan seperti Lucius Malfoy. Dengan pengaruh besarnya di Kementerian Sihir, permintaan tolong Severus tadi terasa mudah saja bagi Lucius. Bahkan Athur Weasley tak akan bisa berbuat apa-apa untuk menghalanginya.

Terdengar ketukan pelan dari pintu. Pengetuknya terdengar ragu-ragu atau takut untuk mengganggu.

Untuk sesaat, Severus mengernyitkan dahi. Ia pikir Hermione sudah tidur sejak tadi.

"Masuk!" sahutnya, sambil buru-buru menggulung perkamennya.

Tak lama kemudian Hermione masuk dengan ekspresi cemas. Namun bukan itu yang membuat Severus tertegun dan lupa bernafas untuk beberapa detik.

Sesuatu yang mampu mengalihkan perhatiannya adalah gaun tidur Hermione. Gaun tidur itu berpotongan sederhana dan berenda. Tetap terkesan anggun, meski terkesan sengaja memamerkan sedikit belahan dada dan sepasang tungkai kaki indahnya. Warnanya biru muda lembut dan transparan di bagian lengannya. Merlin, kenapa dia selalu terlihat cantik dengan gaun tidurnya? batin Severus takjub.

"Ya?" Severus berkata dengan nada bosan. Pura-pura tidak antusias dengan kehadiran kekasihnya.

"Urusanmu sudah selesai?"

"Bisa dibilang begitu. Lucius sudah membalas suratku."

"Kau benar-benar hanya mengirim surat ke Lucius?" Hermione berjalan menghampiri meja Severus. Sorot matanya menyelidik.

Salah satu alis Severus terangkat. Ia tak suka urusannya dicampuri. Dengan raut masam, ia menunjukkan stempel lambang keluarga Malfoy yang tercantum di suratnya kepada Hermione, namun cepat-cepat menjauhkannya saat Hermione ingin menyambar surat itu. "Tentu saja aku mengirim surat ke Lucius. Kau pikir aku mau kirim surat ke siapa lagi?" tukasnya jengkel.

Lily Potter, mungkin? jawab Hermione dalam hati. Hanya itu satu-satunya nama yang terlintas di benaknya sejak Harry menyebut-nyebut ibunya tadi. Hermione tahu bahwa Severus hanya mencintai dirinya seorang, rapi ia masih susah menghilangkan rasa cemburunya.

Well, Severus memang tak pernah berbohong. Tapi ia juga suka menutup diri. Antara berbohong atau menutup diri, sepertinya yang terakhir itu yang lebih buruk. Hermione sudah pernah mengalami sakitnya patah hati gara-gara keterlibatan seorang mantan kekasih yang datang kembali sebagai orang ketiga. Jelas ia tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Dan Lily Potter adalah mantan kekasih Severus. Parahnya lagi, dia juga cinta pertama Severus. Sama seperti arti seorang Lavender Brown bagi Ron.

"Boleh aku tahu apa isi suratnya?" pinta Hermione sesopan mungkin. Sebenarnya dia sudah tahu apa jawabannya. Tapi tak ada salahnya mencoba.

"Kusarankan kau untuk memikirkan urusanmu sendiri dan menjauhi apa yang menjadi urusanku, dear." Severus membalas dengan nada yang tak kalah sopan, namun sengaja memilih kata-kata tajam untuk menegaskan kalau ia tidak senang Hermione ikut campur. "Kau pasti tahu apa yang dikatakan orang-orang tentang betapa bahayanya punya rasa ingin tahu yang kelewat besar."

"Tapi kupikir urusanmu adalah urusanku juga. Mengingat kau tadi berkata 'kehormatanku adalah kehormatanmu' atau sesuatu yang terdengar seperti itu."

Berengsek! Berani-beraninya dia menohokku dengan kalimatku sendiri, batin Severus kesal. Di sisi lain dia senang punya kekasih yang tak kalah cerdas. Kecerdasan dan sikap keras kepala Hermione membuatnya tak pernah merasa bosan untuk bertengkar terus-menerus dengan gadis cantik itu.

Pada akhirnya Severus mengangkat salah satu alisnya, menjawab datar sambil menata amarahnya yang mulai bangkit, "Aku yakin bahwa selama kita belum menikah, apa yang menjadi urusanku adalah urusanku sendiri. Akan berlaku sebaliknya jika aku tak sanggup menyelesaikannya seorang diri dan meminta bantuanmu. Walau aku pikir itu mustahil sekali akan terjadi." Melihat Hermione cemberut dan melipat kedua tangannya di dada, Severus segera menambahkan, "Dan percayalah ini tak ada hubungannya denganmu. Ini urusan antar pria."

"Oh, baiklah. Setidaknya isi surat itu bukan tentang suatu permufakatan pembunuhan dengan melibatkan pembunuh bayaran, kan?" tuntut Hermione ngotot. Dia tahu Severus bukan tipe yang mudah mengalah. Pria itu punya ambisi tinggi, setinggi kehormatannya sebagai seorang Slytherin sejati. Severus tidak akan diam saja jika ia menganggap kehormatannya terusik.

"Tentu saja bukan! Lebih baik uangku kuberikan ke pengemis daripada dipakai untuk ongkos membunuh sampah busuk." Ujung bibir Severus berkedut, nada bicaranya masih datar tanpa emosi.

"Kuingatkan kau, Severus. Ron mungkin bukan mantan kekasih yang baik. Tapi dia pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Sampai saat ini pun ia masih kuanggap penting. Dan ini bukan tentang dia sudah menyakitiku dua kali atau apa. Dia adalah salah satu sahabat baikku. Aku masih mencintainya, tentu. Sama seperti cintaku kepada Harry. Cinta seorang sahabat.

"Karena itulah aku mohon kepadamu, jangan balas kejahatan dengan kejahatan. Jangan pernah sekali pun berpikir untuk menyakiti Ron. Aku tak akan pernah memaafkanmu kalau kau sampai menjerumuskan dirimu sendiri, karena bagaimana pun juga, dari semua hal terpenting yang kumiliki, kaulah yang paling penting di antara semuanya. Aku belum pernah mencintai seorang pria sedalam ini, dan aku tak akan pernah melepaskan kau, pria yang paling penting dalam hidupku setelah ayahku. Tak akan pernah!"

Severus terdiam untuk beberapa menit. Ia tak tahu harus berkata apa. Perkataan Hermione membekas begitu dalam di relung hatinya. Selama ini Hermione memang belum pernah memberikan benda berharga apapun sebagai bukti cintanya. Tapi bagi Severus, kesetiaan Hermione nilainya jauh melebihi segalanya. Gadis itu loyal dan pantang menyerah. Benar-benar tipikal Gryffindor sejati.

"Aku tak mau memperdebatkan hal tak berguna. Jadi tolong tinggalkan aku," ujar Severus kalem, mengusir Hermione secara halus. Sepertinya ia butuh banyak merenung malam ini.

Namun Hermione tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menggigit bibir bagian bawahnya sebelum berkata dengan suara bergetar. "Aku ingin meninggalkanmu dan pergi tidur, tapi aku tidak bisa tidur."

"Kau susah tidur?" Severus menatap Hermione lekat-lekat. "Bagaimana kalau kubuatkan Ramuan Tidur Tanpa Mimpi atau Ramuan Penenang?"

Hermione cepat-cepat menggeleng. "Err… Setiap aku memejamkan mata, aku melihat Ron." Hermione menahan nafasnya, mencermati ekspresi kaku Severus. "A—aku… Aku masih bisa merasakan jamahan kasarnya di sekujur tubuhku…" Tanpa sadar, Hermione bergidik, kedua tangannya bergerak menelusuri leher dan dadanya. Tempat di mana Ron menciuminya bertubi-tubi tadi siang.

"Ketakutanmu bisa kumengerti."

"Tidak. Aku tidak takut, Sev," sahut Hermione cepat-cepat begitu melihat sorot pengertian di mata kelam kekasihnya. "Aku hanya… trauma. Aku tidak ingin tidur sendirian."

"Tak perlu gengsi untuk mengaku ketakutanmu, dear. Dan siapa bilang kau akan tidur sendirian? Aku tetap akan tidur bersamamu, kecuali kau ingin aku tidur di sofa malam ini,." balas Severus bijak. Tangan kirinya yang tidak terluka membelai lembut wajah, leher, dan dada Hermione, berusaha menentramkannya. Dalam hatinya ia tak habis pikir mengapa sampai ada yang tega menyakiti makhluk seindah dan selembut ini.

Hermione meraih tangan Severus dan meletakkannya tepat di dadanya, ingin agar kekasihnya itu ikut merasakan bagaimana debar jantungnya saat ini. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Bisa kita tidur sekarang?"

Severus tersenyum tipis. Sepertinya ia harus menunda acara merenungnya malam ini. Ia tak tega menolak permintaan kekasihnya itu. Maka ia pun menggandeng tangan Hermione dan membimbing gadis itu kembali ke kamar tidur mereka. Ia berganti pakaian dulu sebelum menyusul Hermione naik ke ranjang, dan mematikan semua lilin di ruangan itu dengan sekali lambaian tongkat. Suasana berubah gelap gulita. Sempurna untuk memberikan ketenangan dan keintiman.

"Kau tidur dengan bertelanjang dada?" tegur Hermione saat meraba dada bidang kekasihnya. "Merlin, sekarang ini masih musim dingin!"

"Aku tahu. Tapi sejak kita berbagi ranjang, ruangan ini selalu terasa panas bagiku." Severus berbaring santai di samping Hermione. "Kemarilah, love. Aku ingin tidur sambil memeluk tubuhmu yang lembut dan wangi."

Hermione tersenyum manis. Seingatnya mereka belum pernah melewatkan satu malam dengan tidur tanpa berpelukan. Ia tak bisa membohongi hatinya kalau ia sangat menikmati bisa terbangun di setiap pagi dan menemukan dirinya berada dalam dekapan lengan kokoh Severus. Merasa begitu aman dan dicintai.

"Selamat malam, sweetheart."

"Selamat malam juga, darling." Hermione mencium lembut bibir kekasihnya sebelum merebahkan kepalanya di atas dada telanjang pria itu, dan membiarkan dirinya dipeluk erat sampai jatuh tertidur.


Sayangnya masih bersambung



A/N : Satu chapter singkat sebelum satu chapter terakhir.So, please review! Masi ada Ron-bashingnya dikit. Tapi di sini tujuannya hanya untuk melihat bagaimana Severus dan Hermione menyikapi sosok Ron dan kasus chapter lalu dari dua sudut pandang berbeda. Kabar baik, Ron ga akan masuk Azkaban kok, dan saya juga bukan tipe author yang tega mematikan karakter canon (meski jujur aja saya ga begitu suka ama karakter Ron :P). Kabar baik lainnya, laptop saya udah balik lagi. Yippie! Berarti bisa ngetik lebih rajin lagi nih. ^0^

Terima kasih banyak untuk Jeng Oryn atas kritik dan sarannya yang membangun, juga thesaurusnya. –hugs- Terima kasih juga untuk teman-teman lain yang sudah menyempatkan diri mereview, tee-tah, Hikari Uchiha Hatake, Mamehatsuki, lopelope, Sun-T, dan sist Aicchan. Tak ketinggalan juga terima kasih buat my lil sista Linda Winchester dan Stephie Winchester yang udah ngereview via twitter. ^0^

Morning Talk

Disclaimer : I don't own Harry Potter.


A/N : Sebenarnya saya tidak bermaksud mengaitkan cerita di fanfic ini dengan cerita saya di fanfic SevMione sebelumnya yang berjudul Love Game dan I'm Officially Yours. Ending dari fanfic terdahulu tersebut malah masih tanda tanya bagi saya. Btw, cerita di fanfic ini sedikit terinspirasi dari kasus video mirip artis yang menghebohkan di Indonesia dan sampai tersebar di manca negara. Saya bukan penggemar kedua artis yang bersangkutan dan sama sekali tidak bermaksud mencemarkan nama baik mereka (yang sudah tidak baik lagi). Jadi mohon hal ini dipahami baik-baik. Sebagaimana fanfic saya yang sebelumnya, fanfic ini pun hanya sebagai hiburan semata. Peace.


Morning Talk


Disclaimer: thanks to Usagistu


Sinar matahari pagi yang menerobos lewat kisi-kisi jendela membangunkan Hermione Snape dari tidurnya. Wanita itu menggeliat sejenak, melemaskan otot-ototnya yang pegal. Kedua matanya masih terasa berat untuk dibuka. Salah satu tangannya meraba-raba sisi ranjang satunya. Hatinya mencelos saat menyadari sisi ranjang itu kosong. Suaminya pasti sudah berangkat ke tokonya untuk bekerja.

Perlahan-lahan Hermione mencoba duduk di atas ranjangnya. Ia menarik selimutnya yang merosot di sebatas pinggang, berusaha menutupi tubuh bagian atasnya yang terekspose jelas. Sambil memijat area di antara kedua matanya, wanita itu memikirkan suaminya. Ia masih ingat apa yang terjadi semalam. Malam yang melelahkan dan panas, sekaligus malam yang sangat indah baginya. Ia baru saja selesai mandi saat tiba-tiba saja suaminya pulang dan menyergapnya. Setelah dua minggu berpisah, rupanya ranjang adalah satu-satunya tempat tujuan yang disasar oleh pria itu, dan tentu saja Hermione sebagai target empuknya. Semalam penuh pun mereka lalui untuk saling melampiaskan semua kerinduan yang membuncah di dada, sampai akhirnya mereka sama-sama jatuh tertidur karena kelelahan.

Jauh di dalam hatinya, Hermione belum rela berpisah lagi dari suaminya. Ia masih kangen. Sangat kangen, malah. Mereka baru saja menikah tiga bulan yang lalu dan belum sempat berbulan madu karena Severus sudah disibukkan dengan aktivitasnya mengejar gelar Ahli Ramuan Internasional. Tentu saja pria itu harus mengejar beberapa persyaratan demi memenuhi kualifikasi. Severus harus menguasai beberapa bahasa asing dan juga wajib siap sedia jika ada Konvensi Ahli Ramuan Tingkat Internasional yang diadakan di luar negeri. Oleh karena itulah, Hermione harus merelakan suaminya itu untuk selalu berpergian dalam waktu yang tidak sebentar.

Jaringan Floo, Portkey, Apparation, dan sarana transportasi lainnya di dunia sihir memang menunjang untuk mempersempit jarak mereka, namun sebagaimana yang dipahami Hermione tentang suaminya, Severus selalu memisahkan kehidupan pribadi dengan pekerjaannya. Pria itu akan benar-benar fokus kepada pekerjaannya dan melupakan dengan hal-hal di luar itu. Severus adalah seorang workaholic yang ambisius. Hermione tahu betul ini, dan dia bisa mengerti apa alasan Severus untuk tidak menghubunginya sama sekali jika sedang berurusan dengan pekerjaannya di luar negeri, meski itu berarti harus berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu tanpa kontak. Dan semalam adalah malam kepulangan Severus dari Konvensi Ahli Ramuan Tingkat Internasional di Swiss.

Sambil menghela nafas, Hermione memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Whoops! Ia hampir saja terjatuh saat baru saja menapakkan salah satu kakinya di lantai. Dan mendadak saja perut bagian bawahnya terasa ngilu, begitu juga dengan kedua kakinya yang masih terasa lemas.

Sialan, rutuk Hermione dalam hati. Sisa-sisa pertempuran panasnya semalam rupanya belum juga hilang. Berapa kali ia dan suaminya bercinta tadi malam? Tiga atau empat kali? Atau belasan? Hermione sampai lupa untuk menghitung. Ia terlalu gembira menyambut kepulangan Severus. Rasa kangennya selama berpisah harus dituntaskan dan ia tak keberatan harus habis-habisan bergumul. Toh ia sudah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Severus sejak awal pernikahan mereka. Ia sangat mencintai suaminya itu, begitupula sebaliknya.

Hermione merangkak di lantai, meraih jubah mandi yang semalam direnggut Severus begitu saja darinya untuk menyelubungi tubuhnya yang telanjang, dan kini ia berusaha berdiri sambil berpegangan erat di dinding. Setelah berhasil berdiri, wanita itu menghela nafasnya dalam-dalam. Rasa sakit di perut bagian bawahnya belum banyak berkurang, meski kedua kakinya sudah bisa diajak kompromi. Dengan tertatih-tatih, Hermione menuju ke kamar mandi, sekedar untuk mencuci muka, menyisir rambutnya yang kusut, dan menggosok gigi.

Setelah merasa lebih segar sekembalinya dari kamar mandi, Hermione mencermati keadaan kamar tidurnya yang mirip kapal pecah. Tanpa mengeluh ia memungut jubah, kemeja, celana dan celana dalam Severus yang tersebar di lantai. Ia akan memasukkan semua itu ke dalam bak pakaian kotor dan mencucinya nanti. Wanita itu juga tak lupa mengganti sprei kasur mereka dengan sprei yang bersih. Mengingat pergulatan hebat yang terjadi semalam, tentu saja sprei mereka harus segera dicuci.

Sambil membawa sprei kotor dan semua pakaian Severus tadi, Hermione berjalan menuruni tangga. Beberapa kali ia harus berhenti sejenak untuk sekedar bersandar di dinding. Perut bagian bawahnya masih sedikit nyeri.

Sebenarnya ini bukan dikarenakan Severus bermain kasar. Justru sebaliknya, permainan Severus sangat halus. Lembut dan berhati-hati seolah tubuh Hermione tak ubahnya seperti barang yang mudah pecah. Bahkan Hermione harus memohon-mohon kepada Severus agar sudi lebih keras dan lebih dalam. Tapi Severus tidak ingin permainannya menyakiti Hermione. Dia bilang itu karena ia sangat memuja tubuh istrinya.

Meski begitu, tetap saja permainan lembut Severus justru menjadi candu yang memabukkan. Apalagi jika dilakukan secara berulang-ulang seperti semalam. Pada akhirnya tetap saja membuat Hermione jadi kelabakan sendiri. Tenaganya terkuras habis dan sekujur badannya pegal-pegal. Salahnya sendiri sih.

Sesampainya di bawah, Hermione terkejut mendapati Severus sedang berada di ruang tengah. Suaminya itu hanya mengenakan boxer tanpa atasan dan sedang duduk memunggunginya, sambil menggenggam sesuatu yang terlihat sangat menarik perhatiannya. Saking asyiknya, Severus sampai tidak menyadari kehadiran Hermione. Well, setahu Hermione, satu-satunya hal yang bisa membuat Severus keasyikan dan lupa segalanya adalah ramuan. Maka cukup mengherankan melihat betapa asyiknya pria itu dengan benda di tangannya tersebut. Hermione memilih untuk meletakkan bawaannya ke bak pakaian kotor dulu sebelum menegur suaminya.

"Kau sedang apa, hun?" Hermione mengalungkan kedua tangannya di leher Severus dari belakang, dan mendekapnya mesra. "Kukira kau sudah berangkat kerja."

"Oh! Ha—hai, gorgeous!"

Hermione curiga saat melihat Severus gugup dan buru-buru menyembunyikan sesuatu di dalam genggamannya. Dengan gerakan secepat kilat, Severus memasukkan benda itu ke dalam celana boxernya. Kening Hermione semakin berkerut-kerut saat suaminya itu berpura-pura tak terjadi apa-apa. Bahkan dengan kalem, ia meraih kedua tangan Hermione dan mencium kedua punggung tangan Hermione secara bergantian.

"Apa yang kau sembunyikan dariku?" todong Hermione.

"Tidak ada." Salah satu alis Severus terangkat. Ekspresinya datar-datar saja.

Hermione menarik lepas salah satu tangannya dari genggaman Severus, dan merogoh ke dalam boxer Severus, membuat suaminya menggeliat geli saat tangan itu mencengkram benda yang salah di dalam sana. Namun sesaat kemudian Hermione kaget. Benda yang buru-buru disembunyikan Severus di dalam boxernya adalah sebuah telepon genggam.

"Ini telepon genggamku, Sev! Bagaimana bisa ada padamu? Oh, astaga!"

Kedua pipi Hermione merona merah. Sepasang mata coklatnya terbelalak. Untuk sekian kalinya ia terkejut dan mendadak ia malu sekali kepada suaminya. Bagaimana tidak? Telepon genggam itu sedang memutar sebuah video yang ia simpan diam-diam. Tepatnya, video tentang adegan intim antara sepasang orang mirip artis yang sedang heboh di luar negeri.

"Oh astaga? Harusnya aku yang mengatakan hal itu untukmu, sweetheart," ucap Severus dingin. "Oh, astaga, Mione. Bagaimana bisa kau menyimpan gambar stimulasi porno ala Muggle seperti itu?"

Mulut Hermione setengah terbuka. Ia masih shock, hingga kesulitan berkata-kata. Namun sesaat kemudian ia bisa menemukan suaranya kembali untuk beradu argumen. "A—apa? Ta—tapi pertama-tama jelaskan dulu padaku kenapa benda ini bisa ada padamu? Merlin, aku punya privasi, Sev!"

Severus melempar tatapan sedingin es ke arah Hermione. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah. "Well, tadinya aku hanya bermaksud memeriksa siapa saja yang kau kontak selama aku pergi. Kurasa aku punya hak untuk itu. Aku suamimu."

"Ya. Kau punya hak. Tentu. Asal kau tahu saja, aku hanya mengontak kedua orangtuaku dengan produk Muggle ini. Lalu mengontak Harry, Ron, Luna, dan Neville via pos burung hantu. Selain itu tidak ada." Serta-merta, Hermione duduk di pangkuan Severus, dengan sengaja menghempaskan dirinya kuat-kuat dan membuat Severus berjengit kesakitan. Tanggapan Severus tadi membuatnya jengkel.

"Jenggot Merlin! Pantatmu yang seksi itu hampir saja mematahkan barang kebanggaanku, darling! Aku tak mau tanggung-jawab kalau sampai aku tak bisa memuaskanmu lagi nanti!" omel Severus.

"Itu karena kau sudah berani mengutak-atik barang milikku tanpa ijin! Setidaknya kan kau bisa bertanya lebih dulu kepadaku! Aku tidak pernah membohongimu, kan?" Hermione balas mengomel. "Tapi tunggu dulu… Kau bisa mengoperasikan telepon genggam? Sejak kapan?"

Sebagaimana yang diketahui Hermione, Severus jarang sekali bersentuhan dengan dunia Muggle. Apalagi berurusan dengan produk-produk Muggle.

"Kau meremehkanku, love. Aku ini cepat belajar," sahut Severus dengan seringai puas yang biasa ditunjukkannya saat ia berhasil mengakali istrinya. Severus melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Hermione, untuk kemudian mendekap tubuh istrinya erat. "Ada beberapa kenalan ahli ramuan yang membawa benda seperti itu di konvensi. Tadinya aku pikir itu semacam kotak kecil untuk berkomunikasi. Tapi rupanya juga bisa jadi radio, kamera, perekam gambar, dan pemutar musik. Para Muggle pasti menggunakan benda ini untuk bertahan hidup. Dari apa yang kudengar, mereka tak bisa hidup tanpa kotak aneh itu. Mereka membawanya kemana pun setiap saat seolah takut bisa mati sewaktu-waktu jika kehilangan benda itu."

Hermione mengernyitkan dahi mendengar sindiran suaminya. Separah itukah pandangan masyarakat dunia sihir terhadap kebutuhan telepon genggam bagi Muggle?

"Tapi ternyata istriku sendiri juga punya kotak konyol serba guna itu," cibir Severus.

"Kotak konyol serba guna? Ini namanya telepon genggam, Chief! Well, ini memang alat komunikasi primer kaum Muggle jaman sekarang. Dan ya, kupikir aku bisa mati tanpa benda ini karena bagiku semua file yang ada di dalam telepon genggamku sangatlah penting. Kau lihat. Di sini ada daftar kontak semua teman-temanku, pesan-pesan singkat penting, agenda, kalender, foto-fotoku dan banyak lagi. Dengan benda ini aku bisa menghubungi kedua orang tuaku di Australia dengan mudah, cepat, dan normal." Hermione sengaja menekankan kata 'normal'. "Bahkan benda ini lebih praktis daripada pos burung hantu. Tidak perlu menunggu pesan diantarkan terlalu lama, tidak perlu memberi makan dan menyediakan kandang."

"Jadi maksudmu teknologi Muggle lebih baik daripada teknologi sihir?" nada bicara Severus agak meninggi, sedikit melonggarkan dekapannya di pinggang Hermione. Mulai tersinggung sepertinya.

"Untuk yang satu ini kukira begitu," tukas Hermione masih sewot. Beberapa saat kemudian ia melunak. Teringat kembali dengan video yang baru saja dilihat Severus. Perasaan bersalah kembali menyelinap di dadanya. "Umm, maaf… Kukira tidak seharusnya aku menyimpan video porno. Hanya saja, kau terlalu sering berpergian dan tak pernah mengontakku saat kita berjauhan. Aku bisa stress kalau tidak bisa melampiaskan rasa rinduku. Apalagi kita kan masih pengantin baru."

Severus tersenyum tipis. Dia bisa mengerti betul alasan yang diutarakan Hermione ini. Dia sendiri juga merasa bersalah dan benci ketika harus meninggalkan istri tercintanya di rumah untuk waktu yang lama. Maka ia pun kembali mendekap hangat tubuh Hermione, dan berbisik di telinga wanita cantik itu. "Jujur saja, aku tidak terlalu bermasalah dengan apa yang aku lihat tadi. Tapi yang benar saja, sweet cake. Seharusnya kau tak perlu sampai menonton video porno. Aku lebih suka kalau kau cukup membayangkanku saja. Jangan melihat tubuh telanjang pria lain."

Kali ini giliran Hermione yang tersenyum simpul, kedua pipinya merona merah. "A—aku memang selalu membayangkanmu, hun. Membayangkanmu saja sudah bisa membuatku basah dengan sendirinya." Jemari lentik Hermione menelusuri lengan kokoh Severus di pinggangnya. Seketika itu bulu kuduknya merinding. Apalagi saat bibir tipis Severus mengecupi bagian belakang lehernya. Ia merasakan bibir suaminya itu sedang tersenyum tipis di sana.

"Lalu untuk apa kau menyimpan video semacam itu? Apa kau ingin aku bermain seperti yang dilakukan pemeran pria yang ada di dalam video itu?" bisikan mesra Severus membuat Hermione bergidik. Suara Severus yang datar dan dalam selalu saja bisa membuatnya berimajinasi. Suara bariton Severus memang terdengar terlalu seksi di telinganya.

"Oh, hubby… Kalau permainanmu sampai separah pria yang ada di video itu, aku bersumpah akan langsung menendangmu keluar dari kamar. Aku serius." Hermione membalikkan badan, memposisikan dirinya duduk berhadapan dengan Severus di pangkuan suaminya itu, dan mulai membelai-belai dada telanjang Severus. Dada bidang pria itu selalu nyaman untuk dibelai dan dijadikan sandaran.

"Tidak ada tujuan lain kok, selain rasa ingin tahuku yang besar. Akhir-akhir ini banyak pemberitaan tentang video porno mirip artis asing di koran-koran Muggle di Inggris. Di Daily Mail, The Times, Metro, dan lain-lain. Di sana tertulis kalau video itu mirip pasangan artis terkenal di Indonesia. Makanya aku mencari tahu. Aku penasaran ingin melihatnya. Videonya mudah sekali diunduh dari internet, dan rasanya sudah ratusan juta orang mengunduhnya."

"Mengunduh? Internet?" kening Severus berkerut-kerut. Kosakata Muggle memang aneh-aneh, pikirnya.

"Mungkin seharusnya kita ajari mereka bagaimana teknik bercinta yang baik dan benar." Hermione menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, membiarkan bibir Severus menjelajahi pipinya. Bagi Hermione, permainan Severus memang tidak ada duanya. Dia memang belum pernah berhubungan dengan pria lain selain suaminya selama ini, tapi dari semua video porno yang pernah ia tonton, teknik Severuslah yang paling bisa membuatnya ketagihan.

"Dan juga mengajari mereka apa saja variasi bercinta." Severus menambahkan sambil mencibir. "Merlin, aku kasihan kepada wanita yang ada di dalam video itu. Harus terus-menerus melakukan woman on top dan mengendalikan permainan. Pria di dalam video itu tampaknya sudah kalah sebelum bertempur. Ckck…. Video menyedihkan."

"Jadi maksudmu kau juga ingin membuat video sendiri?" Hermione menatap kedua mata kelam Severus lekat-lekat. Membuat video mereka sendiri terdengar seperti ide gila, dan Hermione tak yakin Severus serius.

"Hermione honey. Aku tidak sebodoh itu. Mana mungkin aku merekam adegan bercinta kita? Peristiwa seindah itu hanya akan selalu aku abadikan di dalam kepalaku. Bahkan aku tak pernah berpikir untuk menyimpan kenangan percintaan kita di dalam Pensieve. Bisa runyam akibatnya kalau sampai ada yang mencuri kenangan pribadi kita itu." Severus membelalakkan matanya, sudut bibirnya berkedut. "Lagipula, aku tak bisa membiarkan orang lain melihat tubuh seksi istriku. Milikku adalah milikku sendiri."

Kedua pipi Hermione merona, tersipu malu. Ia senang sekali mendengar klaim Severus terhadap dirinya. Secara tidak langsung Severus sedang memujinya, dan hal ini membuat jantungnya berdegup kencang. Kedua tangan Hermione kembali menelusuri dada telanjang Severus, kemudian naik ke leher dan kedua rahang kokoh pria itu. Dengan sebuah tarikan lembut, Hermione menarik wajah Severus mendekat ke wajahnya, dan mengecup mesra bibir tipis suaminya itu. "Kau baru saja memujiku seksi, Sev…"

"Aku tidak memuji. Aku hanya berkata jujur." Severus mengernyit, menggumam lirih.

"Terserah apalah itu." Sekali lagi Hermione melumat bibir suaminya. Bibir dan lidah Severus selalu terasa manis baginya, membuatnya betah berlama-lama mengulum dan menjelajahi rongga mulutnya. Ia tersenyum senang merasakan nikmatnya ciuman balasan dari Severus.

Untungnya Severus sudah menggosok gigi. Dia tahu betul istrinya tak akan mau menciumnya kalau dia belum gosok gigi dalam keadaan habis bangun tidur seperti sekarang.

"Hmm… Ada yang masih membuatku penasaran, darlin." Hermione menampik tangan Severus yang usil hendak menerobos ke dalam jubah mandinya, ingin meremas dadanya. Di balik jubah mandi itu Hermione memang tidak mengenakan apa-apa lagi.

"Apa itu?" desis Severus, agak kaget dengan reaksi istrinya.

"Kulihat kau begitu asyik menonton video itu tadi. Memangnya apa sih yang membuatmu sampai begitu tertarik?"

"Well, kukira pinggul wanita di video itu bagus…" bibir cemberut Hermione menyadarkan Severus kalau dia baru saja mengatakan hal yang salah. "Maksudku, tato di pinggul wanita itu, wifey. Tatonya bergambar lumba-lumba. Bagiku itu menarik."

Hermione menggeleng, tak percaya. Sanggahan Severus ini terdengar tidak masuk akal. "Kukira satu-satunya hewan yang kau anggap menarik cuma ular dan ular saja. Sejak kapan kau jadi suka lumba-lumba?"

"Aku hanya tertarik dengan tatonya saja, honey. Sungguh. Kau sendiri juga punya tato, kan?" cepat-cepat Severus berkilah, sebisa mungkin memasang tampang meyakinkan.

"Satu-satunya tato yang kupunya hanyalah tato bertuliskan namamu." Hermione menyibak bagian bawah jubah mandinya, memamerkan tato 'Severus' yang ada di paha kanan bagian dalam. Ia membiarkan jemari Severus berlama-lama menyentuh tato namanya sendiri di sana. Kedua mata pria itu berkilat bangga. "Dan seingatku kau selalu bilang tatoku ini adalah tato terbaik yang pernah dibuat."

"Tentu. Ada dua alasan. Pertama-tama, karena itu adalah tato namaku. Kedua, karena tato itu diukir olehku sendiri."

Hermione mendengus geli. Mendengar betapa bangganya Severus terhadap hasil karyanya sendiri selalu mengingatkan Hermione kalau suaminya adalah seorang Slytherin.

"Well, sebenarnya masih ada satu alasan lagi sih, hubby." Melihat kening Severus berkerut, Hermione segera menjawab, "Alasan ketiga yang membuat tato ini jadi tato terbaik yang pernah dibuat adalah karena hanya kaulah satu-satunya pria yang boleh melihatnya. Maksudku, paha kanan bagian dalam… Siapa lagi yang bisa melihatnya selain kau dan aku."

"Kau benar sekali, love," ucap Severus, menyeringai puas. "Tapi kalau boleh jujur. Ada satu lagi tato terbaik di dunia."

"Masa?"

Severus mengangguk pelan. Salah satu tangannya menarik boxernya turun sedikit di bagian pinggang, memamerkan tato yang berada di perut bagian bawahnya, dekat sekali dengan organ vitalnya. Tato itu bertuliskan nama 'Hermione'.

"Oh, astaga. Indah sekali, Sev." Jemari Hermione mengusap lembut tato itu. Ia senang sekali, sekaligus sangat tersentuh. Pasti sakit mengukir tato di bagian sensitif seperti itu. "Kenapa semalam aku tidak menyadarinya ya?"

"Apa? Kau tidak melihatnya semalam? Sial!"

"Kau sendiri yang mematikan lampu kamar. Ingat?" Hermione tersenyum geli. Tapi sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah serius. "Kapan kau membuatnya? Dan siapa yang mengukirnya? Bukan wanita kan?"

"Jangan konyol. Tentu saja aku yang mengukirnya sendiri sambil menatap bayanganku di cermin. Aku membuatnya saat aku masih di Jenewa. Hanya iseng, dan kebetulan sedang kangen berat kepadamu. Jadi, aku mengukir namamu di situ, membayangkanmu, lalu…" Severus tidak meneruskan ucapannya. Melihat senyum lebar di wajah istrinya, ia berasumsi Hermione sudah bisa menerka sendiri apa yang terjadi selanjutnya. "Jadi itulah tato terbaik di dunia nomor dua. Tato yang bertuliskan namamu, aku sendiri yang mengukirnya, dan hanya kau yang boleh melihat dan menyentuhnya."

"Aku tak tahu kalau kau bisa semanis ini, Sev."

"Hermione, jangan menyebutku manis. Tolong. Itu terdengar menjijikkan," omel Severus. Ia tak terlalu masalah kalau Hermione memanggilnya dengan berbagai nama kesayangan yang aneh-aneh. Asal jangan menyebutnya dengan satu kata itu. "Kau tahu? Seandainya ada orang lain yang berani memanggilku dengan nama Sev, hubby, hun, dan sebagainya, aku akan langsung mengutuknya jadi tulang ikan. Aku tidak terlalu suka dipanggil dengan nama panggilan. Tapi untukmu, aku masih bisa bersabar."

"Setidaknya masih lebih bagus daripada Snivelius," tukas Hermione santai. Dia tahu kalau Severus sangat membenci nama panggilan semasa sekolahnya itu. "Kau sendiri juga suka memanggilku sweet cake, cherry pie, dan panggilan aneh lain."

"Setidaknya itu lebih bagus daripada Miss know-it-all, kan?" balas Severus, menyeringai menyebalkan. Ia puas sekali bisa membuat Hermione berjengit, mendengar nama panggilan semasa sekolahnya kembali diungkit. "Aku bisa saja memanggilmu Herms atau Herm. Jadi anggap saja aku masih berbaik hati tidak memanggilmu begitu."

"Herms atau Herm itu nama panggilan yang bodoh dan memalukan," tukas Hermione, mulai panas.

"Snivelius juga bukan nama yang bagus. Itu nama konyol yang menjijikkan," balas Severus tak mau kalah.

Hening untuk beberapa saat. Hermione dan Severus saling melotot, bergulat dengan kekesalan di dalam dada masing-masing. Bagaimana kemesraan mereka bisa secepat itu berubah menjadi pertengkaran? Tak ada yang tahu mengapa. Yang tidak disadari oleh keduanya adalah meski mereka sedang bertengkar, mereka masih sama-sama belum ingin memisahkan diri satu sama lain. Hermione masih duduk di atas pangkuan Severus dengan kedua tangan melingkari leher pria itu, sedangkan Severus masih memeluk pinggang ramping Hermione.

"Baiklah, aku minta maaf," gumam Hermione pelan. Agak dongkol mengingat dialah yang selalu mengalah lebih dulu setiap kali mereka bertengkar. Hermione tidak ingin memperpanjang konflik hanya gara-gara masalah nama panggilan konyol. "Sekarang, bisa kau melepaskanku? Aku mau menyiapkan sarapan."

"Tidak."

"Sev…" Hermione agak kaget saat tiba-tiba saja Severus melumat bibirnya, memberinya ciuman yang dalam dan agak kasar. Bibir Severus mengulum bibirnya untuk beberapa saat. Lidahnya menyelinap masuk dan mengajak lidah Hermione berduel sejenak. Ekspresi Severus agak muram saat mengakhiri ciuman mereka, membuat Hermione jadi cemas. "Ada apa, hubby? Ada yang salah?"

"Kita hanya punya waktu sampai sore ini, darlin. Sebelum aku harus berangkat ke Venezia," ucap Severus sedatar mungkin.

"Apa?" Hermione membelalakkan matanya. Kecewa, sedih, dan tak rela. Semua perasaannya bercampur-baur menjadi satu. Tanpa sadar kedua matanya berkaca-kaca. Rongga dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin Severus pergi meninggalkannya lagi secepat ini. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Jadi apa lagi sekarang? Kau harus mempelajari bahasa Italia atau ada Konvensi Ahli Ramuan di sana? Berapa lama kau akan pergi?"

"Seminggu, kurasa." Bibir Severus bergetar pelan. "Oh, jangan menangis, sweetheart…"

"Aku sudah tidak tahan lagi, Severus. Persetan dengan gelar tingkat internasionalmu. Aku kesepian, tahu. Aku membutuhkanmu. Aku tak mau terus-menerus ditinggalkan seorang diri begini…"

Hermione terisak, membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Dia tak pernah membayangkan kalau menikah dengan Severus akan seberat ini. Sebelumnya dia sudah tahu betul apa konsekuensi yang akan dihadapinya saat Severus ingin mendapatkan gelar ahli ramuan tingkat internasional. Bahkan Hermione sangat mendukung karir suaminya itu, beranggapan kalau ia akan bahagia kalau Severus juga bahagia. Tapi faktanya, Severus hanya bisa menemaninya dua-tiga hari saja sebelum harus pergi ke luar negeri sampai berminggu-minggu lamanya. Tiga bulan pernikahan mereka terasa sepi dan menyakitkan. Hermione bahkan mulai berpikir kalau dia adalah pengantin baru paling kesepian yang pernah ada.

"Kali ini aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri." Severus membelai kedua pipi istrinya, menghapus butiran-butiran airmata di wajah cantik itu dengan bibirnya. "Kau tahu kenapa? Karena kali ini kau akan ikut denganku ke Venezia."

"Apa?" kedua alis Hermione terangkat. Dia terkejut. "Memangnya boleh? Kau sendiri yang mengatakan kalau selama konvensi berlangsung, tidak diperbolehkan mengajak anak-istri."

Severus mendengus geli. Senyumnya yang langka tersungging menghiasi wajahnya. "Aku kan tidak bilang mau pergi ke Venezia dalam rangka mengikuti konvensi. Kali ini aku akan ke Venezia dalam rangka berbulan madu. Dengan siapa lagi aku akan pergi kalau bukan denganmu."

Hermione membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Sekali lagi ia terkejut. Severus memang selalu saja penuh kejutan.

"Semua tahapan melelahkan untuk menjadi ahli ramuan tingkat internasional sudah selesai dan hampir membuatku sinting. Bulan depan akan ada ujian di London. Semacam fit and proper test. Karena itulah, kupikir aku sangat memerlukan bulan madu untuk sekedar bersantai. Venezia pasti akan sangat menyenangkan. Bukan begitu, sweetie?" Severus mengecup mesra bibir Hermione begitu istri tercintanya itu mengangguk pelan. "Tapi kenapa kau masih saja menangis…?"

"Aku menangis bahagia kali ini. Bahagia campur jengkel sih, sebenarnya." Hermione menonjok pelan bahu Severus, membuat suaminya itu mengernyit. "Sepertinya kau selalu senang bisa memperdayaiku. Bicara terus terang saja apa salahnya sih?"

"Bicara terus terang itu tidak seru," komentar Severus datar. Tanpa banyak bicara lagi, ia menyibak jubah mandi istrinya, menelanjangi tubuh bagian atas wanita itu, dan mulai menghadiahi cumbuan-cumbuan panas di sekitar buah dadanya.

Hermione menggeliat, meronta-ronta. "Tidak! Hentikan, Sev! Aku tidak mau!"

"Tidak mau? Kenapa?" serta-merta Severus menghentikan kegiatannya. Keningnya berkerut-kerut. Heran. Biasanya Hermione tidak pernah menolaknya. Bahkan dengan senang hati meladeninya.

"Aku sampai hampir tidak bisa berjalan gara-gara ulahmu semalam, tahu!" Hermione memegangi perut bagian bawahnya. Nyerinya memang sudah jauh berkurang. Tapi bisa jadi akan kumat lagi kalau Severus kembali merangseknya. Di sisi lain, dia heran sekali mengetahui stamina Severus masih terjaga. Pria itu masih segar bugar, seolah pergulatan hebat mereka semalam tidak banyak mempengaruhinya.

Salah satu alis Severus terangkat. Dia mulai paham. "Kalau hanya itu masalahnya, akan kubuatkan ramuan untuk mengembalikan vitalitasmu dan kau akan segera pulih dalam sekejap. Tapi kupikir kau memang perlu istirahat sebentar. Sepertinya kau agak pucat."

"A—apa yang kau lakukan?" Hermione tersentak kaget saat mendadak Severus mengangkat tubuhnya. Refleks, ia pun segera memeluk leher suaminya erat-erat, sambil melingkarkan kedua kakinya di pinggang pria itu. Takut terjatuh. "Kau menggendongku?"

"Kau bilang kau hampir tak bisa berjalan gara-gara ulahku," tukas Severus, agak mengomel. Tubuh Hermione tidak begitu berat baginya. Ia merasa kuat menggendongnya kembali ke kamar. "Kau istirahat saja di kamar. Biar aku yang memasak sarapan. Nanti akan kuantar sarapanmu ke kamar, dan bila perlu, akan kusuapi kau sekalian."

Senyum Hermione terkembang tanpa sadar. Omelan Severus ini terdengar begitu merdu di telinganya.

"Dari dulu aku selalu penasaran apa yang membuatku begitu mencintaimu," kata Severus, setengah menggerutu. Saat ini ia agak kerepotan menggendong Hermione sembari menaiki anak tangga perlahan-lahan. "Padahal kau selalu menyusahkan dan membuatku repot. Tapi aku tak pernah bisa menolakmu. Kau membuat hidupku menderita…"

Hermione membungkam bibir Severus dengan bibirnya. Mengulum bibir tipis itu lembut. Mengecup-ngecup ringan sambil sesekali menggigitnya pelan. Mendesah lirih saat Severus balas memagutnya liar. "Aku juga mencintaimu, Sev." Bibir Hermione berdesis dekat sekali dengan bibir Severus, ikut tersenyum saat melihat bibir suaminya membentuk garis lengkung. "Dan itulah sebabnya kenapa aku menikahimu, hubby. Untuk membuat hidupmu menderita."


El Extremo



p.s. Dulu saya pernah berjanji di twitter untuk mengangkat kasus video mirip artis ke dalam sebuah fanfic, dan ini dia. Bukan jenis cerita satir sih. Saya mah ga tegaan orangnya. =P Well, semoga aja kasus itu cepat berakhir. Sejauh ini dampaknya bukan main dahsyat, terutama untuk kalangan anak-anak dan remaja. Amin!

Btw, kalo diperhatikan baik-baik dalam fanfic ini, Severus dan Hermione saling memanggil dengan berbagai nama panggilan kesayangan. Kira-kira nama panggilan yang paling pantas buat mereka apa ya? =))

I'm Officially Yours Chapter 7

Chapter 7

Impian



Disclaimer : credit to usagistu


Hermione merebahkan kepalanya di tepian bak mandi, menikmati kelembutan busa sabun yang melimpah di sekujur tubuhnya. Ia menggosok leher dan perutnya, lalu kedua tungkai kakinya yang sedikit pegal. Ia letih sekali akibat aktivitasnya selama satu hari penuh kemarin, dan rasa letih ini belum banyak berkurang. Meski begitu, kemarin malam adalah salah satu malam yang terbaik dalam hidupnya. Bukan hanya karena Severus membelikannya sebuah toko buku, tapi juga karena pria itu telah membuktikan kalau dirinya memang benar-benar mencintainya. Mengingat perhatian dan pengorbanan yang dilakukan Severus kepadanya membuat dada Hermione hangat. Entah mengapa, ia merasa Severus akan segera melamarnya. Ia yakin itu.

“Hermione!”Sayup-sayup gadis itu mendengar suara Severus memanggilnya dari lantai satu. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga.

Serta-merta Hermione melompat keluar dari bak mandi. Tangannya segera menyambar handuk dan lekas-lekas menyelubungi tubuhnya. Pasti ia terlalu lama mandi dan membuat Severus jadi tidak sabar menunggu. Gadis itu teringat kalau pagi ini mereka berdua punya janji untuk sarapan bersama. Bahkan kali ini Severuslah yang memasak.

“Hermione!”

“Iya. Aku akan segera turun…” Hermione bergegas keluar dari kamar mandi dan mendapati Severus sedang terbengong-bengong melihatnya.

Pria itu tampak kaget, tidak menyangka akan sambutan yang diterimanya ini. Ia melihat Hermione dengan selembar handuk pendek yang hanya menutup sebatas dada sampai ke pertengahan paha. Pemandangan yang sangat menggiurkan, tentunya, karena selembar handuk tipis itu jelas tidak mampu menghalangi daya tarik seksual yang dipancarkan Hermione. Tubuh gadis itu berkilat dihiasi tetesan air dan rambut basahnya yang tergerai membuatnya semakin terlihat seksi. Namun ekspresi kaget Severus ini tidak bertahan lama. Sedetik kemudian ekspresi Severus kembali datar, seolah tidak terjadi apapun.

“Maaf,” gumamnya, sambil berbalik pergi. “Aku tak tahu kalau kau belum selesai mandi.”

“Tunggu, Sev!”

Severus memutar tubuhnya dengan enggan, menggumam. “Ya?”

“Ada apa denganmu?” Hermione tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum geli. Sorot mata Severus terlihat ingin menghindarinya, menatap ke arah mana pun asal jangan ke arah Hermione. “Kau kan sudah sering melihatku telanjang.”

“Karena itulah, sweetheart. Tubuhmu… Aku tak pernah bosan melihatnya. Cepatlah berpakaian. Tolong.”

Alih-alih menuruti permintaan kekasihnya itu, Hermione malah mendekati Severus dan menarik kedua tangannya. Ia menggiring pria itu untuk duduk di tepi ranjang. Severus sempat menolak. Bahkan ia terus saja menundukkan kepalanya, tak berani menatap Hermione. Ini membuat Hermione makin gemas saja. Hari ini Severus sedikit aneh, pikirnya.

“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu.” Jari lentik Hermione membelai dagu Severus, dan mengangkat lembut dagu itu agar Severus bersedia menatap matanya.

Ucapan halus Hermione seakan membius Severus. Pria itu tak bisa berkutik. Ia hanya duduk diam di tepi ranjang, menunggu apa yang akan dilakukan Hermione selanjutnya. Bibir tipisnya bungkam, tak membantah. Kedua mata kelamnya menatap Hermione dari atas ke bawah dengan sorot kagum, dan ada sedikit kilatan nafsu yang berusaha keras ditahannya.

“Jadi, apakah biru atau putih? Kira-kira mana yang lebih pantas aku pakai hari ini?” Hermione menunjukkan dua potong gaun yang baru saja dibelikan Severus kemarin malam. Gadis itu berdiri di depan cermin dan memadukan kedua gaun itu satu-persatu dengan dirinya. Ia kesulitan untuk memilih.

“Gaun yang putih saja. Warna putih akan menonjolkan warna kulitmu yang mulus dan tidak bertabrakan dengan warna rambutmu. Lagipula aku suka modelnya yang sederhana,” saran Severus. Sebenarnya sih ia tak keberatan Hermione mengenakan gaun yang mana saja. Toh gadis itu tetap akan terlihat cantik dengan busana apapun, atau bahkan tanpa busana.

“Oh, benarkah?” Wajah Hermione terlihat sedikit kecewa. “Tadinya aku berharap kau akan memilih gaun yang biru. Aku suka warna biru langitnya…”

Kening Severus berkerut. Ia melipat kedua tangannya di dadanya, berseloroh, “Lalu untuk apa kau bertanya sejak awal? Kalau kau memang lebih suka gaun yang itu dan ingin memakainya, langsung pakai saja.“

“Aku hanya ingin tahu pendapatmu. Lagipula aku ingin membuatmu senang. Kau membeli dua gaun ini dengan suatu tujuan, kan? Aku takut mengecewakanmu kalau sampai mengenakan gaun yang salah dan…”

Severus beranjak dari tepi ranjang, berjalan menghampiri gadisnya. Kali ini wajah pria itu dihiasi senyum. “Kau ini bicara apa sih? Aku membelikanmu dua gaun itu untuk menyenangkan hatimu, bukan untuk membuatmu bingung dan cemas akan pendapatku. Lagipula kau tetap akan terlihat cantik dengan gaun yang mana pun.” Sambil menarik Hermione ke dalam pelukannya, Severus bergumam lirih. “Wanita. Kalian memang makhluk yang unik.”

“Jadi, aku boleh memakai gaun yang mana saja?” bisik Hermione, menyandarkan kepalanya di dada bidang Severus, membiarkan hidung bengkok kekasihnya menghirup dalam-dalam aroma wangi shampoo yang menguar dari rambutnya. Hati gadis itu lega.

“Tentu saja, sweetheart.”

Wajah Hermione semakin berseri-seri saat Severus menghadiahinya kecupan hangat di dahi.

“Lalu sekarang apa? Kau ingin aku menontonmu berpakaian atau aku saja yang memasangkan gaun itu untukmu?” Bisikan nakal Severus di telinga Hermione membuat gadis itu bergidik kegelian. “Tadinya aku hanya ingin menyuruhmu lekas turun. Sarapan kita sudah siap.”

“Tidak. Lebih baik kau kembali ke ruang makan. Tak perlu menontonku berpakaian atau memasangkan gaun ini untukku. Aku akan segera menyusulmu begitu selesai.” Hermione menelusuri garis rahang Severus dengan bibirnya, memberinya beberapa kali kecupan mesra di dagu pria itu.

“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa di bawah, love.” Severus mengecup lembut hidung Hermione. Sekali lagi ia tersenyum tipis, dan melepaskan pelukannya. Tanpa menengok lagi ke belakang, pria itu berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Hermione yang terheran-heran dengan sikap romantisnya ini. Pagi ini Severus benar-benar lain dari biasanya, pikir Hermione bingung.

~*~

“Severus Snape?”

“Ya, Hermione dear?”

“Apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan dengan ruang makan? Gelap sekali. Aku sampai tidak bisa melihatmu.” Hermione meraba-raba dalam kegelapan, sampai merasakan sepasang tangan kokoh menangkap kedua tangannya. “Sev?”

“Aku di sini, darling.” Sepasang tangan itu kemudian mendekapnya erat. “Tunggu sebentar. Akan kunyalakan lilinnya dulu.”

Sesaat setelah lilin di atas meja makan dinyalakan, suasana ruang makan berubah. Penerangan cahaya lilin yang redup memberikan nuansa lembut dan romantis. Ada beberapa kuntum bunga Anemone yang diletakkan di dalam vas di tengah meja makan, dan ada juga sebotol wine di sana. Sementara piring, gelas, dan peralatan lainnya tersusun rapi. Hermione tercengang. Bibirnya setengah terbuka. Namun ia tak ingin banyak berkomentar.

“Candle Light Dinner. Maaf. Maksudku, Candle Light Breakfast,” ujar Severus kalem.

“Ada apa ini?” tuntut Hermione dengan nada tajam. Tak bisa dipungkiri kalau ia cukup tersentuh. Selama ini ia selalu menganggap kekasihnya itu tak punya sisi romantis. Selalu dingin, kaku, dan membosankan di setiap kesempatan. Hermione senang Severus mengubah sikapnya. Akan tetapi, semua yang sudah dilakukan Severus ini juga membuatnya semakin curiga.

“Tidak ada apa-apa, Mione. Anggap saja ini permintaan maafku karena semalam tidak bisa menemanimu makan malam. Kau terpaksa harus makan malam seorang diri di rumah, sementara aku harus sibuk di toko sampai menjelang tengah malam. Kau tidak keberatan, kan?” Sambil membimbing Hermione, Severus menarik salah satu kursi. “Duduklah, sweetheart.”

Masih ada sejuta pertanyaan yang ingin dilontarkan Hermione, namun gadis itu akhirnya memilih untuk menurut. Ia duduk manis di kursi tersebut, sedangkan Severus duduk di kursi satunya. Mereka berdua duduk saling berhadapan.

“Wine, darling?”

“Di mana Crookshanks?”

Severus meletakkan botol wine yang sedang digenggamnya dengan sedikit hentakan. Raut wajahnya tampak kesal. “Dia sedang berada di tempat yang lebih baik saat ini. Tempat seharusnya ia berada. Jadi bisakah kita lupakan dia sebentar dan berkonsentrasi kepada urusan kita sendiri?”

“Seharusnya dia sedang sarapan sekarang. Dia biasa sarapan dengan kita. Kau tahu itu.”

Serta-merta Hermione bangkit dari kursinya. Tentu saja ia cemas memikirkan nasib kucing kesayangannya yang tiba-tiba saja raib. Padahal biasanya kucing besar berbulu kuning itu selalu menunggunya di bawah meja makan setiap jam makan tiba. Hermione tahu betul kalau Crookshanks tidak boleh sampai melewatkan jam makannya. Kalau tidak, kucing itu bisa sakit.

“Hermione, darling. Duduklah. Kumohon,” pinta Severus kaku, rahangnya mengeras.

“Tapi Crookshanks…”

“Dia sudah aku kandangkan! Kucing sialan itu juga sudah kuberi makan, jadi kau tak usah khawatir,” ujar Severus dengan nada menekan dalam-dalam, semakin jengkel. Bisa-bisanya Hermione lebih memikirkan kucing jelek itu dibandingkan urusan yang jauh lebih penting begini, batinnya geram. “Jadi, bisakah sekarang kita lanjutkan acara makan kita ini? Tolong…”

Hermione mengangguk pelan, cemberut. Ia tidak terlalu senang mendengar Severus menyebut Crookshanks sebagai ‘kucing sialan’.

“Wine?” Severus kembali menawarkan botol winenya. Ekspresi wajahnya berubah datar seperti semula. Namun lagi-lagi ia dibuat kesal saat Hermione menggelengkan kepalanya. “Baiklah. Kalau kau tak mau wine. Butterbeer atau Mead? Atau anggur buatan peri?” Akan tetapi Hermione terus saja menggeleng. “Lalu apa maumu?!” Tanpa sadar Severus menggebrak meja, kesabarannya habis.

“Aku tidak pernah minum minuman beralkohol saat sarapan. Seingatku, kau sendiri juga tidak pernah begitu,” jelas Hermione tenang. Ia sudah terlalu sering menghadapi sifat temperamental kekasihnya, dan ia sudah tidak takut lagi. “Lagipula aku sedang tidak ingin minum minuman seperti itu untuk beberapa bulan ke depan.”

Severus merengut. Bibirnya mencibir, berujar dengan nada dingin. “Bagus! Sekarang kau sendiri yang merusak suasana. Aku sudah susah payah menciptakan suasana romantis ini supaya kau senang, tapi kau malah menghancurkan jerih payahku. Jenius.”

“Aku tidak kan memintamu.”

“Apa?”

“Aku. Tidak. Memintamu.” Hermione masih saja bersikap tenang. Ia mengayunkan tongkatnya, mengisi gelas kosong di hadapannya dengan air putih, sebelum meneguknya pelan-pelan.

“Ta—tapi… Kukira kau akan senang kalau aku mengajakmu makan bersama dengan diterangi cahaya lilin. Bukankah ini sudah seperti yang ada di dalam film-film roman picisan favoritmu?” Nada bicara Severus semakin menunjukkan betapa kesalnya pria itu. Ia merasa jerih payahnya tidak dihargai sedikit pun.

“Memang. Sudah sama persis. Ada bunga, wine, lilin, dan lain-lain. Tapi….”

“Tapi apa, Mione?”

“Tapi ini bukan dirimu, Severus. Benar-benar bukan dirimu sama sekali. Bahkan kalau aku boleh jujur. Kau membuat ini terlihat menggelikan. Kau bersikap aneh sejak bangun tidur tadi. Memasak sarapan, menyuruhku berdandan secantik mungkin untuk alasan yang aku tidak tahu, lalu kau membelikanku gaun yang indah, dan puncaknya, kau menyiapkan sarapan super-romantis begini. Oh, iya. Kau juga terus-menerus memanggilku sweetheart, darling, dan banyak panggilan-panggilan mesra yang membuat bulu kudukku merinding. Ada apa denganmu, Sev? Kepalamu terbentur saat tidur, atau kau tak sengaja keracunan sesuatu?”

Ekspresi garang Severus lumer. Berganti ekspresi tersipu aneh. Hermione bersumpah kalau ia sempat melihat ada rona merah di kedua pipi Severus, meski pria itu bisa segera menyamarkan perubahan ekspresinya.

“Ka—kau sama sekali tidak romantis! Aku menyesal melakukan ini semua untukmu,” geram Severus, tersenyum kecut.

Hermione mengedikkan kedua bahunya, tersenyum simpul. “Sudahlah. Tak usah berbelit-belit. Katakan saja apa maumu dan segera selesaikan ini semua. Kalau tidak, bisa-bisa kau terlambat kerja dan menyalahkan aku lagi.” Setelah mengatakan hal ini, dengan santai Hermione kembali mengangkat gelasnya dan meneguknya.

“Berengsek,” umpat Severus lirih. Ia jengkel dengan sikap Hermione. Ia sendiri benci sesuatu yang berbelit-belit begini. Semula ia mengira rencananya akan berjalan mulus. Tapi tampaknya kini ia tak punya pilihan lain. Seperti yang dikatakan Hermione tadi, romantisme memang tidak pantas untuknya. “Baiklah. Kalau itu yang kau mau, Mione. Kau tahu? Aku ingin melamarmu!” Severus merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Tampang Severus masih terlihat geram saat ia menunjukkan cincin bermata Ruby di dalam kotak itu. “Bagaimana? Sudah puas sekarang?!”

Tentu saja Hermione tidak puas. Ia justru kaget bukan main. Saking kagetnya, Hermione sampai tersedak. Hidungnya sukses kemasukan air minum. Dengan wajah basah kuyup dan masih batuk-batuk, ia menatap kekasihnya. Tak lama kemudian gadis itu tertawa lirih. Jadi semua hal menggelikan ini memang ada maksudnya, pikir Hermione. Kecurigaannya benar, dan untuk pertama kalinya gadis itu merasa senang sekali bisa menebak arah pikiran Severus. Semua romantisme yang dibuat-buat ini, ekspresi aneh Severus saat memanggilnya dengan bermacam-macam sebutan sayang, dan lain-lain. Well, ya. Ternyata Severus memang akan segera melamarnya.

“Kenapa kau malah tertawa?!” Severus membeku di atas kursinya, sedikit tersinggung. Jantungnya yang tadinya berdebar tak karuan, kini semakin kacau saja. Ia takut Hermione menganggap lamarannya ini hanya gurauan belaka.

“Astaga, Severus…” tawa lirih Hermione berubah menjadi tawa geli. Melihat Severus melamarnya sambil marah-marah, bagi Hermione ini lucu sekali. “Kau sungguh penuh kejutan.”

Severus membiarkan Hermione tertawa sampai puas, meski Ia sama sekali tidak menemukan ada yang lucu, dan menurutnya memang tidak ada yang lucu. Acara melamar yang sudah ia persiapkan selama beberapa hari ini gagal total. Harusnya ia sedih, bukannya malah merasa konyol karena jadi bahan tertawaan oleh kekasihnya begini.

“Baiklah. Jadi kau mau menikah denganku atau tidak?” tanya Severus lirih, menggigit bibir bagian bawahnya.

“Atau tidak?”

“Kumohon jangan menjawab tidak…”

“Berarti kau memintaku menjawab ya?”

“Kalau kau mau…”

“Kalau aku tidak mau?”

“A—aku tidak akan memaksamu. Tapi jujur saja, aku tak tahu harus apa lagi kalau kau menjawab tidak…” Severus tidak meneruskan ucapannya. Hermione bangkit dari kursinya, dan memilih untuk duduk di atas pangkuannya sambil melingkarkan kedua tangan di lehernya.

“Kalau aku menjawab ya?” tanya Hermione, mendekatkan wajahnya ke wajah Severus, dan menempelkan hidungnya ke hidung kekasihnya itu.

“Jangan menggodaku, Mione. Jawab saja. Ya atau tidak,” pinta Severus sambil berharap-harap cemas. Nafas Hermione terasa hangat menerpa wajahnya, dan membuatnya tidak sabar lagi untuk segera mencium gadis itu.

“Katakan dulu kata ajaibnya…”

“Aku mencintaimu.”

Hermione mengecup mesra bibir Severus, bibir merahnya tersenyum bahagia. “Baiklah. Aku mau menikah denganmu, Severus Snape. Jadikan aku Mrs Snapemu dan jadikan aku wanita paling bahagia di muka bumi ini.”

Kedua mata Severus berbinar. Kepalanya terasa begitu ringan, seolah sedang melejit tinggi ke angkasa. Bibirnya sampai tak bisa lagi berkata apa-apa, hanya bisa menerima ciuman panas Hermione. Bibir Hermione melumatnya. Lidahnya merangsek masuk, menerobos bibir tipis Severus. Mereka berdua berciuman lagi dan lagi, dan ciuman terakhir yang mereka lakukan adalah ciuman terlama dan terdalam dari semua ciuman yang sudah-sudah.

~*~

Disclaimer : I dont own this fanart


“Bagaimana kalau tahun baru?”

“Jangan. Aku lebih suka musim panas saja.”

“Juni?”

“Boleh saja. Tanggal berapa sebaiknya?”

“Sebaiknya pertengahan Juni, atau awal Juli. Saat semua orang sedang libur musim panas.” Severus merangkul pinggang ramping Hermione semakin erat. Diagon Alley ramai seperti biasanya, dan ia tak ingin Hermione terpisah darinya. Apalagi karena ada beberapa orang yang main terobos di tengah padatnya lalu-lalang. “Sebenarnya aku lebih senang pesta pernikahan yang sederhana dan hanya dihadiri orang-orang terdekat kita. Tapi seandainya kau menginginkan yang sebaliknya, bulan Juni adalah saat yang paling cocok untuk mengumpulkan banyak orang.”

Hermione tersenyum, meraba cincin berbatu Ruby yang kini melingkari jari manisnya. Ia langsung jatuh cinta kepada cincin itu sejak pandangan pertama. Ruby sendiri adalah lambang terbukanya kebekuan hati seseorang terhadap rasa cinta, mengatasi ketakutan jika pemiliknya menua dan tidak dicintai lagi oleh pasangannya, serta menghilangkan ketidakberuntungan dalam hidup. Batu permata yang sangat pas untuk menggambarkan hubungan mereka berdua.

“Aku suka idemu, darling. Kita bisa menyusun daftar tamu undangan nanti malam, dan akan kupastikan hanya mengundang orang-orang terdekatku saja. Nah, sekarang kita harus memikirkan lokasi pernikahan kita nanti. Umm, bagaimana kalau Hogwarts?”

“Hogwarts?” kening Severus berkerut. “Aula Besar Hogwarts, maksudmu?”

“Yeah. Tempat terindah untuk melangsungkan pernikahan. Benar, kan?”

“Tidak. Kurasa Aula Besar terlalu berlebihan untuk sebuah upacara pernikahan sederhana. Aku memikirkan tentang sebuah pesta kebun. Coba bayangkan, sweetheart. Musim panas, pesta kebun, dan hanya ada orang-orang terdekat kita. Pasti suasananya akan sangat menyenangkan.”

“Pasti tidak usah mengeluarkan banyak biaya,” gumam Hermione, membenahi ujung syal Severus yang diterbangkan angin nakal.

“Tepat sekali.”

“Dasar kikir.” Hermione terkikik geli. Ia hanya bercanda, tentu saja. Sebagaimana yang ia ketahui tentang Severus, pria itu punya semacam zona nyaman. Ia tidak terlalu suka keluar dari zona nyaman itu, ataupun membiarkan terlalu banyak orang masuk ke dalam zona nyamannya. Maka wajar kalau Severus menginginkan pesta kebun sederhana dengan sedikit orang untuk pernikahan mereka nanti. Hermione sendiri tidak terlalu keberatan dengan hal ini. Yang terpenting baginya adalah ia bisa menikah dengan Severus. Itu saja.

“Bagaimana? Kau setuju, kan?” tanya Severus.

Langkah mereka harus terhenti sejenak saat melewati Eeylops Owl Emporium. Ada kereta dorong penuh sangkar burung hantu yang hendak dimasukkan ke dalam toko itu, namun tersangkut karena pintunya terlalu kecil. Sementara beberapa burung hantu yang ada di sangkar itu tampak marah, mengepak-ngepakkan sayap mereka ribut, membuat bocah yang mendorong kereta itu semakin kebingungan. Mengeluh pelan, Severus menjentikkan ujung tongkatnya, membuat pintu masuk toko itu melentur seperti karet agar kereta dorong itu bisa menerobos masuk.

“Trim’s, sir,” ucap si bocah pendorong kereta. Wajahnya yang dibanjiri keringat berubah cerah.

Severus hanya mengangguk, tampak tak begitu peduli. Toh tujuannya membantu hanya supaya bocah itu tidak lama-lama memblokir jalan.

“Baiklah. Pesta kebun tak masalah.” Hermione melingkarkan salah satu tangannya ke pinggang Severus. Mereka kembali melanjutkan perjalanan begitu kereta penuh sangkar burung hantu itu menyingkir. “Tapi masalahnya adalah… Kebun siapa yang akan kita pakai? Kebun di Spinner’s End?”

“Tidak, darling. Tentu tidak. Terlalu kecil. Untuk menjemur pakaian saja masih terlalu sempit.” Severus tersenyum tipis. “Bagaimana dengan kebun di Snape Manor?”

“Snape Manor?” kening Hermione berkerut-kerut.

“Ya. Snape Manor.” Severus mengecup kening Hermione, membelai-belai punggung gadis itu. “Aku berencana menjual rumah bobrokku dan membeli rumah yang jauh lebih besar di lingkungan yang lebih baik. Kita tidak mungkin membesarkan anak-anak kita nanti di Spinner’s End. Jelas itu bukan lingkungan yang baik untuk perkembangan anak.”

“Anak? Anak kita?” Hermione tercengang. “Kau ingin punya anak dariku?”

Sekali lagi langkah mereka terhenti. Severus menatap mata Hermione dalam-dalam, dan berujar lembut. “Tentu saja, sweetheart. Aku ingin sekali punya anak darimu. Aku ingin kau melahirkan anak-anak kita saat kita sudah resmi menjadi suami istri nanti. Atau jangan-jangan kau keberatan? Kau tidak ingin melahirkan anakku?”

Hermione menggeleng keras. “Tidak! Tentu saja aku mau. Sebuah kehormatan besar kalau aku bisa menjadi ibu dari anak-anakmu. Aku sangat menyukai anak-anak, dan aku tak ingin menunda-nunda untuk segera punya momongan. Mempunyai beberapa orang anak pasti akan sangat menyenangkan.”

“Satu orang anak saja.”

“Tiga.”

“Dua.”

“Tiga. Aku ingin punya tiga anak.” Tuntut Hermione. “Satu anak laki-laki dan dua anak perempuan.”

“Sejujurnya, tiga adalah jumlah yang sempurna. Tapi aku lebih suka kalau punya dua anak laki-laki dan satu anak perempuan.” Severus tersenyum jahil, memamerkan keceriaannya yang langka kepada kekasihnya itu. “Dan semuanya nanti akan masuk ke asrama Slytherin. Sama seperti ayahnya ini.”

Bibir Hermione bergetar lemah untuk sesaat. Matanya berbinar dan jantungnya berdegup kencang. Ia ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Severus. Dua minggu ini dia terlambat datang bulan. Namun ia belum sempat mengatakannya kepada Severus karena khawatir dengan reaksi kekasihnya itu nanti. Lagipula terlambat datang bulan satu-dua minggu masih termasuk wajar. Belum tentu dia hamil.

“Ah, sial… Sudah pukul sepuluh.” Severus melirik arlojinya. “Maafkan aku, darling. Bisa kita lanjutkan pembicaraan ini nanti saja? Saat ini seharusnya aku sudah berada di toko untuk konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian Sihir setelah acara peluncuran Wolfsbane Nomor 5.”

Hermione mengangguk. Wolfsbane Nomor 5 adalah hasil dari penelitian Severus selama hampir setahun ini. Dengan adanya ramuan ini, diharapkan penderitaan para manusia serigala saat sedang mengalami transformasi dapat jauh berkurang. Bahkan mereka juga tetap bisa mengingat jati diri mereka ketika sedang berwujud manusia serigala.

Beberapa hari yang lalu Wolfsbane Nomor 5 telah dipatenkan dan hari ini siap diluncurkan secara perdana. Penemuan ini tentu sangat menjanjikan bagi dunia sihir, khususnya bagi para manusia serigala. Akan tetapi, ini belum membuat Severus puas. Ia masih ingin mengembangkan Wolfsbanenya ke tingkat yang lebih tinggi dan revolusioner, di mana khasiatnya dapat mencegah transformasi manusia serigala.

“Keadaan akan segera berubah, love. Hasil kerja kerasku itu akan mendatangkan banyak uang untuk kita. Aku sudah mendapatkan seorang sponsor untuk membangun laboratoriumku sendiri dan juga peralatan penunjang yang lebih canggih. Kita sedang berada di atas sekarang ini.” Severus membelai kedua pipi Hermione, menatap lekat-lekat mata coklat indahnya. “Orang-orang akan mengenalku sebagai Ahli Ramuan Tahun Ini. Aku tak percaya akan mengatakannya, tapi aku harus berterima kasih kepada Daily Prophet.”

Hermione tersenyum. Melihat ekspresi bahagia di wajah Severus adalah kenikmatan tersendiri baginya. Sekarang ia paham kenapa Severus berani melamarnya. Itu karena karirnya sudah semakin menanjak. Kekasihnya itu memang hampir tidak pernah membicarakan tentang masalah pekerjaan jika mereka sedang berduaan. Pria itu selalu memisahkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi. Meski begitu, Hermione tidak akan terlalu terkejut jika suatu saat mendengar berita tentang kesuksesan Severus. Dengan kejeniusannya, semua kerja kerasnya yang total, dan ambisinya yang tinggi, bukan mustahil kalau suatu saat nanti Severus akan menjadi orang besar.

“Kalau begitu pergilah, darling. Kau sedang ditunggu oleh banyak wartawan.”

“Tidak. Aku akan mengantarkanmu dulu ke toko buku. Setidaknya itu akan memberiku sedikit ketenangan pikiran.” Severus kembali menggandeng tangan Hermione dan membimbingnya menyusuri sepanjang jalan. “Aku benci meninggalkan tunanganku yang cantik seorang diri di tengah keramaian Diagon Alley. Tapi tidak ada waktu lagi. Lebih baik kita berapparate saja…”

“Sudahlah, Sev. Aku akan baik-baik saja. Memangnya apa hal buruk yang akan terjadi di sebuah toko buku yang bahkan belum dibuka untuk berbisnis?” Hermione melepaskan genggaman tangan Severus. Toko bukunya hanya tinggal beberapa meter lagi dan ia tak enak hati kalau Severus terlambat datang ke konfrensi pers gara-gara dirinya. “Pergilah.”

“Tapi kau sungguh tak apa-apa, kan?” Severus mencium kening Hermione begitu gadis itu menganggukkan kepala sebagai jawaban.

“Asal kau tidak lupa untuk menjemputku nanti. Kau sudah janji akan mentraktirku makan siang.”

“Oh, tentu saja. Aku akan menjemputmu pukul dua belas tepat. Semoga saja wartawan-wartawan itu tidak mempersulitku,” gumam Severus, sedikit mengeluh. Ia kurang begitu suka berada di tengah keramaian, apalagi kalau ia yang menjadi pusat sorotan. “Aku harap aku bisa mengajakmu ikut serta ke konferensi, sweetheart.”

“Toko buku masih perlu banyak pembenahan. Kau tahu itu, darling.” Hermione mencubit pinggang Severus. Well, sebenarnya ia juga ingin ikut Severus. Ia tak bisa membayangkan seperti apa konferensi pers akan berlangsung nantinya. Severus pasti akan bersikap dingin dan kaku setiap menjawab pertanyaan para wartawan. Hermione tahu betul kalau kekasihnya itu benci publikasi.

“Baiklah. Sampai jumpa nanti siang.” Severus mencium lembut bibir kekasihnya, dan melambaikan tangannya, sebelum bergegas berdisapparate. Ia tahu para wartawan akan melebih-lebihkan pemberitaan kalau ia sampai terlambat datang. Terutama dengan adanya Rita Skeeter dari Daily Prophet.

~*~

Disclaimer: I Don't own this Fanart


Seperti yang sudah diduga oleh Hermione. Toko bukunya perlu banyak pembenahan. Beberapa perabotan diantar pagi ini untuk mengisi kekosongan ruang. Begitu juga dengan kardus-kardus berisi buku-buku yang ia perlukan. Semuanya masih perlu disusun satu-persatu ke rak sesuai dengan kategorinya. Belum lagi proses penyortiran buku yang pastinya akan memakan waktu.

Hermione sudah memutuskan bahwa alih-alih bersaing dengan Flourish and Blotts, ia akan menjadikan toko bukunya hanya menjual buku-buku tentang dunia kewanitaan, remaja, dan anak-anak. Toko bukunya nanti hanya akan menjual buku-buku seputar hobi penyihir wanita dan penyihir remaja, masak-memasak ala sihir, pengetahuan seputar rumah tangga penyihir, konseling untuk problem-problem rumah tangga pasangan penyihir, tutorial merawat anak secara sihir dan lain sebagainya. Meski begitu, ternyata buku yang ia butuhkan ada banyak sekali. Ia harus mencermati satu-persatu katalog yang dikirimkan oleh para distributor buku, sekaligus melakukan penyortiran terhadap buku-buku yang sudah ada. Buku-buku yang terlanjur ada tapi tidak dibutuhkan akan dikembalikan, untuk kemudian diganti dengan buku yang lebih cocok.

Hermione pasti sudah gila kalau melakukan semua itu sendirian. Otaknya memang cerdas, tapi kemampuannya sebagai manusia sangat terbatas. Karena itulah ia senang sekali saat mendapat bantuan dari kakak kelasnya semasa di Hogwarts, Bellona Bonifacio. Gadis keturunan campur Italia-Spanyol dan Inggris itu bersedia membantunya selagi ia cuti dari pekerjaannya yang sekarang, sebagai Penanggung Jawab Kreatif di Toko Sihir Sakti Weasley. Alasan gadis yang lebih tua lima tahun dari Hermione itu mengambil cuti sebenarnya sangat sepele. Karena tunangannya seorang pencemburu.

“Oliver tidak suka kalau aku bekerja di tempat yang banyak pria-pria iseng,” jelas Bellona sedih. Ya, dia adalah tunangan Oliver Wood, kapten Quidditch asrama Gryffindor semasa Hermione masih bersekolah dulu. “Tadinya dia menyuruhku keluar, tapi Fred dan Georga tidak setuju. Mereka hanya memberiku cuti selama seminggu untuk memutuskan.”

“Aku ikut menyesal, Bellona. Aku tahu kalau iseng dan jahil adalah panggilan jiwamu.” Hermione nyengir. Dia ingat beberapa kasus ledakan bom kotoran di toilet anak perempuan Hogwarts dan kasus rok beberapa gadis Slytherin yang mendadak mengembang seperti payung terbalik di depan umum. Semua adalah ulah iseng Bellona. Seperti juga Hermione, Bellona yang kelahiran Muggle selalu saja direndahkan martabatnya oleh murid-murid Slytherin. Karena itulah Bellona selalu memilih untuk menjahili murid-murid Slytherin, terutama murid perempuannya.

“Kenapa sih dia selalu cemburu? Padahal aku kan bukan wanita penggoda!”

Kali ini Hermione hanya tersenyum maklum. Bukan salah Oliver kalau dia jadi begitu posesif. Meski Bellona tidak cerdas, cenderung nyentrik, dan juga tidak terlalu cantik, ia dikarunia tubuh yang sangat aduhai. Kulitnya yang kecoklatan khas Mediterania terlihat eksotis di mata orang-orang Inggris. Belum lagi aksen Inggris ala Spanyolnya. Hanya pria buta yang tidak akan melirik gadis seperti itu.

“Ceritakan tentang calon suamimu, Mione! Apa dia juga seorang pencemburu?”

Hermione membolak-balik lembar katalog di tangannya sambil berpikir. “Tidak juga sih. Seingatku malah dia belum pernah cemburu sama sekali kepadaku. Justru aku yang lebih sering cemburu kepadanya.”

“Benarkah?” saking kagetnya, Bellona sampai nyaris terjatuh dari tangga yang sedang dinaikinya. Sejak tadi ia sibuk menyusun buku-buku sesuai dengan kategorinya di sebuah rak tinggi. “Seorang Severus Snape tidak pernah cemburu kepadamu? Justru kau yang cemburu kepadanya? Aneh.”

“Aneh di mananya?” Mau tak mau Hermione tertawa lirih mendengar kepolosan Bellona. “Memangnya seberapa jauh kau mengenal Severusku?”

“Err… aku hanya mengenalnya dari Daily Prophet dan selebaran-selebaran promosi tentang Wolfsbane nomor 5 hasil kreasinya itu. Jangan salah sangka, Mione. Aku tidak membaca koran atau semua selebaran itu. Hanya saja Severus Snape sedang banyak dibicarakan selama beberapa hari terakhir ini, dan fotonya muncul di mana-mana. Kudengar dia Ahli Ramuan yang hebat sekali dan juga seorang pengusaha sukses.” Bellona menatap raut bangga di wajah Hermione, merasa semakin heran. Ia tidak ingat kapan terakhir kali Hermione bangga dengan prestasi orang lain. Setahu Bellona, gadis jenius itu lebih senang membanggakan dirinya sendiri.

“Itu benar. Dulunya aku tak menyangka Severus akan sesukses ini. Lagipula ia hampir tidak pernah membahas tentang bisnisnya denganku. Untuk beberapa hal, ia terlalu tertutup. Selalu tertutup.”

“Tapi kupikir pasti akan banyak wanita cantik yang mengejarnya.”

Ucapan polos Bellona membuat Hermione terhenyak. Kening gadis itu berkerut. Spontan mengalihkan perhatiannya dari katalog di tangannya ke Bellona.

“Maksudku, pasti itu yang membuatmu cemburu kepadanya, kan?” kata Bellona sok tahu. “Kalau seorang pria sudah sukses, biasanya dia akan lupa dengan wanita yang dulu mendukungnya sejak dari nol. Pria seperti itu akan mencari wanita lain dan meninggalkan kekasihnya yang pertama.”

“A—apa itu yang terjadi padamu, Bellona?”

“Iya. Hampir sih. Faktanya Oliver selalu berpaling dariku. Dia lebih mencintai Kudis!”

“Quidditch, maksudmu. Bukan Kudis.” Hermione mengoreksi sambil tersenyum geli. Dari dulu Bellona selalu saja salah sebut. “Itu tidak benar, Bellona. Aku yakin Oliver mencintaimu di balik obsesinya terhadap Kud—Quidditch. Sama seperti keyakinanku kepada Severus. Aku yakin dia tidak akan selingkuh. Coba saja kalau dia berani selingkuh. Akan kugoreng dia hidup-hidup!”

“Seperti apa sih si Severus ini?” tanya Bellona penasaran.

“Dia pria yang sangat misterius. Dewasa dan sering tak tertebak. Dia juga dingin dan temperamental. Kalau di depanku, dia masih bisa menahan emosinya dan lebih sering menyindirku dengan ucapan-ucapan tajam dan menyakitkan hati daripada marah sampai meledak-ledak. Dia pria yang kaku, introvert, dan membosankan.”

“Lalu kenapa kau bisa-bisanya mau jadi calon istrinya? Kau tadi mengaku sudah setahun berhubungan dengannya, kan? Bagaimana kau bisa tahan?”

“Itulah anehnya, Bellona,” Hermione menutup katalog di tangannya, dan mengambil katalog yang lain. “Dia mungkin bukan pria berkelakuan paling baik sedunia. Tapi dia punya sesuatu di dalam dirinya. Dia punya ketulusan yang sangat mendalam. Dia selalu rela melakukan banyak hal yang tak terduga demi aku dan tanpa mengumbarnya. Dia bisa bersikap manis untuk sekali waktu, dan itu membuatku begitu nyaman berada di dekatnya. Ia mencintaiku dan selalu menunjukkan totalitasnya. Menjaga, melindungi, mengasihi, dan setia. Semua dilakukan sesuai dengan caranya sendiri yang kadang tidak bisa dimengerti olehku. Pendek kata, Severus punya kebaikan di dalam dirinya. Sangat jauh di dalam dirinya. Inilah yang membedakannya dengan pria lain.”

“Dia terdengar sempurna bagiku. Apa kau mau kalau kita bertukar pasangan? Oliver Wood untukmu, dan Severus Snape untukku?” goda Bellona. Hermione pura-pura cemberut jelek. “Well, aku harus mengaku, Mione. Kalau dilihat dari fotonya, menurutku calon suamimu itu memang punya daya tarik yang tidak bisa diungkapkan. Dia tampan dan menarik, kalau kita memandangnya dari sisi lain. Maksudku, kudengar dia ekslusif dan punya citra pria badung. Dia sangat menggoda untuk ditaklukkan.”

“Benarkah itu, Bellona? Kuharap tidak banyak wanita yang berpikir begitu.” Mendadak saja perasaan Hermione diliputi rasa cemburu. Selama ini dia memang belum pernah mendengar pendapat wanita lain tentang Severus. Tapi setelah mendengar pengakuan Bellona ini dan juga teringat profesi Severus dulu sebagai pria penghibur, bisa jadi semua ini benar. Severus memang punya daya tarik yang tak bisa diungkapkan dan sangat menggoda untuk ditaklukkan. Bukankah ini yang dulu sempat terbersit di pikiran Hermione saat mereka pertama kali bertemu dulu? Bahkan Severus dalam pakaian serba hitamnya yang tertutup rapat saja sudah mampu membuatnya panas dingin. Belum lagi keganasannya di atas ranjang.

“Hei, Mione. Wajahmu pucat!” Bellona tersenyum jahil. “Tenang saja. Kalau Severus Snape memang seperti yang kau katakan tadi. Harusnya kau percaya dia tidak akan berpaling darimu.”

“Yeah. Semoga,” gumam Hermione, berusaha keras tidak memikirkan tentang Lily Potter dan sakit hatinya dulu saat Severus tak sengaja memanggil nama wanita itu ketika mereka sedang bermesraan. Hermione sudah memaafkan Severus dan menganggap hal ini hanya sebagai kecelakaan belaka. Meski begitu, rasanya ia sulit sekali untuk melupakannya. Terlalu menyakitkan.

Suara ketukan pintu menyadarkan Hermione dari lamunannya. Seorang pria berambut gelap dan bertubuh tegap baru saja masuk, menebarkan senyum cerah kepadanya.

“Hai, Hermione. Apa kabar?” Sapa pria itu ramah, memeluk hangat dan mengecup pipi kanan Hermione saat gadis itu berdiri dari sofa untuk menyambutnya. “Sudah lama tak bertemu ya? Jujur saja aku kaget begitu Belono memberitahuku kalau dia bekerja di tokomu. Aku bahkan tak tahu kalau dia bisa membaca.” Kalimat yang terakhir ini diucapkannya sambil berbisik takut-takut.

“Oh Oliver. Tunanganmu memang tidak suka membaca, tapi itu bukan berarti dia tidak bisa membaca.” Hermione balas berbisik sambil tersenyum geli. Ia menatap pria di hadapannya dengan tatapan mengobservasi. Kagum. Oliver Wood belum banyak berubah. Dia masih saja terlihat gagah dan penuh kharisma, semua hal yang diperlukan untuk menjadi Kapten Klub Quiddicth tertua di Inggris, Puddlemere United.

“Hai, Bolono mi amor.” Oliver mengalihkan perhatiannya dari Hermione ke Bellona, dan mencium dahi kekasihnya itu dengan perasaan sayang.

“Namaku, Bellona, Olive. Sampai kapan kau akan terus salah memanggil namaku?”

“Dan sampai kapan kau akan memanggilku Olive? Itu nama perempuan, tahu. Namaku Oliver, Baleno,” balas Oliver santai.

“Kalian berdua masih selalu salah memanggil nama satu sama lain? Kalian kan sudah bertunangan. Bagaimana bisa?” Hermione tersenyum geli. Dia ingat kalau Oliver dan Bellona memang selalu salah menyebut nama kekasih mereka sejak masih berpacaran di sekolah dulu, tapi dia tak menyangka kekeliruan ini masih berlanjut sampai sekarang.

“Itulah, Mione. Aku sendiri percaya kalau Beleno perlu belajar mengeja lagi.” EKspresi kalem Oliver berubah menjadi seringai kesakitan saat Bellona menghadiahinya cubitan kesal di pinggang. “Err, kami akan makan siang bersama. Kau mau ikut? Kita bertiga bisa ngobrol-ngobrol tentang banyak hal.”

Hermione melirik jam dinding, mendesah saat mengetahui kalau sekarang sudah pukul dua belas siang lebih lima menit. “Tidak, terima kasih. Aku sudah ada janji dengan Severus untuk makan siang bersama. Dia pasti terlambat menjemputku karena masih sibuk di tokonya. Kalian duluan saja.”

“Severus?” Kedua alis Oliver terangkat. “Severus Snape si Ahli Ramuan itu?”

“Dia calon suami Hermione, mi amor,” jelas Bellona, menyikut pelan rusuk tunangannya sambil nyengir usil ke arah Hermione.

“Oh, benarkah? Jadi kalian berdua akan menikah? Astaga! Selamat, Hermione! Selamat!”

Hermione menyambut pelukan Oliver dengan senyum lebar. “Terima kasih, Oliver. Rencananya kami baru akan menikah musim panas tahun depan. Sedangkan kalian akan menikah bulan Januari, benar?”

Oliver melepaskan pelukannya dari Hermione dan kini ganti merangkul kekasihnya. Wajah mereka berdua tampak berseri-seri. “Sebenarnya kami ingin cepat-cepat menikah. Tapi Liga Quidditch belum berakhir dan juga masih ada beberapa pertandingan uji coba dengan Tim Nasional. Balenoku ini terpaksa harus bersabar.”

“Well, kalian terlihat sangat bahagia.”

“Oh, Hermione. Kau sendiri juga terlihat sangat bahagia,” goda Bellona. “Aku tahu kau sangat mencintai calon suamimu.”

“Di setiap hela nafasku dan di setiap tetes darahku. Ya, Bellona. Aku sangat mencintainya.” Wajah Hermione bersemu merah. “Makanya aku tak sabar ingin segera menemuinya. Tapi dia belum juga datang menjemputku.”

“Ngomong-ngomong tentang calon suami yang terlambat datang, Prince’s Apothecary terlihat masih sangat ramai saat aku lewat tadi. Peluncuran Wolfsbane Nomor 5 menyedot banyak perhatian. Aku melihat ada beberapa Auror dan pejabat Kementerian Sihir di sana. Juga Lucius Malfoy si Penyihir Jutawan itu,” ujar Oliver Wood sambil menunggu Bellona mengenakan mantelnya. “Sudah siap, love? Oh, astaga. Mantelmu terbalik, Bolona. Ayo lepas lagi! Kubantu kau memakainya.”

“Sudahlah. Tidak usah. Aku memang sengaja memakainya secara terbalik kok. Semua orang memakai mantelnya dengan cara yang itu-itu saja setiap hari. Aku ingin terlihat berbeda,” seloroh Bellona, menepis uluran tangan Oliver.

“Ta—tapi kalau yang kau maksud ingin terlihat berbeda itu dengan cara memakai mantel terbalik di depan umum, kau malah akan dikira orang aneh, mi amor!”

“Kau ini cerewet sekali sih, Olive! Ayo cepat kita pergi! Aku sudah lapar, tahu.”

Tak ingin mendengar bantahan lagi, Bellona segera menyambar tangan Oliver dan setengah menyeret tunangannya itu keluar toko. “Sampai jumpa besok di reuni, Mione!” ucapnya riang, melambai dari balik kaca etalase.

Hermione membalas lambaian tangan Bellona dan tersenyum geli melihat ekspresi memelas Oliver. Pasangan itu masih saja mesra dan heboh dalam setiap kesempatan, batin Hermione.

~*~

Pukul dua siang dan Severus masih belum menampakkan batang hidungnya. Hermione mengeluh dalam hati. Ia mulai merasa lapar, dan menyibukkan diri di depan katalog buku-buku tentang masak-memasak membuat perasaannya semakin tidak enak. Ia tahu Severus belum pernah terlambat sampai separah ini, dan gadis itu bisa memaklumi kalau Severus masih sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tapi ia berpendapat kalau seharusnya kekasihnya itu tidak usah membuat janji yang tidak bisa ditepati seperti ini.

Hermione meletakkan buku terakhirnya dengan perasaan kecewa. Mungkin seharusnya ia menyusul Severus ke toko, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana keramaian di toko itu. Siapa tahu saja dia akan menemukan hal menarik di sana. Melihat peluncuran Wolsbane Nomor 5 untuk pertama kalinya di London. Setidaknya itu akan lebih menyenangkan daripada harus menunggu Severus seorang diri di toko buku. Namun, belum sempat gadis itu beranjak dari sofanya, terdengar suara kenop pintu diputar. Ada seseorang yang baru saja memasuki tokonya. Dari suara langkah kakinya yang berat, sepertinya dia adalah seorang pria.

“Severus! Kau terlamba…”

Bibir Hermione terbuka lebar, shock mengetahui siapa yang datang. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan orang tersebut. Tidak secepat ini dan tidak dalam keadaan seperti ini, tanpa Severus di sampingnya. Rasa kaget Hermione segera berubah menjadi kebencian yang mendalam. Kebencian yang tidak akan pernah reda sampai kapan pun. Pria tinggi berambut merah yang kini sedang berdiri terpaku di hadapannya ini pernah menghancurkan hidupnya sampai berkeping-keping.

“Ron!”

“Hermione!”

“Jangan mendekat!” Serta merta Hermione menodongkan tongkatnya begitu Ron menunjukkan gelagat ingin memeluknya. Gadis itu jijik, tidak ingin disentuh sedikit pun oleh pria yang telah mengkhianati cintanya dulu. “Jangan mendekat atau kau akan menyesal!”

“Ada apa denganmu, Mione honey?”

“A—apa? Setelah apa yang telah kau lakukan kepadaku, kau masih berani memanggilku seperti itu? Kau keterlaluan, Ron!” Dada Hermione terasa sesak, susah bernafas saking marahnya. Ia masih ingat apa yang ia lihat di kamar apartemennya saat menemukan Ron sedang bergumul tanpa busana dengan Lavender. Ini membuat perutnya mual. “Bagaimana kau bisa menemukanku?”

Ron menyeringai aneh. “Harry memberitahuku kalau kau baru saja punya toko buku di Diagon Alley.”

Jantung Hermione seakan berhenti berdetak. Harry Potter, sahabat terpercayanya? Ia tak percaya kalau Harry setega itu kepadanya. Selama ini mereka memang selalu berkorespondensi lewat pos burung hantu, tak pernah kehilangan kontak, hanya sekedar memberitahu kabar mereka masing-masing. Meski begitu, Hermione ingat ia pernah memohon kepada Harry untuk merahasiakan keberadaannya dari Ron.

“Sayangnya aku tak bisa langsung menemuimu karena si tolol Bellona berlama-lama di sini, dan juga ada Oliver yang datang kemari. Aku harus menunggu sampai kau seorang diri di tempat ini, agar kita bisa berbicara empat mata. Aku butuh bicara denganmu, honey. Kau sudah menghindariku sejak setahun lamanya, tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Aku masih mencintaimu, Mione. Sangat.”

Hermione mencium aroma alkohol yang menyengat dari tubuh Ron. Pria itu pasti sedang mabuk berat. Terlihat dari cara berjalannya yang sempoyongan dan wajahnya yang merah padam. Di samping itu, penampilan Ron terlihat menyedihkan. Kumal dan berantakan, seperti sudah lama tidak mandi. Rambut merahnya kini dibiarkan panjang sampai melebihi bahu dan dagunya dihiasi cambang tak beraturan. Entah cobaan hidup seberat apa yang bisa membuatnya tampak sefrustrasi ini.

“Tidak. Kau tidak mencintaiku, dan aku pun sudah tidak mencintaimu. Pulanglah ke Lavender, Ron!” tongkat di tangan Hermione bergetar ketika Ron berjalan semakin mendekat.

“Lavender?” Ron mengangkat kedua tangannya, berpura-pura bingung. “Well, ya… Kami memang sudah menikah. Tapi aku tak punya alasan untuk kembali kepadanya. Wanita berengsek itu… di—dia selalu saja rewel dan mengeluhkan tentang kondisi keuanganku. Padahal sejak awal dia sudah tahu kalau aku bukan berasal dari keluarga orang kaya. Lalu sekarang setelah jadi istriku, dia menyesal. Keparat!”

Hermione menggigit bibir bagian bawahnya. Ia mulai diliputi rasa cemas. Firasatnya mengatakan bahwa akan ada hal buruk terjadi kepadanya seandainya Severus tidak segera datang. Gadis itu takut Ron akan melakukan hal yang tidak ia harapkan. Apalagi mengingat kondisinya yang mabuk berat seperti ini.

“Kau percaya dengan kesempatan kedua, Mione? Bagaimana kalau kau memberiku kesempatan kedua? Akan kuceraikan Lavender sialan itu, lalu… lalu kita bisa menikah. Semua akan kembali seperti dulu,” oceh Ron, tersenyum lebar. Ia terhuyung saat kakinya terserimpet karpet, namun bisa berdiri lagi meski harus berpegangan pada tepian sofa. Ia masih berusaha menggapai Hermione. “Kau dan aku bersama lagi. Pasti akan menyenangkan sekali.”

“Tidak!” Hermione menggeleng, geram mengetahui betapa sepelenya hal ini bagi Ron. “Kau benar-benar berengsek, Ronald Weasley! Aku membencimu sampai ke ubun-ubun. Aku tak sudi kembali kepadamu. Tak akan pernah!”

“Ayolah, Mione…” Ron cegukan, terhuyung dan hampir menabrak dinding. “Aku tahu kau akan bahagia bersamaku. Kau ingat apa yang pernah kau katakan dulu kepadaku? Bahwa kita memang berjodoh? Bahwa kita memang ditakdirkan untuk bersama…”

“Itu kesalahan besar! Kita tidak berjodoh dan tidak ditakdirkan untuk bersama!” Hermione mundur beberapa langkah saat Ron mencoba merangkulnya. “Terlambat, Ron. Aku sudah akan menikah dengan pria lain. Pria yang benar-benar aku cintai.”

“Si—siapa? Siapa bajingan itu?”

“Severus Snape. Dan dia bukan seorang bajingan. Kaulah yang bajingan!” Hermione mengayunkan tongkatnya tanpa ampun, jarak Ron sudah terlalu dekat dan pria itu nyaris menyentuhnya. Seketika tubuh Ron terhempas kuat hingga punggungnya menabrak rak buku. Pria itu jatuh merosot, terkulai di lantai sambil mengucapkan sumpah serapah. “Kau sudah kuperingatkan. Jangan menyentuhku!”

“Sev—Severus Snape? Ternyata kau sama saja dengan Lavender. Kau juga hanya mengejar materi. Setelah meninggalkanku, sekarang kau berpaling ke pria yang lebih kaya dariku. Wanita jalang!”

“Kita putus bukan karena kesalahanku, Ron. Itu kesalahanmu sendiri. Bahkan aku bersyukur kita putus. Seandainya tidak, pasti aku tak akan pernah tahu kalau ada pria yang jauh lebih baik darimu,” ujar Hermione dingin. “Sekarang pergilah dari sini! Cepat pergi!”

Hermione terkejut saat tiba-tiba tongkatnya terlempar ke udara. Ketika gadis itu menyadari apa yang sedang terjadi, Ron sudah mengacungkan tongkatnya dengan ekspresi liar. Wajah pria itu murka sekali, terlihat sangat menyeramkan. Terhuyung-huyung, ia berdiri. Dengan langkah sempoyongan ia menyongsong Hermione.

Naluri Hermione serta-merta menggerakkan kedua kaki gadis itu untuk segera berlari. Panik dan ketakutan. Tanpa tongkat, tentu saja ia tak bisa berdisapparate atau sekedar membela diri. Beberapa kali Hermione meraih apa saja yang bisa digapainya untuk digunakan sebagai senjata. Ia melempar buku-buku ke arah Ron dan beberapa kali dapat mengenai wajah pria itu secara telak, sebagian besar lagi berhasil ditangkis dengan sihirnya. Tapi ini tak berarti banyak. Hanya membuat Ron semakin marah saja.

Kini Ron berada persis di belakangnya, mengejar dengan kekuatan amarahnya yang meluap-luap. Hermione bisa merasakan jantungnya berpacu dan nafasnya hampir putus. Ia sendirian dan tak bersenjata, sementara Ron terlihat sanggup melakukan apapun kepadanya. Di tengah kepanikan yang menguasainya, Hermione melangkahkan kakinya secepat mungkin. Ia masuk ke gudang penyimpanan buku, dan segera menutup pintunya sebelum Ron sempat mencapainya.

‘’Buka pintunya, Mione! Biarkan aku masuk!”

“Pergi!”

Detik berikutnya, Hermione hanya bisa menjerit saat pintu itu meledak tanpa ampun. Diiringi suara dentuman keras dan serpihan-serpihan kayu beterbangan, tubuhnya ikut terlempar dan jatuh berguling-guling di lantai. Ron masuk dengan kemarahannya yang meluap-luap. Ia sudah menghancurkan pintu, dan tak keberatan untuk menghancurkan apapun yang ia temui nanti. Kini ia berjongkok di samping tubuh Hermione. Tongkatnya teracung lurus ke leher gadis itu.

“Kau ingin membunuhku, Ron?” bibir Hermione bergetar hebat, sangat ketakutan. Ia mencoba bangkit dari lantai, namun ujung tongkat Ron berada dekat sekali dengan lehernya, memaksa Hermione untuk tetep terbaring di lantai.

Ron menggeleng, menyeringai lebar. “Lebih dari itu, Mione. Aku ingin membuatmu tak bisa menikah dengan Snape, atau siapapun juga kecuali aku. Kau tahu? Sudah lama aku menginginkanmu. Tapi kau pergi meninggalkanku sebelum aku bisa menikmatimu. Kau terlalu sok suci. Sok malaikat. Jauh berbeda dengan Lavender. Itu salahmu sendiri, Mione! Seandainya kau tidak jual mahal, maka aku tak perlu mencari-cari Lavender… Tubuhmu saja yang akan memuaskanku…”

Mendengar ini, kerongkongan Hermione tercekat. Airmatanya mulai mengalir deras. Sedih, takut, dan kacau. Gadis itu sudah tahu apa yang diinginkan Ron darinya. Sesuatu yang sangat buruk dan tidak diharapkannyab terjadi. Hidupnya sudah berangsur membaik. Dia akan menikah. Perbuatan Ron ini akan menghancurkan segala-galanya. Bahkan akan jauh lebih parah dari yang pernah dilakukan pria itu terhadapnya dulu.

“Jangan, Ron! Kumohon jangan! Kau… Aku… Kita masih bersahabat, kan? Kumohon jangan!”

Namun Ron yang sudah dikuasai setan tak mau mendengarkan permohonan memalas ini. Kedua tangan pria itu terulur, menarik Hermione secara kasar, dan menyeret tubuh gadis itu menyusur lantai. Tanpa peduli tangis dan jeritan kesakitan Hermione, Ron menjambak rambut mantan tunangannya itu, membentaknya agar mau diam. Tetapi Hermione terus saja meronta-ronta dan berteriak-teriak saat Ron hendak menindih tubuhnya. Beberapa kali pukulan dan tendangan yang diluncurkan Hermione kepadanya tidak membuat Ron menghentikan aksinya.

“Tidak! Jangan!” Hermione berusaha membebaskan diri. Ia mencoba mencakar dan menggigit. Usahanya sedikit membuahkan hasil saat ia berhasil menempeleng wajah Ron kuat-kuat.

“Jalang keparat!” Umpat Ron keras. Ujung bibirnya mengalirkan darah segar. Ia semakin tidak sabar. Salah satu tangannya mengepalkan tinju dan melayang deras ke wajah Hermione. Pukulannya ini membuat Hermione berteriak kesakitan, menangis kencang. Pipi kanan gadis cantik itu memar. “Berani memukulku lagi, kau akan mati!” ancam Ron. Kedua matanya berkilat-kilat. Dia tidak sekedar melontarkan gertak sambal.

Puas menatap hasil karyanya yang tercetak di pipi Hermione, Ron menciumi wajah gadis itu bertubi-tubi. Ciuman kasarnya ini kemudian turun ke leher dan dada gadis itu. Ron agak kerepotan karena Hermione masih saja berontak. Maka Ron mengubah posisinya yang semula menindih tubuh sintal Hermione, sekarang jadi menduduki perutnya. Ia mencoba meredam pergerakan sia-sia Hermione, sambil menekankan kejantanannya yang mulai mengeras ke perut gadis itu. Ron hanya tertawa sinis saat menyadari sepasang mata coklat Hermione mendelik marah. Kedua tangan Ron mulai sibuk melepaskan satu-persatu kancing baju Hermione, menyibakkan kemeja itu sampai memperlihatkan bra di baliknya.

“Berteriaklah sesukamu, honey. Tak ada siapa-siapa di sini. Severusmu tidak akan datang! Kita akan bersenang-senang sampai puas!”

Ucapan keji Ron ini sontak membuat hati Hermione tersayat. Kedua matanya tak bisa berhenti mengalirkan airmata. Impiannya bersama Severus terlalu indah dan ia tak bisa membiarkan semua itu lenyap begitu saja. Ia masih ingat pembicaraan mereka tadi pagi tentang pernikahan mereka, rumah impian mereka, dan juga berapa jumlah anak-anak mereka nanti. Ia tak boleh membiarkan Ron menghancurkan segalanya.

Bibir Ron yang menguarkan aroma alkohol mencoba melumat bibirnya. Hermione menggeliat, memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, berusaha menghindar. Namun salah satu tangan Ron mencengkram kuat dagunya, menahannya agar tidak bergerak. Hal terakhir yang dirasakan Hermione dengan rasa sakit yang kian menusuk dadanya adalah bibir Ron yang mulai mencumbuinya kasar dan lidahnya yang merangsek masuk.

“Aaaaah! Bedebah!” Jerit Ron kesakitan. Serta merta ia menarik wajahnya menjauh. Di tengah situasi terjepit, rupanya Hermione masih berani melakukan perlawanan dengan menggigit lidahnya kuat-kuat. Pria itu tidak menyangka sama sekali. Ia murka. “Cukup! Kau akan mati, wanita jalang!”

Hermione memejamkan matanya rapat-rapat saat merasakan ujung tongkat Ron menusuk lehernya, menyakitinya. “Severus…” bisiknya lemah. Wajah kekasihnya itu mendadak datang membayangi pelupuk matanya. Betapa ia sangat mencintai pria itu, dan menyesal karena tidak bisa mewujudkan semua mimpi indah mereka. Airmatanya semakin deras menyadari sebentar lagi Ron akan membunuhnya.

“Kau yang akan mati!”

Tanpa diduga, terdengar suara ledakan keras dan membuat Hermione terlonjak kaget. Seketika itu juga tubuh Ron terlempar dari atas tubuhnya, terpelanting jauh diiringi teriakan kesakitan yang menyayat.

Hermione terbangun dari posisi berbaringnya, mencoba untuk duduk dengan sisa-sisa kekuatannya. Matanya sempat menangkap sosok berpakaian serba hitam yang kini menatapnya lekat-lekat dari ambang pintu dengan tatapan terluka. Severus.

Severus belum pernah terlihat semarah ini. Rongga dadanya bergemuruh. Darahnya menggelegak, nyaris meledakkan tubuhnya dalam hitungan detik. Airmata, lebam di wajah Hermione, dan bra yang nyaris tersingkap sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi saat ia tak ada di sini. Kekasihnya itu hampir diperkosa.

‘Kubunuh kau!” raung Severus. Ia berlari menyongsong tubuh Ron yang masih terkapar, menduduki perutnya, dan menghadiahi beberapa kali tinju yang mampu meremukkan tengkorak pria itu.

“Hermione!”

Pria berambut gelap berantakan, berkacamata bulat, dan bertubuh tinggi berlari masuk dengan wajah cemas bukan main.

“Harry!”

“Oh, astaga!” Harry melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh bagian atas Hermione yang nyaris terbuka. Ia memeluk sahabatnya itu erat-erat, berusaha meredakan tangisannya. “Apa yang terjadi, Mione?”

Namun Hermione bungkam seribu bahasa. Kedua matanya yang masih berlinang airmata terpaku lekat-lekat menatap pemandangan di hadapannya. Severus meninju wajah Ron berulang kali. Mungkin ia sudah mematahkan hidung pria berambut merah itu, atau mungkin malah merontokkan beberapa giginya. Hermione tidak peduli. Ia tahu kalau Ron sedang mabuk berat saat mencoba menggaulinya, namun ada sisi lain dari Hermione yang merasa bahwa Ron sangat pantas untuk mendapatkannya.

“Severus akan membunuh Ron,” desis Hermione lirih.

Mendengarnya, pelukan Harry langsung terlepas. Pria itu kini berlari ke tempat di mana Ron sedang dihajar habis-habisan oleh Severus. Meski wajah Ron sudah babak belur bersimbah darah, Severus belum juga tampak puas. Roman mukanya masih dipenuhi amarah. Dia terus meluncurkan pukulan bertubi-tubi ke wajah Ron. Hukuman yang setimpal atas perbuatan tak senonohnya kepada Hermione.

“Hentikan, Severus! Hentikan!” lerai Harry, berupaya keras menarik Severus dari atas tubuh Ron. “Hentikan, kumohon!”

“Biar kubunuh dia! Biar kubunuh keparat ini!” Di tengah upaya Harry untuk menjauhkannya dari Ron, Severus masih sempat menendang kuat-kuat tulang iga Ron. Pria berambut merah itu pun mengerang-erang kesakitan, berguling-guling di lantai sambil memegangi perutnya yang ngilu.

“Severus!” panggil Hermione memelas. “Kumohon lepaskan dia!”

“Apa?!” Severus melotot murka, membuat Harry terpaksa harus memegangi tubuhnya erat-erat demi meredam amukannya. “Setelah apa yang ia lakukan kepadamu?! Ia hendak memperkosamu, Mione! Bahkan kau hampir dibunuhnya!”

“Kalau Ron sampai terbunuh dan kau dijebloskan ke Azkaban, lalu bagaimana dengan diriku? Pikirkan tentangku, Sev! Aku masih membutuhkanmu di sini. Aku sangat membutuhkanmu.” Hermione mengatakannya dengan suara terisak. Masih sangat shock dan trauma. Ia masih bisa merasakan ketakutan dan ketidakberdayaannya. Juga bagaimana jamahan-jamahan kasar Ron di sekujur tubuhnya dan cumbuannya yang menjijikkan di sekitar wajah dan dadanya. Mau tak mau, kejadian ini membuatnya merasa rapuh. Ia membutuhkan Severus di sisinya melebihi sebelumnya.

Perkataan Hermione ini membuat Severus tertohok, sadar akan kekhilafan yang didasari oleh emosinya yang tak terkontrol. Pria itu pun tak perlu berpikir dua kali untuk memeluk Hermione erat-erat, berusaha menenangkan gadisnya. Nada bicaranya melunak. Amarahnya mulai terkikis sedikit demi sedikit. “Maafkan aku, sweetheart. Maaf. Aku ada di sini bersamamu. Aku ada di sini.”

Harry menatap pasangan yang sedang berpelukan itu dengan perasaan yang tidak karuan. Di sisi lain, Ron dan Hermione adalah sahabatnya. Sementara dirinya adalah seorang Auror yang seharusnya menegakkan kebenaran. Melihat apa yang baru saja terjadi tadi membuat hatinya bimbang. Nuraninya terusik. Ia tak bisa memilih salah satu di antara dua sahabatnya itu. Ia tahu perbuatan Ron salah, dan Azkaban adalah tempat yang pantas untuk pelaku kejahatan semacam itu. Tapi ia tak sampai hati untuk menahan Ron. Di samping itu, mabuk berat bisa menjadi faktor yang memperingan perbuatan kriminal Ron.

“Kau akan membayarnya, Hermione…” geraman Ron membuat semua orang terkejut. Pria itu berdiri dengan susah payah, berpegangan pada dinding supaya tidak kehilangan keseimbangan. Hidung dan bibirnya mengucurkan darah segar, namun tak menyamarkan ekspresi gusar dan penuh dendam di wajahnya. “Kau akan membayarnya.”

Sebelum Harry sempat bertindak, terdengar bunyi ledakan keras. Mendadak Ron sudah tak ada lagi di tempatnya. Dia berdisapparate, meninggalkan Hermione yang semakin gemetar hebat dalam pelukan kekasihnya. Gadis itu sangat ketakutan mendengar ancaman ini.


Belum tamat kok

Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Kasihan Hermione. Kasihan Severus. Sebel juga sama Harry yang kurang tegas menentukan sikap. Update berikutnya bisa jadi bakal cepat dipublish asal ada review-review segar n menggelitik untuk suplemennya. Hayo REVIEW! ^0^

Terima kasih banyak untuk temen-temen yang sudah mereview chapter selanjutnya dan juga yang masih tetep setia mereview. D.Neuer, lopelope, Ketsueki Kira Fahardika, Oryn, Sun-T, Aicchan, Selene de Lune, Miyu, dan Mamehatsuki. Tidak lupa juga terima kasih buat my lil sista, Stephanie, yang selalu menagih dan mengingatkan aku buat buruan nulis. Dukungan kalian selalu banyak berarti bagiku. -kecup satu-satu-