How To Be A Good Husband

Disclaimer: credit to Usagistu


Disclaimer : Harry Potter belongs to JK Rowling

Pairing : Severus Snape/Hermione Granger (SSHG) dan Harry Potter/Ginny Weasley (HPGW)

Genre : Romance, Humor, Friendship.

Timeline : Sekitar 10 tahun setelah jatuhnya Voldemort, di mana Harry berumur 27 th, Hermione 28 th, dan Severus 47 th. Ingat, ini AU. Severus Snape tak akan pernah mati di fanfic saya.


How To Be A Good Husband



"Harry! Bagaimana kau bisa ada di sini?"

Harry membalas sapaan kaget dari Hermione dengan senyum simpul. Alih-alih menjawab, ia beranjak dari kursinya untuk memberi sahabat baiknya itu pelukan dan kecupan ringan di pipi. Senyumnya melebar saat mendapati raut penasaran Hermione.

Wajar saja wanita itu curiga. Akhir pekan seharusnya dihabiskan bersama keluarga, bukannya malah kelayapan bertandang ke rumah orang seperti yang dilakukan Harry saat ini. Apalagi mereka baru saja bertemu saat Hermione mengunjungi rumah Harry beberapa hari yang lalu.

"Kalau kau memperhatikan, dear wife, Mr Potter datang melalui penemuan mutakhir di jaman batu yang disebut 'pintu'."

Hermione mengabaikan ucapan sarkas suaminya dan masih memandangi Harry dengan sorot ingin tahu sampai akhirnya Harry membuka mulutnya, "Aku datang untuk menemui Mr Snape—suamimu, maksudku."

Sorot ingin tahu Hermione kini beralih kepada Severus yang menatap tajam ke arah Harry dengan ekspresi jengkel luar biasa. Namun ini tak bertahan lama. Sesaat setelah Hermione duduk di sebelah Severus dan membelai mesra pundak suaminya, pria itu tampak sedikit rileks.

Diam-diam Harry menarik nafas lega. Duduk berhadapan tepat dengan Severus Snape masih terasa menegangkan. Meski mantan guru ramuannya itu kini telah menikahi salah satu sahabat terbaiknya, sikap Severus Snape belum banyak berubah terhadap Harry. Masih dingin, sinis, merendahkan, dan arogan. Porsinya memang agak berkurang sih—lebih mendingan sekarang daripada dulu. Tapi tetap saja. Dia masih Severus Snape yang kejam dan sangar.

"Well, kau datang sebagai seorang Auror. Semoga ini bukan berarti kabar buruk. Apapun yang dilakukan Severus, aku berani menjamin…"

"Hermione, aku tidak datang kemari untuk menangkap suamimu. Tenanglah. Aku datang untuk sesuatu yang lain. Masih urusan Auror sih. Tapi tidak ada kaitannya dengan kriminal." Harry tertawa kecil. Ekspresi Hermione berubah lega. "Jadi… Err… Apa kabar kalian?" tanya Harry berbasa-basi.

"Selama satu minggu ini kami belum saling melontarkan kutukan, jadi kabar kami kurasa baik." Hermione tersenyum manis, sementara Severus memutar bola matanya.

Harry bersusah payah menahan diri untuk tidak menyeringai geli. Dia masih ingat kejadian satu minggu sebelumnya, di mana dia dan Ginny membesuk Severus di St Mungo. Entah apa penyebabnya, rupanya Hermione berselisih paham dengan suaminya saat itu, dan berakhir dengan hidung Severus yang membesar seukuran terong.

Well, Harry memang mengenal Hermione sebagai wanita yang sangat pemberani. Seorang Gryffindor sejati, tentu. Tapi berani-beraninya dia mengutuk seorang Severus Snape! Mengutuk hidungnya, terutama. Semua orang tahu betapa melegendanya ukuran hidung Snape, dan mengacaukan hidung orang yang satu itu sama saja berarti cari mati. Namun pastinya Hermione dikaruniai keberanian luar biasa untuk melakukan hal yang jauh lebih mengerikan daripada mengutuk hidung Snape. Menikahinya.

"Satu minggu bukan catatan terbaik kami, Mr Potter. Kau tak perlu shock begitu," sahut Severus dingin.

"Tidak. Bukan shock. Cuma heran. Itu saja, Mr Snape."

Yeah, Harry heran. Pertama, karena dia tak bisa membayangkan bagaimana rumah tangga pasangan unik ini. Satu minggu tanpa saling lempar kutukan? Tanpa sadar, Harry mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu. Sejauh apa yang ia lihat, tak ada tanda-tanda kerusakan. Baguslah. Kedua, dia tak tahu bagaimana cara Hermione menangani sinisme dan sarkasme Severus yang bukan main itu. Selain mengutuk hidung suaminya, tentunya.

"Kau meremehkan istriku kalau berpikir dia hanya bisa membesarkan hidungku, Potter." Severus memincingkan kedua matanya begitu membaca pikiran Harry tadi. Bibir tipisnya membentuk sebuah cibiran, menyebabkan Harry salah tingkah. "Dia tak pernah berhenti berkreasi dengan kutukan-kutukannya, kau tahu."

Hermione menyikut pelan pinggang suaminya sambil mengomel, "Kupikir tak ada salahnya membesarkan hidungmu sekali-sekali. Kadang kau bisa sangat menyebalkan, Severus. Jadi jangan salahkan aku kalau hidungmu membesar lagi di lain hari."

"Oya?" Salah satu alis Severus terangkat, terkesan elegan sekaligus menantang. "Kukira kau sudah sangat puas dengan sesuatu yang lebih besar dari hidungku, my dear."

Sindiran Severus kontan membuat wajah Hermione memerah dan Harry refleks memandangi perut Hermione yang membuncit. Jika dia tak salah ingat, Hermione sedang hamil enam bulan. Sedetik kemudian, entah mengapa mendadak Harry menyadari kalau dua orang yang sedang berdebat di hadapannya ini memang ditakdirkan langit untuk bersatu.

Severus Snape yang dikenal Harry memang menyebalkan dan berlidah tajam. Pria berambut hitam kelam itu selalu suka beradu mulut dengan siapapun, tapi tentunya tidak dengan mata yang berbinar begini. Mata yang berbinar ini (walau terjadinya cuma sekilas saja) hanya ditujukan untuk Hermione seorang, pikir Harry. Jelas sekali Master Ramuan itu sangat menikmati bersilat lidah dengan istrinya. Baik secara harfiah maupun kiasan.

"…atau kau lebih puas jika aku memakai hidungku saja?"

"Jangan konyol, Severus. Tentu saja aku lebih memilih kau memakai 'itu' daripada hidungmu."

Harry berdehem, semakin salah tingkah. Merlin! Dia tak mau membayangkan tentang 'itu' milik mantan guru ramuannya yang mampu memuaskan Hermione atau apalah. Dia tidak datang kemari hanya untuk menyaksikan pertengkaran sengit-tapi-mesra pasangan ini, kan?

Pasangan suami-istri yang sedang asyik berdebat itu pun langsung terdiam. Sekali lagi kedua pipi Hermione merona merah karena malu, lebih merah daripada sebelumnya malah. Sedangkan Severus justru memasang ekspresi masam di wajahnya. Tentu dia kesal pada dirinya sendiri yang tak sengaja mendemonstrasikan sesuatu yang bukan konsumsi publik kepada Harry.

"Err… akan kubuatkan kau teh, Harry…" Hermione bangkit dari kursinya, sedikit ragu-ragu dan terkesan kurang sukses menutupi sisa-sisa rasa malunya.

Sebelum Harry sempat menjawab, Severus ikut-ikutan meninggalkan kursinya dan membuntuti Hermione ke dapur. "Tidak, sweetheart. Mengingat kondisimu sekarang, kau tak boleh bekerja terlalu keras. Biarkan Missy yang membuatkan si Potter teh."

Missy adalah peri-rumah yang dipekerjakan di rumah ini dengan gaji bulanan dan hari libur, bahkan tunjangan hari raya. Aneh rasanya mengetahui Hermione masih bersikeras dengan SPEW-nya, dan lebih aneh lagi mengetahui Severus bisa menoleransi kengototan istrinya ini. Kening Harry berkerut-kerut memikirkannya.

"Ini akhir pekan, dear husband. Aku tak mau mengganggu libur Missy cuma gara-gara secangkir teh yang bisa kubuat dengan mudah." Harry bisa mendengar suara Hermione dari dapur.

"Percayalah. Dia akan kegirangan jika kau mengganggunya kapan saja. Dia peri-rumah, darling. Dia diturunkan ke dunia yang semrawut ini untuk bekerja dan melayani kita. Menganggur justru membuat dia sedih. Kukira kau tahu itu."

"Aku tidak suka pemikiran kolotmu itu. Lucius Malfoy pasti telah mempengaruhimu entah bagaimana. Suatu saat aku akan bicara kepadanya tentang masalah peri-rumah ini. Kalau perlu akan kupaksa dia membebaskan semua peri-rumahnya. Kita lihat sendiri bagaimana cara dia memperlakukan Dobby."

"Hermione, wife of mine, kita sudah membicarakan ini berulangkali." Dari suaranya, Harry menebak Severus baru saja menghela nafas. Pasti ia menganggap pembicaraan tentang hak asasi peri-rumah ini konyol, melelahkan, dan tanpa titik temu jika sudah berhadapan dengan wanita keras kepala seperti Hermione. "Dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Lucius. Jadi jangan paksa dia membebaskan semua peri-rumahnya karena dia pasti akan kebakaran jenggot."

"Dia bahkan tak punya jenggot!" bantah Hermione cepat. Namun Severus bergeming, ekspresinya datar. "Mungkin sebaiknya kita mulai dari Missy. Aku mulai berpikir kalau hamil membuatku malas bergerak…"

"Tidak!" potong Severus tajam. "Kau tidak akan dan tidak boleh memberi Missy pakaian. Satu-satunya alasanku mempekerjakan peri-rumah di sini adalah karena aku tak ingin kau kelelahan mengurus segala hal, my dear. Kau hamil dan butuh banyak istirahat, dan membebaskan peri-rumah di saat seperti ini adalah hal terbodoh yang pernah kudengar darimu."

Kali ini giliran Hermione yang menghela nafas. "Aku tetap akan memberi dia pakaian suatu saat nanti. Diam-diam tanpa sepengetahuanmu, mungkin."

"Tidak kalau kau tak punya pakaian, wife. Aku tak melihat apa ruginya membuang semua pakaianmu dan membiarkanmu berkeliaran di dalam rumah tanpa busana sepanjang hari."

Harry mendapati seringai jahil di wajah Severus dan ia harus mengucek-ucek matanya, memastikan apa benar yang dilihatnya barusan. Severus Snape menyeringai jahil? Sejak kapan? Dunia sudah jungkir balik, rupanya.

"Kalau begitu aku akan memakai pakaianmu, my dear husband," balas Hermione tak mau kalah. "Atau kau juga berencana membuang semua pakaianmu demi mencegah rencanaku ini?"

Sekali lagi Severus menyeringai, dan menilik ekspresi tersipu Hermione, Harry berpikir sahabat karibnya itu pasti menganggap seringai suaminya sangat seksi.

"Andai ini bukan tentang peri-rumah, tentu aku tak akan keberatan tentang ide kita berdua sama-sama tak berbusana, darling. Itu akan membuat semuanya jadi mudah, sebenarnya."

Ucapan nakal-tapi-berbau sarkas Severus Snape ini kontan membuat bulu kuduk Harry merinding. Tanpa sengaja dia mendengus. Untunglah Hermione juga mendengus di saat yang bersamaan.

Hermione diam tak protes ketika Severus melambaikan tongkatnya, membuat teko air terbang dan mendarat di atas kompor. Satu kali jentikan dari Severus membuat api kompor menyala. "Kau baik sekali mau membuatkan Harry teh, dear husband."

Kali ini baik Harry dan Severus sama-sama memutar bola mata mereka. Harry tahu betul kalau Severus terpaksa melakukannya karena tidak ingin istrinya kecapekan. Well, kecapekan hanya gara-gara menyeduh teh? Sungguh suami yang baik, batin Harry sinis. Ucapan Hermione selanjutnya membuat Harry tersentak. "Tapi jangan membubuhi yang aneh-aneh ke dalam teh itu atau kau akan tidur di teras malam ini, Severus!"

Sesaat kemudian Hermione kembali ke ruang tamu dengan suasana hati yang lebih baik, terlihat jelas dari ekspresinya yang berseri-seri. "Apa kabar Ginny dan anak-anak, Harry?"

"Well, mereka semua sehat. James dan Albus mulai belajar menaiki sapu mini mereka, dan Lily sudah mahir berjalan. Kau harus lihat sendiri bagaimana keadaan Grimmauld Place akhir-akhir ini, Mione. Dengan tiga balita berlarian kesana-kemari dan Ginny dan Kreacther sibuk beres-beres setiap sepuluh menit sekali."

"Oh, Harry. Itu kedengaran sangat menyenangkan!"

Hermione tersenyum manis, meraba perutnya tanpa sadar. Kehamilan pertamanya sejak menjadi istri Severus selama delapan tahun. Sudah lama ia menunggu kapan rumah mereka akan diramaikan kehadiran seorang anak, dan sebentar lagi dia bisa merasakan apa yang dirasakan Harry dan Ginny.

"Yeah, menyenangkan." Harry balas tersenyum. "Jadi bagaimana kehamilanmu?"

"Well, sejauh ini baik-baik saja. Severus sangat membantu. Dia selalu menemaniku memeriksakan kandungan setiap bulannya ke Healer terdekat, memastikan nutrisiku cukup, dan memijat kakiku jika aku mengalami kram di tengah malam. Oh iya, dia juga tak pernah lupa membantuku mengoleskan krim anti stretchmark di awal-awal kehamilanku dulu. Bahkan dia sendiri yang membuat krimnya."

"Wow." Harry terpana. "Dia suami yang hebat."

"Dia bilang karena aku sedang membawa anaknya di dalam perutku, maka di lain pihak dia juga harus melakukan sesuatu yang sama beratnya. Dia sangat bertanggungjawab, tentu. Hanya saja kadang dia agak paranoid." Hermione mengatakannya sambil memasang raut kesal.

"Tak ada salahnya sedikit paranoid. Aku belum pernah berpengalaman dengan wanita hamil. Terutama dengan wanita hamil yang sok tahu dan menyebalkan." Harry mendengar suara dingin dan datar khas Severus Snape dari arah dapur, dan saat ia berpaling, ia mendapati sang Master Ramuan datang bersama nampan berisi secangkir teh. Lebih tepatnya, nampan itu melayang terbang di belakangnya sebelum mendarat mulus di atas meja.

"Silahkan diminum, Harry," kata Hermione ramah.

Tanpa banyak pikir Harry mengangkat cangkirnya dan mulai menyeruput. Namun sedetik kemudian matanya membelalak. Tehnya terasa asin sekali! Dari sudut matanya Harry mendapati Severus sedang menyeringai. Dia memang tidak memasukkan yang aneh-aneh ke dalam teh Harry, seperti racun atau obat nyamuk misalnya. Tapi garam alih-alih gula? Tipikal Slytherin! batin Harry kecut.

"Tolong habiskan tehmu, Potter. Kau tahu aku harus memakai lambaian-tongkat-bodoh untuk membuat teh itu, sesuatu yang langka kulakukan."

Harry memutar bola matanya. "Aku merasa terhormat, sir. Sungguh." Demi menjaga harga dirinya, Harry memaksakan meneguk habis teh super asin itu sambil memasang ekspresi sewajar mungkin. Dia tak sudi dipermalukan seorang Slytherin. Mungkin Severus Snape berpikir dia sudah berhasil mengerjainya. Well, dia salah besar!

"Aku yakin kau punya janji pada jam ini." Severus mengalihkan fokusnya dari Harry ke Hermione. "Spa ibu hamil?"

"Oh ya. Benar." Hermione menepuk dahinya. "Tapi aku tak bisa pergi sekarang. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengan Harry."

"Reservasi spa khusus ibu hamil itu sangat susah, my dear. Lagipula Spa itu rekomendasi dari Narcissa. Kuharap kau mau menghargai usahaku."

Hermione tersenyum. Dia tersentuh melihat usaha suaminya. Sesuatu yang direkomendasikan Narcissa Malfoy sudah pasti selalu mahal, mewah, dan ekslusif. Tentunya bagi orang yang benci menghambur-hamburkan uang, Severus tidak main-main jika ia bersedia melakukan hal semacam ini untuknya.

"Aku akan segera berangkat, kalau begitu," ujar Hermione sedetik kemudian. "Maaf, Harry. Aku tak bisa menemanimu kali ini."

"Tak apa-apa, Mione. Lagipula saat ini aku adalah tamu Mr Snape," balas Harry.

Sungguh, dia tak begitu keberatan. Hermione pantas bersantai sejenak setelah menghabiskan sebagian besar waktunya bersama kelelawar tua—Snape, pikir Harry logis. Meski begitu, Harry merasa dadanya seperti dicubit. Spa khusus wanita hamil? Kenapa dulu dia tak pernah memikirkan hal ini untuk istrinya sendiri? Padahal dia sudah menghamili Ginny sebanyak tiga kali dan seharusnya ada tiga kali kesempatan untuk mengirim Ginny ke spa itu, kan? Justru pria kaku, antisosial, dan dingin seperti Snape bisa melakukan hal semanis ini.

"Sampai jumpa lagi, Harry. Sampaikan salamku untuk Ginny dan anak-anak." Senyum di wajah Hermione semakin lebar saat dia bangkit dari kursinya dan memeluk Harry.

"Yeah." Harry mengusap punggung Hermione lembut. "Sampai bertemu besok di The Burrow. Kita semua akan merayakan ultahmu di sana, benar?"

Hermione mengangguk, kedua matanya berbinar. Ia membiarkan Severus membantunya mengenakan jubah berpergian sebelum kemudian mengantarnya sampai ke depan perapian.

"Kau tidak akan apa-apa kutinggal sendirian di rumah, kan?"

"Kurasa aku hanya akan meledakkan dapur atau membakar perpustakaan," jawab Severus dingin. "Sungguh, Hermione. Aku bisa menjaga diriku sendiri di rumah. Kupastikan rumah ini akan tetap utuh saat kau pulang nanti."

"Dan kau juga tetap utuh?"

"Tentu saja." Sudut bibir Severus berkedut, nyaris membentuk seulas senyum. "Bersenang-senanglah di sana, dear wife."

"Terima kasih, dear husband. Kau manis sekali dengan semua perhatianmu kepadaku ini."

"Kata 'manis' tak pernah ada di dalam kamusku."

"Kau mencari di kamus yang salah, kalau begitu," tukas Hermione. "Sekarang diamlah dan beri aku ciuman sebelum aku pergi dari sini."

Severus tampak ragu-ragu memberikan kecupan perpisahan di bibir istrinya. Dia tak pernah nyaman menunjukkan kemesraan di depan orang lain, dan Harry adalah 'orang lain' baginya. Bagaimana pun juga, dia tetaplah pria yang selalu menjaga privasinya.

Harry memutuskan ini saat yang tepat untuk berpaling dan memberi pasangan suami istri itu sedikit privasi. Semenit-dua menit. Suasana masih hening dan Harry mulai bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

Ia memberanikan diri melirik ke arah perapian dan mendapati Severus dan Hermione masih berciuman. Untuk sesaat Harry berjengit, meski jujur saja apa yang dilihatnya ini tidak seperti apa yang pernah dibayangkannya. Tentunya tidak seburuk membayangkan Hermione berciuman dengan Mandrake. Dia hanya berciuman dengan suaminya, kan? Tapi tetap saja, Harry merasa ganjil.

Ia belum pernah melihat seorang Severus Snape menunjukkan seberapa dalam cinta dan hasratnya melalui ciuman panasnya. Begitu juga Hermione. Di mata Harry, sesuatu di luar buku dan esai yang bisa membuat ekspresi Hermione begitu rileks dan bahagia seperti ini adalah sesuatu yang hebat. Harry tak pernah tahu kalau sahabat karibnya itu senang beradu pagut dan beradu lidah. Tapi jelas ini pemikiran konyol. Mana ada orang yang tidak senang berciuman? Khususnya berciuman dengan orang yang mereka cintai.

Harry mengernyitkan dahi, bernafas sepelan mungkin. Menyaksikan pasangan yang sedang asyik berciuman sekitar beberapa meter di depannya membuat dia merenung. Sudah pernahkah dia mencium istrinya sendiri semesra itu selama ini?

Ginny berhak mendapat ciuman hangat sama seperti yang didapat Hermione dari suaminya. Tentu saja dia berhak, dan jelas ini adalah kewajiban Harry untuk memberinya ciuman yang sepantasnya. Bukankah tadi pagi mereka sudah berciuman saat Harry berpamitan? Hanya saja tidak seperti ini, tidak seperti yang dilakukan Severus kepada Hermione. Harry tidak mengulum bibir bagian bawah Ginny, tidak menyapukan ujung lidahnya ke sela bibir Ginny yang merekah, tidak menggigit pelan bibir bagian atasnya, dan tidak menyambut tusukan lidah Ginny ke dalam mulutnya. Harry hanya memberi Ginny kecupan sekilas sebelum menggumamkan 'sampai jumpa, honey' dan ber-apparate ke depan pintu rumah Snape.

Tiba-tiba tumbuh rasa getir di hatinya, membuat rongga dadanya sesak. Sudahkah dia jadi suami yang baik untuk Ginny? Mereka sudah menikah selama tujuh tahun dan dikaruniai tiga orang anak, seharusnya itu sudah cukup membuktikan kalau dia suami yang baik, kan?

Oh, well. Tidak semua rumah tangga yang baik bisa dijadikan ukuran apakah sang suami adalah suami yang baik pula. Faktanya, rumah tangga yang dari luar terlihat baik dan bahagia, bisa jadi justru keropos dan rapuh dari dalam. Pondasi sebuah rumah tangga adalah hubungan suami-istri, dan Harry baru menyadarinya secara mendalam.

Hubungannya dengan Ginny terasa agak hambar akhir-akhir ini. Harry sibuk bekerja di kementerian sebagai Auror dan terkadang pekerjaannya mengharuskan dia lembur hingga tengah malam atau bahkan lembur di akhir pekan seperti sekarang ini. Kesibukannya bekerja ini membuatnya susah meluangkan waktu untuk berduaan bersama Ginny, tidak seperti dulu saat anak pertama mereka belum lahir.

Meski begitu, bukan berarti dia tidak perlu memberikan ciuman hangat kepada Ginny lagi, kan? Karena bagaimana pun juga Harry masih sangat mencintai istrinya. Merlin, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya jika Ginny sampai meninggalkannya.

Renungan Harry buyar saat mendengar ucapan lantang Hermione dari dalam perapian. Terlihat kobaran api hijau jamrud selama beberapa detik sebelum lenyap sama sekali, pertanda Hermione baru saja menggunakan jaringan Floo.

Severus membalikkan badannya, menatap Harry tajam-tajam sambil berucap datar, "Aku yakin apa yang terjadi di sini akan tetap tinggal di sini. Benar begitu, Mr Potter?"

"Err… yeah. Tentu, sir!" Harry mengangguk cepat. "Aku tidak akan mengatakan apapun kepada siapapun tentang apapun yang terjadi di sini antara kau dan Hermione."

Salah satu alis Severus terangkat. Sudut bibirnya berkedut saat berkata dengan nada arogan, "Semoga ini artinya aku tak perlu memaksamu melakukan Sumpah Tak Terlanggar."

Sekali lagi Harry mengangguk, meski rahangnya mengeras. Atmosfir di ruangan serta merta berubah drastis begitu Hermione pergi, dan Harry merasa tak nyaman karenanya. Merasa terintimidasi begini membuatnya terlempar ke masa lalu, masa-masa di mana ia masih murid Hogwarts dan Snape masih jadi guru Ramuannya.

Dengan langkahnya yang elegan, Severus kembali ke kursinya, duduk senyaman mungkin, dan bersikap formal seakan tak punya kepentingan lain dengan Harry selain urusan bisnis. "Kau bawa apa yang harus kau bawa?"

"Ya, sir."

Harry mengeluarkan sebuah kotak mungil dari dalam saku jubahnya. Di dalam kotak itu berisi sebuah tabung kosong yang biasa dipergunakan untuk wadah menyimpan ramuan. Bedanya, pada bagian dasar tabung ini terdapat huruf H dan S, inisial Hermione Snape. Untuk sumbatnya sendiri pun bukan gabus biasa, melainkan potongan Batu Bertuah. Harry harus mengakui kalau tabung itu sangat indah, dan ide untuk memakai Batu Bertuah sebagai sumbatnya adalah ide yang brilian.

Severus langsung memeriksa tabung itu dengan sangat hati-hati sebelum kembali menyimpannya ke dalam kotak. Sambil memasang raut datar tanpa ekspresi dia berseloroh, "Besok ulang tahun istriku yang ke-28 dan aku tak punya waktu lagi untuk mencarikan dia hadiah baru. Paham?"

Tanpa sadar Harry menghela nafasnya. Ia merasakan nada bicara Severus ini tajam dan berbahaya, seperti sedang menumpuk lahar di dalam tubuhnya yang siap diletuskan kapan saja. Sebenarnya wajar kalau pria di depannya ini marah besar. Tabung semacam itu tak bisa dijumpai di toko mana pun. Itu barang pesanan khusus yang amat sangat langka, bahkan mungkin cuma satu-satunya di dunia. Harry sendiri yakin kalau Batu Bertuah yang digunakan untuk sumbat tabung itu adalah Batu Bertuah yang pernah ia pertahankan dari Voldemort saat ia masih kelas satu dulu.

"Benar. Itu batu yang sama."

Perkataan Snape ini membuat Harry terkejut. Oh, dia benci sekali setiap Snape menerobos masuk ke dalam pikirannya. Entah kenapa pria berambut hitam kelam itu selalu berusaha membuat Harry menyesali kegagalannya dalam mempelajari Occlumency di tahun kelimanya dulu.

"Jadi seharusnya kau tahu, Potter, kalau Dumbledore dan aku sendiri yang menghancurkan batu itu dengan sihir. Batu Bertuah sudah tak ada lagi, dan batu yang ada di hadapan kita ini hanya batu biasa yang tak mengandung kekuatan ajaib sedikit pun. Bentuknya memang sangat indah dan punya nilai historis tinggi. Aku mendapatkannya dengan susah payah, memesan secara khusus kepada toko barang antik di Hogsmade dan mereka baru bisa memenuhinya setelah tiga bulan lamanya, sebelum kawan-kawan Aurormu merampoknya dariku."

"Kami hanya ingin memastikan apakah tabung ini mengandung sihir hitam yang berbahaya. Itu sudah tercantum di dalam regulasi tentang penggunaan benda-benda yang mengandung unsur magis tertentu sebagai milik pribadi. Kami hanya menjalankan tugas, Mr Snape."

"Jadi sekarang kalian sudah puas membuktikan kalau tabung ini memang mengandung sihir hitam yang berbahaya?" cibir Severus.

Harry menggeleng. "Tabung ini seratus persen aman, seperti yang kau katakan tadi. Karena itulah kami mengembalikannya."

"Oh, aku menyesal sudah membuat para Auror kecewa. Bahkan statusku sebagai pahlawan perang tidak membuat kalian berhenti berusaha memasukkanku ke Azkaban. Menyedihkan." Ekspresi berpuas diri Severus membuat dada Harry memanas.

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Snape. Sudah kubilang kalau ini hanya persoalan regulasi. Sama sekali tak ada hubungannya dengan masa lalumu atau statusmu sekarang."

"Bagus. Jadi apa ini artinya kau sudah bisa segera angkat kaki dari rumahku?"

Harry menahan nafasnya, mencoba bersabar. "Belum. Masih ada sesuatu yang ingin aku katakan." Melihat kedua alis Severus terangkat, Harry pun berujar, "Aku senang melihatmu memperlakukan Hermione dengan baik. Dia wanita yang luar biasa dan berhak mendapat perlakuan yang luar biasa, dari pria yang juga sama luar biasanya."

"Kurasa kau sudah mulai pandai menjilat, Potter."

"Aku tidak menjilat. Aku bukan Slytherin sepertimu, Snape," balas Harry kalem. "Setelah perang usai dan Voldemort pergi ke neraka, aku berusaha melihat sisi lain darimu. Sesuatu yang bisa menjelaskan kenapa Hermione bersedia menikahimu delapan tahun yang lalu, dan kurasa aku sudah mulai tahu alasannya. Maksudku, aku sudah tahu betul bagaimana besarnya dedikasi dan pengorbananmu selama perang melawan kegelapan, serta bagaimana dalamnya cinta yang kau sembunyikan dari siapapun untuk ibuku. Semua ini membawaku kepada satu kesimpulan, bahwa kau dan Hermione, kalian berhak atas satu sama lain…"

"Aku benci melodrama, Potter," potong Severus kaku, ekspresinya jengkel bukan main. "Jadi jangan pikir aku sudi menghabiskan sisa hidupku sebatang kara sebagai seorang bajingan yang kesepian dan menderita. Hermione adalah hal terbaik yang pernah ada di dalam hidupku. Aku yakin kau mengerti apa arti ucapanku ini. Jujur saja, kupikir kau tidak seidiot kronimu. Si Weasley itu sampai sekarang masih saja mencoba membuktikan kalau aku mencekoki istriku dengan ramuan cinta."

Harry mengangguk. "Hermione tidak semudah itu ditipu dengan ramuan apapun, sir. Apalagi sekarang dia telah menyandang gelar Master Ramuan. Di sisi lain Ron sudah menikahi Lavender. Jadi seharusnya dia menghentikan usahanya ini."

"Dasar keong racun," cibir Severus, tinjunya mengepal.

"Andaikan dulunya Hermione betulan menikah dengan Ron, aku yakin Ron tidak akan bisa menanganinya. Pada akhirnya dia hanya akan bergabung ke dalam ISTI—Ikatan Suami Takut Istri. Hermione wanita yang sangat kuat dan cenderung nge-boss. Dia bahkan tak takut mengutuk suaminya sendiri."

Severus mendengus, tak setuju. "Dia tidak mengutukku, Potter. Aku yang membiarkan dia mengutukku," bantahnya. "Kau pikir aku pria macam apa yang tega melemparkan kutukan ke istrinya yang sedang hamil? Selama kutukannya bukan Kutukan Tak Termaafkan, aku rela dia mengutukku dengan apa saja saat dia marah padaku."

Harry mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan kata maaf. "Apapun itu, aku senang melihat kalian berdua berbahagia. Kau suami yang baik, sir, sesuai dengan yang dibutuhkan Hermione. Andai saja kau bersedia mengajariku bagaimana caranya menjadi suami yang baik, maka aku akan senang sekali."

"Mengajarimu jadi suami yang baik? Kau pasti bercanda. Aku sudah mengajarimu Ramuan dan Occlumency, dan yang mana dari dua pelajaran itu yang berhasil kau kuasai? Tak ada."

Walau ucapan ini benar adanya, Harry tetap saja merasa kesal. Apalagi saat mendapati Severus menyeringai penuh kemenangan.

"Lagipula, menjadi suami yang baik bukanlah sesuatu yang bisa diajarkan. Itu adalah sesuatu yang kau rasakan dan kau ungkapkan, Potter. Kalau kau benar-benar cin—punya perasaan mendalam kepada istrimu, kau pasti tahu sendiri apa yang harus kau lakukan."

"Kupikir kau benar, sir."

"Aku selalu benar, Potter," balas Severus arogan. "Sekarang, jika kau sudah puas mengusik dan membuang waktuku yang berharga, kuminta kau segera meninggalkan rumahku. Aku hanya bersikap baik kepadamu atas permintaan Hermione, kau tahu?"

"Kalau yang kau maksud bersikap baik adalah dengan cara 'memasukkan garam ke tehku', sir, aku bersyukur bukan aku yang harus menikah denganmu," kata Harry asal saja.

"Well, maaf sudah membuatmu patah hati, kalau begitu," cibir Severus seraya menjentikkan tongkatnya untuk membuat pintu depan terbuka dengan sendirinya. "Keluar dari rumahku, Potter. Kembalilah ke istrimu dan berikan apa yang dia butuhkan, sebelum pria lain yang melakukannya."

Kerongkongan Harry tercekat. Sindiran Severus ini menohoknya telak. Bukan. Bukan sindiran. Lebih seperti saran. Sebuah saran yang logis. Yeah.

"Pasti," ucap Harry kepada dirinya sendiri sebelum melangkahkan kaki keluar rumah dan ber-apparate langsung ke Grimmauld Place nomor dua belas. Ada banyak hal yang harus diperbaikinya bersama Ginny, dan dia akan melakukannya mulai detik ini juga.

El Elxtremo

I Love You? I Love You Not?

Disclaimer : Harry Potter belongs to JK Rowling

Pairing : Severus Snape/Hermione Granger (SSHG)

Warning : Siap-siap kecewa… NO LEMON!

A/N : Akhirnya saya bisa juga bikin fanfic rating T. Hohoho… Dan ini fanfic pertama yang saya tulis setelah Lebaran. Minal Aidzin Wal Faidzin everybody! Percaya atau tidak, saya lagi puasa nih pas nulisnya, nebus bolong-bolong yang kemaren. Mungkin itu juga yang bikin rating favorit saya jadi bergeser dari M ke T. *alasan*

Ingat! Ini AU dan di cerita ini Hermione berumur 25 tahun n Severus 44 tahun.



I Love You? I Love You Not?

Disclaimer: Credit to tiannangel of Deviantart



Pagi itu Hermione terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang sukar diungkapkan. Rongga dadanya sesak. Gelisah, semangat, bingung, dan segala macam bercampur aduk di dalam sana. Ia tak tahu apa, kenapa, atau bagaimana. Yang ia tahu hanya satu. Ia jatuh cinta kepada Snape.

Yeah. Severus Snape. Ia, Hermione Jane Granger, jatuh cinta kepada Severus Snape. Kepada guru paling kejam dan paling ditakuti di seantero Hogwarts. Kepada ahli ramuan terbaik yang ada di Inggris. Kepada penyihir pria dengan kekuatan sihir hitam luar biasa hebat dan bisa terbang tanpa sapu. Kepada pria yang brilian, super misterius, dan tak bisa ditebak jalan pikirannya.

Dan dia—Hermione Jane Granger, sahabat Harry Potter, salah satu pahlawan dalam perang besar melawan Voldemort, Orde of Merlin Kelas Satu, lulusan terbaik Hogwarts di angkatannya, guru Rune Kuno di Hogwarts saat ini—tak tahu bagaimana ia bisa jatuh cinta kepada Snape secara mendadak begini.

Ini tidak mungkin terjadi, pikir Hermione panik.

Aku tak mungkin bisa jatuh cinta kepada Snape! Maksudku, bagaimana bisa? Apa yang menarik darinya? Malah, aku punya jutaan alasan untuk tidak mencintainya. Benar, kan? Snape mantan Pelahap Maut. Dia antisosial, berkepribadian buruk, dan pria yang paling menyebalkan yang pernah kutemui. Dan… dia jauh lebih tua daripada aku.

Aku tak mungkin jatuh cinta kepada Snape. Tidak mungkin.

Ta—tapi… Apa salahnya jatuh cinta kepada Snape? Setidaknya itu membuktikan kalau aku normal, kan?

Snape seorang pria tulen. Memang sih, dia nyaris tak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Tetapi dia punya sejarah panjang dengan Lily Potter. Jenggot Merlin! Snape mencintainya selama dua puluh tahun, atau mungkin malah lebih lama dari itu. Snape mencintai Lily sejak mereka masih berumur belasan. Ini tandanya Snape memang pria sejati yang tertarik kepada wanita, dan artinya aku tidak salah sasaran jika jatuh cinta kepadanya.

Benarkah?

Bagaimana jika Snape masih mencintai Lily sampai sekarang? Bagaimana kalau Snape menutup hatinya kepada semua wanita karena cinta mati ini? Bagaimana kalau Snape tidak akan pernah bisa melupakan Lily?

Hermione menarik nafas panjang, berguling di atas ranjangnya. Antusiasmenya mulai meredup, digantikan oleh rasa pahit dan pedih.

Aku tak mungkin mencintai pria yang begitu obsesif dan posesif seperti itu. Pria yang begitu mendambakan seorang wanita yang tak pernah membalas cintanya. Pria yang sangat setia mengabdikan hidupnya untuk seorang wanita yang tak pernah ditakdirkan untuk ia miliki.

Aku tak mungkin mencintai Severus Snape.

Sekali lagi Hermione menarik nafas panjang. Ruang hatinya terasa sedikit ringan saat setetes demi setetes airmatanya jatuh. Ia menangis tanpa suara. Ia menggeleng keras-keras, menjerit dalam hatinya.

Aku tidak mungkin mencintai Severus Snape! Tidak mungkin!

Maka hanya ada satu penjelasan, pikir Hermione, mencoba logis. Ada yang diam-diam memberinya Amortentia. Yeah. Itu masuk akal.

Seseorang mencampurkan Amortentia dengan sengaja ke dalam minumannya. Mungkin jus labu yang semalam diminumnya saat makan malam bersama di Aula Besar. Atau teh yang selalu disediakan peri-rumah di ruang guru. Entahlah. Hanya itu satu-satunya penjelasan yang terlintas di pikirannya.

Tapi kenapa aku? Kenapa Snape?

Mungkin ini hanya untuk olok-olok belaka. Pasti akan lucu sekali kalau kelelawar tua itu—Snape terlibat asmara dengan kutu buku membosankan seperti aku. Pasangan aneh. Pasangan yang kurang kerjaan. Pasangan dagelan terlucu abad ini.

Hermione meraba dadanya di bagian jantung. Dadanya sakit sekali. Tapi lebih dikarenakan oleh perasaan sakit hatinya yang mendalam.

Teganya…Siapa pun yang melakukan ini kepadaku, aku tidak akan mengampuninya!


000000


Bedebah! Bajingan keparat!

Hermione terus saja merutuk dalam hati. Kebencian menjalari tubuhnya. Bagaimana pun juga ia harus bisa memulihkan diri. Ia harus mampu mencari cara untuk menghilangkan pengaruh Amortentia ini sebelum ia jadi gila.

Ia tak pernah bisa menghapus Severus Snape dari pikirannya. Ia tak sanggup melepaskan pandangannya dari pria itu setiap kali mereka berada dalam satu ruangan yang sama. Ia terus membayangkan bagaimana rasanya menyisir rambut hitam Snape dengan jari-jarinya, menikmati kelembutan kulitnya yang pucat sewaktu membelai wajah pria itu, saling menautkan jemarinya dengan jemari Snape yang panjang-panjang, dan mencicipi bibir tipis pria itu lagi dan lagi. Kini ia makin muak kepada dirinya sendiri. Ia tak boleh terus-menerus memikirkan hal semacam ini!

Aku jatuh cinta kepada Snape? Itu hal terbodoh yang pernah terjadi padaku, dan aku tidak bodoh.

Tumpukan buku yang menggunung di hadapannya menjadi saksi keseriusannya. Salah satu dari sekian banyak buku ini pasti mencantumkan mantra atau ramuan untuk menghilangkan efek Amortentia, dan Hermione sangat yakin ia akan segera menemukannya cepat atau lambat.

Berhari-hari ia habiskan untuk melakukan riset di perpustakaan Hogwarts. Di sela-sela peralihan jam belajar-mengajar, sesaat sebelum makan malam, sesudah makan malam, dan seharian selama akhir pekan, Hermione gigih mencari. Tak peduli apa pandangan heran orang-orang kepadanya. Tak peduli jika ia dianggap kesetanan. Toh seumur hidupnya ia selalu dianggap kutu buku tulen. Hermione Granger memang dilahirkan untuk membabat habis semua buku di dunia, heh?

Yang ada di dalam pikiran Hermione hanyalah ia tak mungkin jatuh cinta kepada Snape, dan ia akan membuktikannya begitu menemukan penangkal Amortentia.

“Miss Granger.”

Ia mencelos. Suara yang menegurnya ini terdengar datar sekaligus lembut. Nyaris tanpa emosi. Membangkitkan bulu-bulu halus di tengkuknya secara otomatis. Oh, tidak…

Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya, dengan berat hati mengalihkan perhatiannya dari halaman buku yang sedang ditekuninya.

“Profesor Snape?”

Sepasang mata kelam dan tajam itu menatapnya lekat-lekat, seolah berusaha mengebor jauh ke dalam otaknya. Salah satu alisnya terangkat, menampakkan perubahan raut wajah yang dingin sekaligus elegan. Seulas bibir tipisnya tetap berupa garis datar. Tanpa senyum.

Seketika itu Hermione merasakan rongga dadanya bergolak. Jantungnya berdebar tak terkontrol dan kedua tangannya diselimuti keringat dingin. Mendadak ia gugup, panik, dan… senang. Tidak. Orang waras mana pun pasti tak mungkin merasa senang saat bertemu dengan pria seangker Snape. Ini hanya pengaruh Amortentia. Yeah. Tentu saja.

“Kulihat ada yang mengganggu pikiranmu.”

Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan. Hermione menelan ludahnya dengan agak kesulitan. Sejak kapan Snape peduli kepadanya? Severus Snape tidak pernah peduli kepada orang lain kecuali kepada dirinya sendiri. Dia antisosial, ingat? Dia hidup untuk dirinya sendiri.

Apa ini halusinasi akibat efek Amortentia?

“Aku baik-baik saja, sir.” Kalimat ini meluncur tidak semulus biasanya dari bibir Hermione.

Nafas Hermione nyaris berhenti ketika Snape menatapnya dengan sorot ingin tahu selama beberapa saat. Tanpa sadar ia meremas perkamen yang digenggamnya. Jantungnya semakin berontak, seakan ingin melompat keluar. Sensasi aneh segera menderanya, dan semua ini berasal dari tubuh pria tinggi langsing yang ada di hadapannya. Pancaran kharisma Severus Snape.

“Baiklah,” kata Snape pada akhirnya. “Maaf sudah mengganggumu, Miss Granger.”

“Profesor Snape. Aku sudah bukan lagi muridmu. Jadi kenapa kau tidak berhenti memanggilku dengan nama belakangku?” bisik Hermione, sedikit mendesah. Sedetik kemudian ia mengernyitkan dahi. Nada suaranya terdengar seperti orang kasmaran. Astaga!

Sebelum Hermione membenturkan kepalanya ke meja, menyesali kekonyolannya, dan memplester mulutnya dengan lakban, Snape menjawab. “Kebiasaan. Formalitas. Respek.”

Respek? Severus Snape respek kepadaku?

Sorot mata Snape tajam menyelidik saat mendapati perubahan ekspresi Hermione. “Sebelum menjadi kolegaku, kau adalah muridku selama bertahun-tahun, Miss Granger. Masih sulit bagiku untuk membiasakan diri memanggilmu dengan nama selain itu. Lagipula, kau sendiri masih memanggilku ‘sir’. Kau bisa memanggilku Severus, jika kau mau.”

“Severus?” Hermione tertegun. Tak menyangka nama itu terlontar dengan sangat mudahnya. Lidahnya bisa diajak berkompromi. Di sisi lain, otak dan jantungnya kacau. “Severus, kalau begitu,” ucap Hermione, memaksakan seulas senyum. Seketika itu dadanya terasa hangat dan lapang.

Severus mengangguk, masih belum ingin melepaskan pandangannya dari Hermione, dan Hermione tak tahu apa yang membuatnya tergerak untuk meminta pria itu duduk di sebelahnya.

Tunggu. Bukan pertama kalinya Severus duduk bersebelahan denganku, kan? Dia sudah berulang kali duduk di sampingku saat rapat staff dan acara makan bersama di Aula Besar. Kami bahkan sering terlibat diskusi serius tentang teori-teori ramuan. Beberapa kali merebus ramuan bersama-sama, malah. Dan, sudah tak terhitung lagi berapa kali dia memukauku dengan pemikiran jeniusnya.

Hermione mungkin tidak menyadari. Tapi Severus sadar. Kali ini tatapan mata wanita itu tampak berbeda dari biasanya. Ia menatapnya dengan mata berbinar dan ekspresi antusias. Seolah wanita itu sangat bersyukur bisa bertemu dengannya.

“Riset tentang ramuan?”

“Bisa dibilang begitu.” Hermione tersenyum, berusaha menutupi rasa gugupnya. Ia buru-buru melipat sudut halaman yang sedang dibacanya dan menutup buku itu sebelum Severus sempat membacanya. Di halaman itu tertulis instruksi meracik ramuan penangkal Amortentia. Bahaya kalau Severus sampai tahu. “Err, boleh aku minta tolong, Severus?”

Severus tidak menjawab, hanya menaikkan sebelah alisnya.

“A—aku perlu meracik suatu ramuan untuk alasan tertentu, dan karena itulah aku ingin meminjam laboraturiummu…” Usai mengatakannya, Hermione menunduk dalam-dalam. Ia tak mau menjabarkan ramuan apa yang diperlukannya dan juga apakah yang ia maksud dengan ‘alasan tertentu’ itu. Severus tak boleh tahu.

“Ramuan apa? Mungkin masih ada di lemari persediaanku…”

“Tidak,” potong Hermione cepat. “Kau tak punya. Kau tak mungkin punya.”

Severus memincingkan kedua matanya, curiga. Kali ini Hermione memaksakan diri untuk terus menatap mata Severus. Di sisi lain, ia berusaha menjernihkan pikirannya. Tapi itu sulit sekali. Dengan posisi mereka yang begitu dekat, Hermione bisa betul-betul merasakan kehadiran Severus. Kehangatan tubuh pria itu, aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya, dan… bibirnya yang setengah terbuka.

Aku ingin sekali menciumnya…

Detik berikutnya, Hermione terpana. Kedua pipinya memanas. Ia ngeri sendiri mengetahui betapa ia kesulitan mengontrol pikirannya. Merlin! Dia sedang berhadapan dengan seorang ahli Legilimency dan malah memikirkan hal yang tidak-tidak!

“Aku mengerti,” kata Severus setelah mereka saling menatap dalam diam selama beberapa menit.

Hermione mengernyitkan dahi.

Apanya yang kau mengerti? Apa kau mengerti bagaimana aku bisa tiba-tiba jatuh cinta kepadamu? Apa kau mengerti kalau saat ini aku kesulitan mengendalikan diri untuk tidak menyentuhmu, melompat ke pangkuanmu, dan menciummu dengan penuh gairah?

“Kurasa tidak. Kau tidak mengerti.”

“Maaf?”

“Kau tidak mengerti, si—Severus,” ulang Hermione lirih. “Karena aku sendiri tidak mengerti.”

Aku tidak mengerti kenapa aku bisa merasakan hal semacam ini kepadamu. Yeah. Kepadamu! Aku belum pernah merasa begitu kuat sekaligus rapuh di saat yang bersamaan gara-gara seorang pria. Aku belum pernah merasa sangat senang dan bersemangat sewaktu berdekatan dengan pria mana pun seperti saat ini, saat aku bersamamu. Aku belum pernah merasa begitu… kasmaran.

“A—aku sedang kebingungan.”

“Bisa kulihat.”

“Karena itulah aku perlu membuat ramuan ini untuk memastikan,” tekan Hermione lamat-lamat, memberanikan diri sekali lagi untuk menatap langsung mata Severus. “Aku ingin memastikan sesuatu.”

Aku ingin memastikan kalau perasaanku padamu ini tidak nyata. Karena aku tidak mungkin—tidak akan pernah mungkin—bisa jatuh cinta kepadamu. Amortentia. Yeah. Seseorang membubuhi minumanku dengan ramuan berengsek itu, dan aku akan segera membuat penangkalnya.

“Dan kukira ‘sesuatu’ itu tidak boleh diberitahukan kepadaku?”

“Tidak. Jangan tersinggung, Severus. Aku hanya… Ini masalah pribadiku.” Hermione menggigit bibir bagian bawahnya, grogi. Ia tak mahir berbohong dan ia tak ingin Severus membombardirnya dengan ratusan pertanyaan. “Tapi jika kau tidak mengizinkanku memakai laboratoriummu, aku bisa memakai kamar mandi Myrtle Merana…”

“Tidak. Kau boleh memakainya, Miss Granger. Lagipula, selama ini pintu laboraturium pribadiku selalu terbuka untukmu,” ujar Severus datar, ekspresinya mulus tanpa emosi.

Kalimat terakhir Severus langsung meresap ke dalam otaknya, membangkitkan ingatannya. Tentu saja. Selama ini Severus tak pernah melarangnya memasuki laboraturium pribadinya, salah satu tempat yang hanya boleh dimasuki Severus seorang di Hogwarts, selain bilik pribadinya.

Bukankah seharusnya ini merupakan sebuah sinyal kalau Severus memperlakukanku secara khusus?

Namun Hermione tidak ingin merenungkannya lama-lama. Yang diinginkannya saat ini hanyalah sesegera mungkin meracik ramuan penangkal Amortentia.

“Terima kasih, Severus. Kau tidak tahu betapa aku sangat menghargai bantuanmu.”

Hermione tersenyum manis dan ia terpana saat menyadari sudut bibir tipis Severus sedikit melengkung. Pria itu balas tersenyum kepadanya. Hampir tersenyum, lebih tepatnya. Sesuatu yang sangat langka terjadi.

Severus Snape tak pernah tersenyum kepada siapa pun, dan saat ini dia sedang tersenyum kepadaku! Bukan menyeringai licik atau mencibir. Ia tersenyum. Yeah. Tersenyum.

000000

Untuk kesekian kalinya dalam lima menit terakhir Hermione menghela nafas. Ia masih kebingungan. Makin kebingungan, malahan. Tadinya ia pikir penangkal Amortentia adalah solusi terbaik untuk masalahnya. Tapi setelah ia berhasil membuatnya, ia ragu untuk meminumnya. Bukan. Ia tak mau meminumnya.

Aku tak tahu apa yang merasukiku. Aku tak tahu apa yang terjadi kepadaku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak tahu apa yang harus kulakukan…

Hermione menatap botol kecil berisi ramuan penangkal Amortentia yang ada di hadapannya. Ia meraihnya, menggenggamnya dengan ragu-ragu, sebelum akhirnya meletakkannya kembali.

Sial! Apa yang terjadi kepadaku? Cepat minum dan tuntaskan semuanya! Berengsek!

Tangan Hermione gemetar saat meraih botol kecil itu sekali lagi. Ia membuka sumbatnya perlahan-lahan dan mendekatkan botol itu ke bibirnya.

Tidak.

Lagi-lagi ia meletakkan botol itu ke tempatnya semula dan merutuk dalam hati.

Dua minggu berlalu sejak ia mendapat ijin dari Severus untuk memakai laboraturiumnya, dan seminggu setelahnya ia berhasil membuat ramuan terkutuk ini. Sekarang ia malah tidak cepat-cepat meminumnya.

Anehnya, selama itu pula ia seolah bisa menoleransi pengaruh Amortentia di dalam dirinya. Ia mulai menikmati perasaan gugup bercampur senang yang selalu menderanya setiap kali berdekatan dengan Severus. Bahkan ia selalu tersenyum tanpa sadar jika tak sengaja bertatapan langsung dengan pria itu dan terlarut dalam diskusi panjang mereka. Sensasi ini tak mungkin bisa ia rasakan lagi tanpa ramuan Amortentia. Ia tak ingin kehilangan sensasi ini, dan itu pemikiran tolol.

Kenapa tidak? Aku tak akan pernah bisa lepas dari pengaruh Amortentia jika tak mau meminum ramuan ini. Tapi… Tapi aku tak bisa melakukannya…Aku tak rela…

Hermione berjalan mondar-mandir di tempatnya. Untunglah, ruang guru masih sepi pagi ini dan hanya ada dia seorang diri di sana. Setidaknya ini memberinya sedikit waktu untuk berpikir dan merenung sebelum jam belajar-mengajar dimulai. Ia tak mungkin bisa berkonsentrasi mengajar kalau pikirannya kacau-balau.

“Aku harus meminumnya,” gumam Hermione.

Tanpa banyak pikir lagi—karena ia takut usahanya gagal lagi—Hermione meraih botol kecil yang selalu disimpannya di dalam saku jubahnya selama seminggu ini, dan ia meneguknya sampai habis.

Tak ada yang terjadi.

Semenit. Dua menit. Tiga menit. Tak ada yang terjadi. Aneh.

Hermione mengernyitkan dahinya. Ia sudah mengikuti semua instruksi di buku dan membuat ramuan yang sama persis dengan yang dideskripsikan di sana. Karena itu tak mungkin ia keliru. Di samping itu, nilai Ramuannya selalu yang tertinggi di antara teman-teman seangkatannya dulu.

Tapi tunggu… Kenapa ini? Kenapa pandanganku berkunang-kunang? Kenapa perutku serasa terbakar? Kenapa tenggorokanku seperti dicekik? A—aku tak bisa bernafas. Kakiku lemas. Semua terlihat semakin gelap.

Sedetik kemudian Hermione jatuh terkapar di lantai. Tak sadarkan diri.

000000

“Profesor Granger?”

“Madam Pomfrey?”

Hermione merasakan kepalanya berat dan tubuhnya begitu lemas, susah untuk digerakkan. Ranjang rumah sakit sekolah memang tak pernah terasa empuk, tapi jelas bukan itu penyebabnya.

“Apa yang terjadi kepadaku? Aku merasa seperti baru saja diduduki bayi Troll…”

Madam Pomfrey mengerutkan dahinya. Wajahnya tidak terlihat senang. “Kau keracunan, profesor. Bahkan kau sudah koma selama tiga hari.”

“Benarkah?” Hermione berjengit. Ia berusaha mengingat-ingat. Oh, benar. Ia ingat sekarang. Ia merasakan sakit yang luar biasa beberapa saat setelah meminum ramuan penangkal Amortentia. Jadi ia keracunan gara-gara ramuan sialan itu? Aneh.

“Kenapa kau melakukannya, profesor?” tanya madam Pomfrey dengan nada lemah-lembut, ekspresinya khawatir. “Kenapa kau mencoba bunuh diri?”

“Bunuh diri?” Kedua alis Hermione terangkat. Ia membelalak.

“Kau minum racun untuk mengakhiri hidupmu. Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu begitu putus asa dan kebingungan. Kami mencemaskanmu. Aku tahu—kami semua tahu—kalau akhir-akhir ini kau tampak punya masalah besar dan jadi lebih pendiam daripada biasanya, tapi aku tak menyangka—kami semua tak menyangka—kau akan nekat melakukan ini. Kau masih muda.”

Bibir Hermione setengah terbuka. Ia tak tahu harus bagaimana menjelaskannya.

Pertama, dia tidak bunuh diri. Kedua, dia keracunan setelah meminum ramuan penangkal Amortentia. Ketiga, dia meminum ramuan terkutuk itu setelah mendadak jatuh cinta kepada Severus Snape. Semua ini mustahil diungkapkan ke ruang publik, dan kini orang-orang beranggapan ia ingin bunuh diri! Edan!

“Tapi sudahlah. Yang terpenting kau selamat. Severus melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ia yang pertama kali menemukanmu terkapar di ruang guru dengan mulut berbuih. Aku belum pernah melihat dia secemas itu selama ini. Untung saja dia selalu menyimpan bezoar di saku jubahnya,” jelas madam Pomfrey, kali ini terkesan mengomel. “Kukira kau perlu banyak istirahat. Kau tampak kebingungan, dear.”

Hermione mengerjapkan kedua matanya. Well, yeah. Dia memang kebingungan. Kenapa penangkal Amortentia malah meracuninya, alih-alih mengembalikan kondisinya ke normal? Saat ini, yang paling ingin ia lakukan adalah berlari ke perpustakaan dan mencari tahu. Namun tentu saja madam Pomfrey tidak akan mengizinkannya.

Err… tunggu dulu. Tadi madam Pomfrey menyebut-nyebut nama Severus. Oh, Morgana! Severus yang menemukan aku sedang keracunan! Tidak! Dia akan menganggapku idiot kalau sampai tahu apa penyebabnya!

Terdengar suara orang berdehem di belakang madam Pomfrey. Hermione terkesiap saat matron rumah sakit itu berbalik dan menyapa Severus.

Ini dia! Sumber penderitaanku datang! Tepat pada waktunya!

“Aku ingin bicara kepada Miss Granger, Poppy.” Ucapan Severus ini lebih terkesan sebagai sebuah perintah.

“Tidak, Severus. Aku takut kau tak bisa melakukannya. Dia butuh banyak istirahat setelah apa yang baru saja ia alami.”

“A—aku ingin bicara dengan Severus, tolong,” pinta Hermione sopan, berusaha tampak memelas. “Lima menit saja. Tolong.”

Madam Pomfrey menatapnya lekat-lekat, memastikan Hermione tidak sedang mengigau, sebelum mengiyakan dengan berat hati. “Lima menit. Tak boleh lebih.”

“Terima kasih.” Hermione tersenyum lemah.

Severus menunggu sampai madam Pomfrey masuk ke dalam kantornya dulu, lalu ia duduk di kursi yang berada tepat di samping ranjang Hermione. Pria itu menatapnya tajam dan membuat perasaan Hermione jadi tidak karuan.

“Ramuan penangkal Amortentia, benar?” todongnya.

Jantung Hermione seakan melorot ke perut. Ia kaget bukan main. Bagaimana Severus bisa tahu?

Seolah bisa membaca pikirannya, Severus berujar, “Bahan-bahan yang kau ambil dari dalam lemariku adalah bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat penangkal Amortentia. Sehari sebelum kau meminjam laboratoriumku, aku menghitung stok bahan-bahanku. Jadi aku tahu apa saja yang berkurang saat melakukan perhitungan ulang. Lagipula, seorang master ramuan tidak bisa jadi master kalau dia tak mengenali ramuan lewat baunya.”

Severus menunjukkan botol kosong yang dikenali Hermione sebagai botol ramuan pembawa petaka itu.

“Well?”

“Well apa?” Hermione pura-pura sibuk memilin ujung selimutnya. Ia gugup sekali. Severus bisa membongkar rahasia dengan begitu mudahnya. Sial!

“Well, kenapa kau tidak sepandai biasanya, Miss Granger?”

Hermione melotot kesal. Ia memaksakan diri untuk duduk, tapi seketika itu pula kepalanya terasa sangat sakit seolah ada Hippogriff yang menyeruduknya telak.

“Gadis konyol!” Severus cepat-cepat mendekapnya dan membaringkannya kembali dengan hati-hati. “Kau masih lemah! Jangan bergerak secara tiba-tiba begitu!”

“Ka—kau memanggilku gadis konyol! Ka—kau kelelawar bongsor!”

Severus tampak shock. Belum ada yang pernah mengatainya seperti itu. Tak ada seorang pun yang berani mengatainya ‘kelelawar bongsor’ tepat di depan mukanya begini. Dia guru paling ditakuti di seantero Hogwarts!

“Kau tidak dalam posisi untuk memperolokku, Miss Granger. Terutama karena kaulah orang yang melakukan kebodohan dalam kasus ini. Meminum ramuan penangkal Amortentia di saat kau tidak memerlukannya? Itu hal terbodoh yang pernah terjadi di Hogwarts sepanjang sejarah.”

“A—aku memerlukannya,” bantah Hermione ngotot.

“Tidak. Kau tidak memerlukannya,” balas Severus tak kalah keras kepala. “Kupikir kau sudah tahu seperti apa Amortentia itu. Ramuan cinta yang memanipulasi perasaan peminumnya, membuatnya merasakan cinta palsu, menciptakan halusinasi dan menstimulasi sensasi yang sebenarnya tidak pernah ada.” Kali ini bibir tipis itu mencibir. “Jadi seharusnya kau bisa membedakan mana perasaan cinta palsu dengan cinta yang sejati.”

Hermione menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya sampai rongga dadanya sedikit lapang, dan menjawab lirih. “Aku tertarik—jatuh cinta kepada orang yang tidak seharusnya… Kupikir aku tidak mungkin bisa jatuh cinta kepadanya… “

Hermione membasahi bibirnya, gelisah. Severus memusatkan semua perhatiannya kepadanya. Pria itu menanti penjelasannya dengan sabar.

“Aku memikirkannya sepanjang waktu. Bayangannya selalu muncul setiap kali aku memejamkan mataku. Aku kacau dan susah mengendalikan diri saat ngobrol dengannya. Aku tak bisa berpikir jernih setiap tahu ia berada di dekatku. Aku selalu ingin berada di dekatnya, menyentuhnya, menciumnya, dan… “ Hermione menahan nafas. Jantungnya berdebar kencang. Semoga Severus tak tahu kalau pembicaraan ini adalah tentang dirinya. “Dan melakukan hal-hal intim bersamanya.”

“Oh.”

“Oh? Hanya itu yang bisa kau katakan? Oh? Kau sangat membantu, Severus Snape!” ucap Hermione jengkel. “Jelas sekali kalau aku sedang dalam pengaruh Amortentia. Jika tidak, tentu aku tak akan mengalami hal bodoh semacam itu.”

“Jika kau dalam pengaruh Amortentia, kebodohan yang kau lakukan akan jauh lebih parah,” balas Severus dingin. “Kau akan tergila-gila sampai hilang kendali dan lupa diri. Kau akan langsung terjun dari menara Astronomi jika orang yang kau ‘cintai’ memintamu melakukannya. Kau akan membelah dadamu secara harfiah jika dia ingin kau membuktikan ‘cintamu’. Kau akan bersedia melakukan segala-galanya demi memuaskan dan menyenangkan hatinya. Kau akan rela diperbudaknya.”

“Oh?”

“Oh? Hanya itu yang bisa kau katakan, Miss Granger? Cerdas!” cemooh Severus, menirukan perkataan Hermione tadi.

“Itu mengerikan. Aku nyaris tak bisa berkata-kata.” Hermione teringat peristiwa yang menimpa Ron dulu. Harry bilang Ron melakukan hal-hal nyeleneh dan mendadak tergila-gila kepada Romilda Vane yang sama sekali tidak dikenalnya. “Ku—kurasa aku bisa membedakan cinta sungguhan dengan cinta palsu sekarang.”

Hermione merutuk dalam hati, merasa bodoh sekali. Dia belum pernah jatuh cinta sebelumnya, karena itulah ia tak tahu seperti apa rasanya jatuh cinta. Sekarang dia sudah tahu dan cukup lega. Tapi, mengetahui bahwa cintanya kepada Severus bukan cinta hasil manipulasi Amortentia, masalahnya belum selesai.

Demi kutang Morgana! Aku jatuh cinta kepada Severus Snape! Jatuh cinta sungguhan!

“Kalau aku boleh jujur, Miss Granger, aku tidak ingin tahu. Tetapi kau menggugah rasa ingin tahuku. Siapa yang kau anggap sangat tidak mungkin untuk kau cintai, sampai-sampai kau mengira kau dipengaruhi Amortentia?”

Hermione mendesah. Ia tahu pertanyaan ini cepat atau lambat pasti akan ditanyakan Severus. Tapi ia tak mau menjawabnya. Mentalnya belum siap. Tidak akan pernah siap, mungkin.

“Siapa dia, Miss Granger?”

“Kau tak perlu tahu, Severus.”

“Dumbledore?”

“Bukan!”

“Filch?”

“Kau gila!”

“McGonagall?”

“Kau pikir aku apa?”

Bantal Hermione melayang menimpuk muka Severus. Tapi alih-alih murka, pria itu justru menyeringai. Tampaknya ia senang melihat Hermione kesal. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.

“Aku?”

Bibir Severus bersiap mencibir, namun kali ini Hermione tidak mengamuk. Sebaliknya, wanita berambut keriting lebat itu gelagapan. Mukanya merah padam karena malu. Ekspresi Severus pun berubah. Dingin, tanpa emosi. Tak terbaca.

“Kau jatuh cinta kepadaku?” ulangnya. “Sudah kuduga.”

“Ka—kau sudah tahu?”

“Aku mantan mata-mata, Miss Granger. Perubahan sikapmu tampak jelas sekali di mataku. Dan aku tidak terbuat dari batu.” Severus mengatakannya dengan begitu tenang, seakan hal ini tidak terlalu penting baginya. Diam-diam Hermione merasa terluka. Sangat terluka.

Dia sudah tahu aku jatuh cinta kepadanya dan reaksinya begitu datar. Benar dugaanku. Dia sudah menutup hatinya rapat-rapat. Dia masih mencintai Lily, dan dia tidak mungkin membalas perasaanku. Bodohnya aku…

“Well, kurasa aku sudah mengerti kenapa kau melakukan semua ini, Miss Granger,” ujar Severus, tak ada pancaran sinar di matanya. Tatapannya kosong. “Wanita mana pun pasti akan melakukan hal yang sama sepertimu. Memilih mati daripada harus mencintaiku.”

“Tidak!” Hermione serta-merta bangkit dari ranjang, nyaris ambruk kalau Severus tidak refleks menangkap tubuhnya. “Jangan katakan hal sekejam itu kepada dirimu sendiri, Severus! Itu tidak benar!”

Severus mencengkram kedua lengan Hermione, bermaksud mengembalikannya ke ranjang. Namun wanita itu malah memeluknya erat dan membenamkan wajahnya di dada bidangnya.

“Aku tidak pantas untukmu, Miss Granger. Aku tidak pernah pantas untuk siapa pun. Untuk Lily. Untukmu. Tidak. Kurasa kau sudah tahu seperti apa latar belakangku yang kelam, dan aku sendiri jelas-jelas bukan pria baik.”

“Aku tahu,” gumam Hermione. kedua tangannya menangkup wajah Severus dan meminta pria itu untuk menatapnya. “Bagaimana pun kita tak bisa mengubah masa lalumu. Tapi kau masih punya masa depan, Severus. Semua yang kulakukan ini… Well, hanya kecelakaan konyol.” Hermione memutar bola matanya. “Sayangnya, aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.”

“Kenapa?”

“Aku juga tidak tahu pasti.” Hermione tertawa lirih, mempererat dekapannya. “Karena kau tampan?”

Severus mendengus. “Pastinya bukan!”

“Karena kau pria paling pemberani yang pernah kukenal. Kau pria hebat dan terhormat. Kau punya kebaikan di dalam dirimu yang tak pernah ingin kau tunjukkan kepada orang lain, tapi selalu kau lakukan tanpa pamrih. Kau pria brilian, licik, judes, dingin, misterius, dan menantang. Entahlah… aku tak tahu apa lagi. Aku jatuh cinta kepadamu. Itu saja.”

Mereka hanya diam saling menatap selama beberapa saat. Hermione tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Severus. Bibir pria itu sekali lagi hanya sedikit berkedut, hampir tersenyum. Tapi ia sempat melihat sepasang mata kelam itu berbinar, meski hanya sekilas.

“Jadi, bagaimana, Severus? Apa kau juga…?”

Tanpa sadar, Hermione menggigit bibir bagian bawahnya. Tegang. Ia ingin menanyakan perasaan Severus kepadanya. Namun ia tak tahu bagaimana mengutarakannya. Sepertinya Severus pun demikian.

“Kau tahu ini ramuan apa, Miss Granger?” Severus menyodorkan sebuah botol kecil dan membuka sumbatnya. Hermione belum ingin melepaskan pelukannya. Ia hanya menatap botol itu dengan ekspresi penasaran. “Coba kau cium dan beritahu aku apa baunya.”

Hermione melakukan apa yang diminta Severus. “Ini Amortentia. Err, aku membaui rumput yang baru dipotong, perkamen baru, dan… “ Kedua pipi Hermione merona. Ia memandangi Severus dengan sorot penuh arti. “…bau cendana. Bau yang selalu kucium dari tubuhmu.”

“Benar.” Severus mengangguk. Tanpa banyak omong, ia langsung menegaknya.

“Apa yang kau lakukan, Severus?” jerit Hermione ngeri.

Apa ini artinya dia tidak mencintaiku? Walau cintaku bertepuk sebelah tangan, aku tetap tidak mau ia meminum Amortentia. Aku tidak mau dia mencintaiku karena pengaruh ramuan cinta!

“Severus! Kenapa kau melakukannya?” tuntut Hermione begitu Severus menghabiskan isi botol itu.

Alih-alih menjawab, Severus balik bertanya. “Katakan apa khasiat Amortentia, love.”

Love? Dia memanggilku ‘love’? Terdengar indah dan sangat menyenangkan kalau saja dia tidak dalam pengaruh Amortentia.

“Amortentia adalah ramuan cinta yang paling manjur di dunia. Dia mamanipulasi perasaan seseorang dan memunculkan rasa cinta yang tidak pernah ada…”

“Dan bagaimana jika perasaan cinta itu sudah ada?” potong Severus.

“Maka tidak ada yang bisa dimanipulasi dan… Oh?” Hermione tercengang. Bibirnya bergetar.

“Peminumnya tak akan terpengaruh. Karena bagaimana pun juga, cinta yang sejati jauh lebih kuat daripada sihir apa pun,” lanjut Severus, berbisik tepat di telinga Hermione dan membuat wanita itu bergidik geli. “Jadi kurasa aku sudah menjawab pertanyaanmu tadi secara tidak langsung.”

“Kau mencintaiku, Severus?” Hermione balas berbisik, tak percaya. “Bagaimana bisa? Sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya?”

Namun pertanyaan bertubi-tubi ini tidak bisa segera terjawab, karena Severus sudah membungkam Hermione dengan bibirnya. Ciumannya lembut dan hati-hati.

Hermione bereaksi cepat. Kedua tangannya bergerak menelusuri perut Severus yang rata, dadanya yang bidang, sebelum akhirnya menangkup kedua sisi wajah pria itu untuk memperdalam ciuman mereka. Merlin! Dia sangat menginginkan bibir tipis itu sejak dua minggu terakhir.

Salah satu tangan Severus membelai rambut keriting Hermione. Tangan satunya lagi melingkari pinggang wanita itu, mendekapnya semakin erat selagi bibirnya sibuk mengklaim bibir Hermione. Ia menyapukan ujung lidahnya di permukaan bibir bagian bawah wanita itu, membuat Hermione mengerang lirih dan membuka bibirnya perlahan, mengundang lidah itu untuk menjelajah masuk.

Tak ada penyesalan atau protes. Ciuman Severus memang agak canggung pada mulanya. Tapi semakin panas dan menggairahkan pada akhirnya. Hermione mempererat pelukannya, menekankan lidahnya sendiri ke dalam rongga mulut Severus, menari-nari di dalam sana, menggoda lidah Severus untuk berduel. Sementara itu, tanpa sadar Hermione mengangkat salah satu kakinya, mengaitkan kaki itu di pinggang Severus untuk menahan pria itu agar tidak memisahkan diri.

Severus mengangkat kaki Hermione yang satu lagi, dan membopong wanita itu, untuk kemudian membaringkannya di atas ranjang. Namun ia masih belum ingin berhenti beradu pagut. Bibir Hermione terlalu manis dan nikmat.

Hermione mendesah saat kedua tangan Severus menangkup kedua pipinya dan mengulum bibirnya. Ia bisa merasakan segar dan pedasnya mint yang tertinggal di lidah Severus ketika lidah mereka saling bertautan. Ia memejamkan matanya dan mengerang sekali lagi saat merasakan ciuman Severus merambah ke lehernya dan semakin turun menuju ke belahan dadanya.

“Hem hem…”

Suara dehem itu sontak membuyarkan segalanya. Wajah Hermione pucat pasi. Begitu juga wajah Severus saat ia memisahkan diri dari Hermione. Namun sudah terlambat untuk mengubah posisinya sekarang. Ia terlanjur tertangkap basah sedang menindih Hermione di atas ranjang rumah sakit.

“Kepala sekolah?” Hermione berusaha menutupi nada takut-takutnya.

Albus Dumbledore menatap mereka berdua dengan ekspresi takjub. Matanya mengerling dan bibirnya setengah terbuka. Tetapi ia tidak tampak marah. Hanya kaget, rupanya. Sangat kaget.

“Aku datang kemari untuk memastikan kondisimu, profesor Granger. Tapi setelah melihat sendiri sekarang, kupastikan kau sudah baik-baik saja.” Dumbledore tersenyum jahil, membetulkan letak kacamatanya yang melorot, sebelum berbalik pergi. “Lanjutkan.”


El Extremo

Clarinet itu kan alat musiknya si Squidward, diti... Bentuknya kaya flute gt. Tapi niupnya ngadep ke depan. Kaya suling bambu gt. Hahaha... *ngasal*

Clarinet itu kan alat musiknya si Squidward, diti... Bentuknya kaya flute gt. Tapi niupnya ngadep ke depan. Kaya suling bambu gt. Hahaha... *ngasal*

Answer here

Lucius Viagra Potion

Disclaimer : Harry Potter belongs to JK Rowling.

Warning : No lemon, tapi mengandung unsur-unsur seksual yang cukup eksplisit. Dialog dewasa, onani, dst. Read with your own risk!

A/N : Saya nulis fanfic ini di hari pertama bulan puasa (kebetulan saat itu saya sedang ‘berhalangan’). Sempat ragu untuk mempublish fanfic ini. Tapi saya serahkan semua ini kepada readers. Bagaimana pun juga, saya punya hak untuk menulis dan mempublish, dan reader juga punya hak untuk membaca-mereview, atau tidak membaca. Dan untuk tetap menghormati bulan puasa, saya sengaja mempublish fanfic ini selepas adzan maghrib, dan saya harap reader yang muslim juga punya kesadaran diri untuk membacanya seusai buka puasa. Thanks untuk Psychochriatrist, Oryn, Ambudaff, Sun-T, Mamehatsuki, Naidaaaaa, Gegen, dan Lopelope yang sudah mendorong saya n memberi saya rasa percaya diri.


000000


Lucius Viagra Potion


Disclaimer: I don't own this fanart!



Salah satu alis Severus terangkat. Pandangannya lurus, mengamati penyihir pria berambut pirang yang duduk di hadapannya. Lucius Malfoy. Kawan lamanya itu mendadak saja datang ke rumahnya di akhir pekan tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Wajah tampannya terlihat gelisah.

“Kau memintaku membuat apa?” ucap Severus datar.

Lucius menatapnya jengkel. Dia tidak suka mengulangi ucapannya. Terutama untuk hal yang satu ini. “Well, Severus… Aku memintamu untuk membuat ramuan untukku. Ramuan untuk mengembalikan vitalitas pria. Aku yakin kau sudah tahu apa maksudku.” Ia menerangkan perlahan-lahan, berusaha tetap terlihat kalem. Namun sikap tenangnya ini tidak bertahan lama. “Oh, mate! Berhentilah tersenyum seperti itu! Rumah tanggaku sedang dipertaruhkan di sini!”

Severus belum ingin berhenti tersenyum. Tidak bisa dipungkiri kalau sebenarnya ia menikmati kekalutan yang ditunjukkan Lucius kepadanya. Lucius Malfoy yang biasanya tampil arogan, penuh percaya diri dan begitu superior di hadapan semua orang kini sedang memelas memohon bantuanku. Sayang aku tak bisa mengabadikan momen langka ini.

“Jadi ternyata kau impoten?” todong Severus santai, mengubah posisi duduknya. Ia duduk menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya di depan dada. Sekarang gilirannya bertingkah arogan.

Wajah Lucius memucat. Kedua mata kelabunya terbelalak. Untuk sesaat, tampaknya ia tak bisa berkata-kata. Pertanyaan Severus ini menamparnya telak di muka. Menjatuhkan harga dirinya berkeping-keping.

“Aku tak tahu Lucius. Maksudku, aku belum pernah membuat ramuan seperti ini. Aku tak perlu.” Bibir Severus menyunggingkan senyum puas. Yeah. Dia tak perlu membuat ramuan apapun setiap kali bercinta dengan istrinya. Dia masih cukup perkasa di usianya yang menginjak empat puluh tahun. “Well, mungkin kau bisa mencari ahli ramuan lain di London. Aku yakin mereka bersedia membantumu. Kau kan Lucius Malfoy yang tersohor.”

“Kau tahu betul aku tak bisa melakukannya, Severus!” Nada bicara Lucius meninggi. Ia mulai marah. “Bagaimana kalau Daily Prophet sampai memuatnya dengan headline secara besar-besaran? Lucius Malfoy ternyata menderita disfungsi ereksi! Dan kuberitahu kau, Rita Skeeter bukan satu-satunya wartawan berengsek yang gemar memburu berita miring! Aku sudah malu sekali di hadapan istriku sendiri dan aku tak sudi dipermalukan lagi di hadapan seluruh masyarakat sihir Inggris!”

Severus menghadapi kemarahan Lucius dengan tenang. Air mukanya masih belum berubah. “Jadi maksudmu meminta bantuan dariku adalah…?”

“Karena kau sahabatku. Dan aku percaya kau bukan tipe orang yang hobi menggumbar kejelekan orang lain.” Lucius menggigit bibir bagian bawahnya, gemas. Severus belum menunjukkan perubahan sikap, dan ini artinya ia harus sedikit menjilat. “Selain itu, kau adalah salah satu ahli ramuan terbaik di London. Kau juga salah satu ahli ramuan di Inggris yang mampu meramu Wolfsbane dengan sangat sempurna. Dan ini membuatku yakin sekali kalau kau sanggup membuat ramuan pesananku dengan mudah.”

Salah satu sudut bibir Severus berkedut. Ia tak mudah disanjung. Namun untuk kali ini ia menganggap pujian Lucius memang benar adanya. Tak lama kemudian ia menyunggingkan senyum kemenangan yang membuat Lucius harus mati-matian menahan jengkel. Oh, ia ingin sekali mengutuk Severus!

Lucius benci terlihat tak berdaya di muka orang lain. Tetapi untuk masalah segenting ini, ia harus mampu bersabar. Ia sangat mencintai Narcissa, dan tak mau mengambil resiko jika istrinya itu sampai berpaling ke pria lain gara-gara ranjang mereka sudah kehilangan kehangatannya.

“Selain itu, kurasa ramuan itu akan sangat bermanfaat bagi kita berdua,” sambung Lucius, meremas-remas ujung tongkatnya yang berbentuk kepala ular. “Kau bisa menjualnya dengan harga mahal, atau bisa memakainya sendiri untuk suatu saat.”

Kening Severus berkerut-kerut, mempertimbangkan ucapan Lucius baik-baik. “Kurasa kau benar. Aku bisa menjualnya dengan harga mahal setelah mematenkannya. Ramuan semacam ini masih sangat langka di pasaran, dan setahuku belum ada yang benar-benar ampuh.” Severus mengingat pernyataan beberapa ahli ramuan yang pernah ditemuinya dulu di konvensi ahli ramuan tingkat internasional. “Tapi untuk memakainya sendiri, aku tak terlalu yakin. Sejauh ini istriku belum pernah komplain,” cibirnya.

Kedua alis Lucius terangkat. Alih-alih kesal, ia malah penasaran. “Kalau begitu, bagaimana hubunganmu dengan Miss Granger selama ini?”

“Snape!” tukas Severus kaku. “Sekarang dia adalah seorang Snape. Kau harus memanggilnya Madam Snape, Lucius. Kami sudah menikah hampir setahun dan kau masih saja terus melupakan hal ini. Kadang aku ragu apa benar kau ini sahabatku.”

Lucius tertawa renyah. Ia mengangkat kedua tangannya ke udara, meminta maaf secara non-verbal. “Ah, kau benar. Boleh kuulangi pertanyaanku, mate? Bagaimana hubunganmu dengan Madam Snape selama ini?”

“Apa yang terjadi di antara aku dan istriku di kamar tidur kami adalah urusanku pribadi, Lucius.” Severus menyeringai. “Lagipula, jika kuceritakan kepadamu, aku takut kau akan iri padaku,” sambungnya angkuh.

Lucius balas menyeringai. “Aku hanya ingin tahu. Maksudku, usia kita hanya terpaut sedikit. Siapa tahu saja kau akan segera menyusulku. Disfungsi ereksi itu sangat menyiksa, Severus. Istrimu masih sangat muda dan cantik. Dua puluh satu tahun, benar? Jelas dia masih punya banyak potensi.”

Ekspresi Severus berubah drastis. Mulus tak terbaca. Senyum cemooh di wajahnya menghilang. Kedua mata kelamnya menatap tajam langsung ke mata Lucius. Dia paling tidak suka jika ada orang yang mengungkit-ungkit masalah perbedaan umurnya dengan Hermione yang terlampau jauh. Well, kami hanya terpaut sembilan belas tahun dan sejauh ini Hermione tak pernah mempermasalahkannya. Dia mencintaiku apa adanya. Dia terlanjur memilihku!

Giliran Lucius yang tersenyum penuh kemenangan. Jauh di dalam hatinya, sebenarnya ia tidak begitu senang melihat keharmonisan rumah tangga kawan baiknya itu. Apalagi karena tampaknya Severus senang sekali memamerkannya. Apa dia tak tahu kalau aku sedang menderita? Cobalah bersimpati, mate! Walau itu sulit bagimu!

“Well… Kami berhubungan dua kali seminggu. Tiga, kalau beruntung.” Tampang Severus masam. “Kami sama-sama sibuk bekerja. Hermione sibuk di Gringgots. Sementara aku sibuk mengurusi bocah-bocah berkepala kosong di Hogwarts,” ujarnya dingin. Hey, untuk apa aku membongkar privasiku ke si pirang ini?!

“Kalau begitu kau bisa memakainya untuk dirimu sendiri, kan?” bujuk Lucius, menyeringai licik. “Kau tahu? Ini untuk meningkatkan intensitas hubungan kalian. Dari dua-tiga kali seminggu, menjadi setiap hari. Siapa tahu? Aku tak yakin Hermionemu akan menolak. Dia masih sangat muda. Staminanya masih sangat baik.”

Benar juga. Itulah keuntungannya mempunyai istri yang masih sangat muda. Aku harus bisa memanfaatkannya. Severus mengangkat salah satu alisnya, menyahut kalem, “Baiklah. Aku akan membuatnya.”

“Bagus! Aku akan datang lagi besok untuk mengambilnya.” Lucius bangkit dari kursinya, bersiap untuk pergi. Ia masih ada pertemuan dengan Menteri Sihir siang ini dan pesta bersama penyihir-penyihir dari golongan sosialita di Malfoy Manor nanti malam. Karena itulah ia tak bisa berlama-lama ngobrol dengan Severus.

“Harganya akan sangat mahal,” kata Severus datar, masih bertahan di kursinya. “Aku belum tahu apa saja bahan-bahannya dan seperti apa pengolahannya, padahal kau memintaku membuatnya secara kilat begini.”

Langkah Lucius berhenti di tengah jalan. “Kau mengenakan tarif untuk sahabatmu sendiri?” tanyanya kaget. Melihat ekspresi dingin Severus, ia pun berkata, “Baiklah. Uang bukan masalah bagiku. Aku bersedia membayar semahal apapun demi menyenangkan hati Narcissa.”

“Demi kesenanganmu juga, Lucius,” balas Severus, mencibir. Pria berpakaian serba hitam itu pun bangkit dari kursinya untuk mengantar Lucius sampai ke depan perapian. “Akan kuusahakan semaksimal mungkin. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga, mate.”

Lucius menyeringai kesal. Penderitaan kolor Merlin? Tadi kau terlihat senang melihatku menderita! Berengsek!

“Aku tahu kalau kau bisa diandalkan, Severus,” kata Lucius pada akhirnya.

Severus mengangguk pelan dan menggumamkan ucapan perpisahan.

Lucius melemparkan bubuk Floo ke perapian, mengucapkan tujuannya sejelas mungkin, dan masuk ke dalam kobaran api hijau. Ia kembali ke Malfoy Manor dengan perasaan tenang.


000000


Severus menenteng kantung berisi barang-barang belanjaannya di sepanjang lorong Diagon Alley. Setelah melakukan riset selama dua-tiga jam di perpustakaan Hogwarts dan berseluncur di dunia maya (Hermione memaksa Severus untuk memasang internet di Spinner’s End), ia menemukan beberapa macam tanaman herbal yang berkhasiat untuk mengatasi problem disfungsi seksual bagi para pria.

Fakta bahwa para Muggle ternyata sudah lama menemukan Viagra sebagai solusi masalah mereka membuat Severus terkejut. Untuk kali ini rasanya ia harus mengakui keunggulan teknologi Muggle, sebagaimana dulu ia terkagum-kagum dengan kehebatan internet. Menikahi penyihir kelahiran Muggle telah membuka matanya lebar-lebar, membuatnya semakin jatuh cinta kepada istrinya, Hermione.

Setelah meriset, ia membuat daftar bahan yang harus dibelinya. Namun ternyata bahan-bahan yang ia butuhkan untuk meramu ramuan pesanan Lucius berharga selangit dan juga sangat langka. Bahkan ia harus rela berburu bahan ramuan sampai ke Knocturn Alley demi mendapatkan serum Androstenedione yang dilarang dijual secara bebas di pasaran.

Beberapa menit yang lalu, Severus baru saja keluar dari toko bahan ramuan yang kesekian untuk mencari tiga jenis bahan ramuan impor dan langka. Tanaman Resina Draconi Daemonorops yang berasal dari Tibet, Flos Rosae Chinensis atau Bunga Mawar China, dan Cordycep Sinensis yang hanya bisa ditemukan di Dataran Barat Daya China.

“Lucius harus membayar sangat mahal untuk ini,” geramnya. Ramuan pesanan si pirang itu benar-benar menguras isi kantong!

Sebenarnya Severus bisa saja menggunakan bahan-bahan berharga murah yang mudah ditemukan di pasaran. Namun karena ia keras kepala, hanya ingin memakai bahan-bahan terbaik dan berkualitas tinggi, maka ia harus rela bersusah-payah. Bahan-bahan murahan hanya akan membuat kualitas ramuanku tidak jauh beda dari ramuan yang sudah-sudah. Ramuan buatanku harus menjadi ramuan berkualitas terbaik!

Sesampainya di rumah, tanpa buang waktu lagi, ia segera masuk ke dalam laboratorium pribadinya. Ia menghidupkan api, mengaturnya sampai panasnya stabil, dan merebus air mineral di dalam kuali perak. Yang pertama kali dimasukkannya adalah campuran intisari jahe merah dan lengkuas merah. Lalu ia menambahkan madu secukupnya. Dan mengecilkan api ke titik sedang.

Kemudian ia menumbuk lima lembar kelopak bunga Lavender, akar Cistanches, biji Cuscuta Chinensis, dan Rhizoma Gastrodiae yang sudah dikeringkan. Hasil tumbukan bahan-bahan tadi kemudian dicampurkan ke dalam kuali dan diaduk searah jarum jam sebanyak tujuh kali, sebelum akhirnya ditambahkan lagi dengan akar Resina Draconi Daemonorops, tiga kuntum Flos Rosae Chinensis, dan batang Cordycep Sinensis yang sudah dirajang halus.

Severus mencermati isi kualinya yang kini berubah warna menjadi coklat kemerahan. Tanaman obat terakhir yang ia masukkan adalah Gingko Biloba. Dan saat semuanya tercampur, ia membesarkan api dan menunggu ramuan setengah-jadinya mendidih sebelum menambahkan lima tetes serum Androstenedione sebagai sentuhan akhir.

“Sempurna,” ujarnya puas, mengusap peluh yang bercucuran di keningnya. Ia mengamati keindahan asap merah tipis yang menguar dari kuali, tak kalah indahnya dengan isi kualinya yang kini berwarna coklat emas mirip teh. “Sempurna!” Mata hitam kelamnya berbinar.


000000


Severus duduk di kursi malasnya di ruang tengah, menggenggam botol kecil berisi ramuan pesanan Lucius. Ekspresinya tampak datar-datar saja, sementara otaknya sibuk berpikir. Ramuan ini perlu diuji coba terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada Lucius. Dia akan marah sekali seandainya ramuan ini gagal total. Dia tak akan memaafkanku jika terjadi kesalahan. Bagaimana kalau ramuan ini malah membuat kejantanannya tak bisa berkutik sama sekali? Bisa-bisa aku dituntutnya.

Severus mencermati botol kecil berisi cairan berwarna coklat emas di genggamannya. :”Siapa yang akan menguji ramuan ini?” tanyanya kepada diri sendiri. “Tak mungkin aku meminta Lucius mengujinya. Tentu saja dia tak akan mau melakukan itu.”

Tak ada pilihan lain. Akulah yang harus menguji ramuan ini. Severus menghela nafas. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu Hermione pulang dulu sebelum meminum ramuannya. Ia harus tahu berapa waktu yang diperlukan oleh tubuhnya untuk bereaksi terhadap ramuan ini dan juga berapa lama khasiat ramuan ini. Dan seandainya ramuan ini sudah bereaksi, tentu saja ia perlu pelampiasan. Objek pelampiasan yang paling tepat untuknya adalah istrinya sendiri, tentu saja.

Sambil mengeluh pelan, Severus melirik jam dinding. Sudah pukul sembilan malam dan Hermione belum juga pulang. Semua ini salah si Potter! Kalau saja istrinya tidak hamil dan tidak minta diantarkan berbelanja di mall Muggle, pasti Hermione masih ada di sini menemaniku sepanjang hari. Ini akhir pekan, dan tragisnya aku tak bisa menghabiskan waktu dengan istriku sendiri!

Severus meremas-remas tangannya, gemas. Harry Potter dan istrinya, Ginevra. Sejak masih jadi murid Hogwarts, mereka berdua suka membuatku susah. Sekarang, saat mereka sudah jadi mantan murid, mereka masih saja menyusahkan! Bahkan anak mereka yang belum lahir pun juga ikut-ikutan menyusahkan! Mereka merebut perhatian istriku!

“Severus…”

Lamunan Severus buyar begitu mendengar suara merdu yang sangat dirindukannya seharian ini. Suara Hermione. Istrinya itu sudah pulang rupanya. Cepat-cepat ia membuka sumbat botol yang digenggamnya sedari tadi dan menegaknya tanpa pikir panjang. Beberapa detik kemudian ia merasakan panas di sekujur tubuhnya. Dimulai dari perut, kemudian menjalar kemana-mana. Bagian yang paling terpengaruh adalah alat vitalnya. Panas sekali. Seperti ada lava yang menggelegak di dalam sana.

Wow! Ramuan ini langsung bereaksi setelah aku meminumnya! Untuk sesaat, Severus tertegun. Ia merasakan semangatnya meluap-luap, mengalir ramai-ramai menuju ke rongga dadanya, dan membuat perasaannya melambung tinggi. Gairahnya berkobar, seolah bercampur aduk dengan setiap tetes darahnya dan mengalir deras melalui seluruh pembuluh darahnya. Perhatian Severus beralih ke selangkangannya, di mana barang kebanggaannya mengacung tegak, sudah siap tempur.

“Severus darling…”

“Aku datang, love!” Severus melangkahkan kakinya lebar-lebar, hampir berlari. Sepertinya ia akan segera menyergap tubuh istrinya begitu mereka bertemu sebentar lagi. Menyergap dan membopongnya ke ranjang untuk mengeksekusinya semalaman. “Hermione? Kau di mana?” Kau di mana, sweetheart? Aku sudah tidak sabar lagi!

Severus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Namun ia tak menemukan istrinya di sana. Sementara itu, hasratnya tengah mendaki menuju puncak. Ketegangan yang berpusat di antara kedua pahanya kini mulai terasa menyakitkan, menuntut pelepasan.

“Aku di sini, darling. Di dalam perapian. Secara teknis, aku berada di The Burrow.”

Serta-merta Severus membalikkan badannya. Terbelalak saat mendapati wajah istrinya tampil di kobaran api berwarna hijau jamrud. Oh, tidak! Jangan katakan kalau ini pertanda buruk!

“Hai. Aku menggunakan jaringan Floo untuk memberitahumu sesuatu. Sepulang dari Harrods*, Ginny mengajakku mampir ke The Burrow dan ternyata Molly sedang mengadakan pesta untuk menyambut kehamilan Ginny. Molly dan Arthur terlihat begitu bersemangat akan punya cucu lagi. Begitu juga dengan semua anggota keluarga Wealsey. Jadi kurasa akan sangat menyenangkan kalau mengajakmu bergabung.” Senyum manis di wajah cantik Hermione justru membuat ereksi Severus semakin parah. “Bergabunglah dengan kami, Severus. Temani aku. Tolong…”

“Kau tahu aku tak pernah suka berpesta,” geram Severus, membuat Hermione mengernyit kaget. Sebenarnya pria itu menggeram karena menahan rasa sakit di selangkangannya, bukan menggeram marah kepada istrinya. Tapi Hermione sudah terlanjur salah sangka. “Aku tak butuh pesta, Hermione.” Aku membutuhkanmu! Di sini! Di ranjang!

“Tapi aku tak bisa pulang sekarang. Itu tidak sopan,” balas Hermione lemah lembut, berusaha sabar. Dia sudah paham betul kalau suaminya tak pernah suka berpesta atau bersosialisasi dengan siapapun di keramaian. Tapi ia tetap merasa harus memberitahukan aktivitasnya kepada suaminya, dan mengajaknya bergabung, kalau bisa. “Lagipula hanya barbeque. Sekarang kan sedang libur akhir pekan. Kita bisa bersenang-senang dengan keluarga Weasley di sini.”

Aku lebih memilih bersenang-senang berduaan denganmu di atas ranjang! “Tidak, terima kasih,” sahut Severus datar. “Kumohon padamu, wife. Pulanglah segera. Detik ini juga.” Severus tak peduli kalau nadanya terdengar dingin dan arogan. Ia benar-benar menderita menahan birahi yang bergolak dan berpusat di organ vitalnya.

Wajah Hermione terlihat sangat kecewa. “Jadi kau tak bisa menemaniku di sini? Dan aku tak boleh bersenang-senang dengan teman-temanku? Err… sebenarnya aku bermaksud untuk menginap malam ini kalau kau mengizinkan…”

Apa? Dalam keadaan genting begini dia mau menginap? Tak akan kuizinkan! “Menginaplah lain kali, love,” desis Severus, menahan nafasnya, sekaligus menahan libidonya yang semakin tak karuan. Melihat sosok Hermione yang muncul di kobaran api saja sudah membuatnya belingsatan, terangsang berat. Ini semua gara-gara ramuan sialan itu. Jenggot Merlin! “Dan pulanglah sekarang. Aku ingin kau pulang sekarang. Ini darurat.”

Kening Hermione berkerut-kerut. Darurat apanya? Nada bicara Severus masih tetap dingin tanpa emosi seperti biasanya dan tak ada indikasi kepanikan di wajahnya. Namun tak lama kemudian ia terkejut saat menemukan ada yang ganjil pada diri suaminya. Wajah Severus yang tadinya pucat, sekarang berubah menjadi merah padam. Pria itu berulang kali memejamkan matanya rapat-rapat dan menggigit bibir bagian bawahnya, sambil mengernyit aneh. Dan saat Severus berjalan mendekati perapian, Hermione mendapati langkah pria itu tertatih-tatih.

“Oh, Severus! Kau terlihat sedang kesakitan!” Hermione membekap mulutnya sendiri. Panik bukan main. “Apa kau sakit?”

Severus menarik nafas dalam-dalam. Berharap khasiat ramuannya bisa segera mereda, atau berkurang, paling tidak. Dia tak suka melihat Hermione mencemaskannya begini. Ekspresi panik Hermione terlihat begitu sensual di matanya, dan itu berpengaruh buruk terhadap kondisinya sekarang. Ia hampir tak kuat menahan syahwat!

“Aku tidak sakit, honey. Aku hanya butuh kau di sini bersamaku,” ujarnya sekalem mungkin. Aku memang sedang kesakitan gara-gara ereksi parah ini! Dan kalau kau tak segera pulang, kurasa aku akan meledak!

“Oh, baiklah. Aku akan segera pulang. Tapi aku harus berpamitan dulu kepada keluarga Weasley. Mereka semua ada di sini. Bahkan Bill, Charlie, dan Percy membawa anak-istri mereka. Semoga mereka tidak kecewa karena aku harus buru-buru pulang. Mereka pasti bisa memaklumi kalau kau sedang sakit dan aku perlu mendampingimu…”

“Darling!” sentak Severus, tak sabaran. Aku tidak butuh penjelasan panjang lebarmu! Aku butuh tubuhmu! Segera! Ia menarik nafas panjang-panjang sebelum bergumam lirih, “Cepatlah berpamitan dan pulanglah.”

Hermione mengangguk, memaksakan senyum manis. “Aku akan segera pulang setelah berpamitan kepada mereka semua. Sementara itu, berbaringlah dulu, love. Aku mencintaimu.”

Severus mendengus saat mendengar kalimat terakhir Hermione. Bukan karena gusar atau apa, tapi deklarasi cinta ini malah semakin menambah penderitaannya. Suara Hermione yang merdu dan penuh cinta ini membuat perut bagian bawahnya seketika bergemuruh hebat, mengaduk-aduk hormonnya dengan kekuatan luar biasa, sebelum menyalurkannya ke kejantanannya. Entah mengapa, Severus merasa kalau semua aliran darahnya berbondong-bondong menuju ke satu titik. Titik yang kini mengacung kokoh hingga membuat bagian pangkal paha di celananya menonjol jelas.

Cukup sudah! Aku tak tahan lagi! Severus menegakkan tubuhnya. Hanya ada dua hal yang terlintas di pikirannya saat ini. Sabun dan kamar mandi.

“Severus? Aku menci…” Hermione terkesiap saat melihat Severus mendadak membalikkan badan dan pergi tergopoh-gopoh meninggalkannya begitu saja. Padahal biasanya Severus tak pernah lupa membalas ucapan cintanya. “Dia marah kepadaku…” gumam Hermione sedih. Belum pernah Severus mengabaikanku seperti ini. Pasti dia marah sekali kepadaku. Tapi aku tak tahu apa salahku sampai dia bisa begitu marah. Oh, Merlin...



000000


Hermione keluar dari dalam perapian dengan perasaan gundah. Sambil mengibaskan abu yang menempel di jubahnya, ia memandangi sekeliling ruang tengah. Severus tak ada di sana. Di mana dia? Apa dia masih marah padaku?

Setelah melihat reaksi tak terduga suaminya tadi, Hermione segera berpamitan kepada keluarga Weasley dan meminta maaf karena tidak bisa berpesta bersama mereka. Tentu saja keluarga Weasley mau memaklumi alasannya. Bahkan Molly ikut mencemaskan kesehatan Severus. Wanita yang sudah dianggap seperti ibu sendiri oleh Hermione itu juga menitipkan pai apel buatannya untuk Severus, sebelum mengantarkan Hermione masuk ke dalam perapian dan pulang ke Spinner’s End dengan menggunakan jaringan Floo.

“Severus?” panggil Hermione cemas. Kenapa keadaan rumah sepi sekali? Berbagai prasangka buruk memenuhi kepalanya. Tidak. Dia belum siap pulang ke rumah dan menemukan Severus kolaps di lantai. Dia belum siap jadi janda. Severus memang bukan pria yang menyenangkan. Dia pria yang arogan, bebal, berlidah tajam, dan temperamental. Tapi aku sangat mencintainya.


Hermione meletakkan kardus berisi pai apel buatan Molly di atas meja makan sebelum memutuskan naik ke kamar tidur di lantai dua. Mungkin Severus sudah tidur? Atau mungkin dia sedang terbaring lemah di sana? Hermione menggigit kukunya, berusaha mengenyahkan imajinasi buruknya. Kuharap Severus baik-baik saja.

“Severus?” Hermione menahan nafasnya sambil membuka pintu kamar perlahan-lahan. Ia bersyukur tidak mendapati Severus tergolek di lantai ataupun di atas ranjang seperti yang ada di dalam imajinasinya tadi. Tapi Severus juga tidak ada di kamar tidur. Jadi di mana dia?

Mata Hermione menangkap ada yang aneh di dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi setengah terbuka dan lampunya menyala. Namun tak terdengar apapun dari dalam sana. Sekali lagi Hermione berusaha menghapus semua pemikiran buruk yang terlintas di kepalanya. Ia masuk ke kamar mandi dengan perasaan was-was.

“Kau ada di sini rupanya, darling.” Hermione menghela nafas lega, mendapati Severus sedang duduk lemas di atas kloset dengan pakaian lengkap. Tapi… tunggu dulu. Ia mendapati kedua tangan suaminya diselimuti busa sabun, resleting celananya terbuka lebar, dan… Ah, Hermione mulai paham apa yang baru saja terjadi. “Apa ini persis seperti yang kupikirkan? Jadi ini kenapa kau ingin aku cepat-cepat pulang? Jadi kau buru-buru pergi bukan karena kau marah kepadaku?”

“Ya, ya, dan ya!” Severus menatapnya dengan ekspresi campuran jengkel dan malu. Tapi hanya butuh beberapa detik saja untuknya mengubah ekspresinya jadi tak terbaca seperti biasa. Inilah yang terjadi karena kau tidak segera pulang begitu kusuruh, dear wife!

Hermione membekap mulutnya, memasang ekspresi menyesal di wajah cantiknya. “Oh, demi nama Merlin, Severus. Aku benar-benar tidak tahu. Aku bukan ahli pembaca pikiran. Tentu saja aku tidak akan tahu kalau kau tak mau berterus-terang. Seharusnya kau berterus-terang tadi.”

Aku tidak butuh diberitahu apa yang harus atau jangan kulakukan! Aku punya pikiranku sendiri! Severus menatap istrinya tajam-tajam seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. “Kalau aku berterus-terang, kira-kira apa yang akan kau katakan kepada keluarga Weasley saat kau berpamitan?” tanya Severus dingin. Kau akan mengatakan kalau suamimu sedang menunggu di rumah dalam kondisi ‘siap tempur’, huh? Lalu harkat dan martabatku akan hancur lebur di mata keluarga Wealsey. Mereka akan mengira aku cabul!

“Aku akan mengatakan kalau suamiku membutuhkanku untuk melakukan riset.” Hermione tersenyum manis, meluruhkan rasa kesal di hati suaminya. “Alasan yang bagus, kan? Teman-temanku akan paham. Mereka semua tahu kita berdua sering melakukan riset bersama-sama. Pasti mereka tidak akan berpikiran aneh-aneh seandainya riset yang kumaksudkan kali ini adalah riset dalam tanda kutip.”

“Cerdas,” cibir Severus sambil menarik resleting celananya rapat dan membilas kedua tangannya yang belepotan. Kedua tungkai kakinya masih lemas, belum kuat berdiri. Ia pun memutuskan untuk duduk lagi di atas kloset, menatap jengkel istrinya. “Tapi kau terlambat. Aku sudah terlanjur menangani masalahku sendiri,” ujarnya ketus. Ia melengos saat mendapati senyum menyesal dan sorot prihatin di mata coklat Hermione. Severus tak sudi dikasihani. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.

“Yeah. Aku bisa melihatnya. Kau bisa menangani masalahmu sendiri,” balas Hermione lirih, teringat apa yang dilihatnya saat menemukan Severus tadi.

Sejak mereka menikah, Severus sudah tidak pernah lagi melakukan onani. Dan kini ia terpaksa melakukannya lagi gara-gara istrinya tidak ada di dekatnya sewaktu ia membutuhkannya. Tentu saja Hermione jadi merasa sangat bersalah.

“Maafkan aku atas komunikasi kita yang buruk tadi.” Hermione mengulurkan kedua tangannya, membelai pipi suaminya dengan penuh rasa sayang, dan mengangkat wajah pria itu agar mau menatapnya.

Well, Hermione memang tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. Severus sendiri juga salah karena tidak mau berterus-terang. Tapi, Severus bukanlah Severus kalau dia mau berterus-terang. “Lain kali aku akan langsung pulang begitu kau menyuruhku pulang. Berhentilah kesal kepadaku, darlin. Kumohon…” rayu Hermione seraya duduk di atas pangkuan suaminya dan bergelayut manja.

Bagus! Jadilah istri yang baik dan menurutlah kepada suamimu! “Aku pegang janjimu, sweetheart,” balas Severus dingin. Raut mukanya masih masam saat menggumam, “Baiklah. Kau kumaafkan.”

Kedua tangan Severus melingkari pinggang ramping Hermione dan merengkuh wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menyambut kecupan manis Hermione, mengulum dan mengigit lembut bibir bagian bawah istrinya itu. Rasa kesalnya sudah hilang tak tersisa saat lidah Hermione melata-lata, mencicipi bibir tipisnya, dan berusaha menerobos masuk ke dalam mulutnya. Severus membuka mulutnya sedikit, membiarkan lidah istrinya bereksplorasi di dalam rongga mulutnya, serta beradu dengan lidahnya sendiri. Ciuman hangat Hermione selalu saja membuatnya terhanyut.

“Aku mencintaimu, dear husband,” bisik Hermione di depan bibir Severus.

Kali ini Severus tersenyum tipis. Gairahnya mulai bangkit kembali. Bahkan jauh lebih kuat dari yang sebelumnya. Jenggot Merlin! Ternyata efek ramuannya belum hilang sepenuhnya.

“Aku juga mencintaimu, dear wife,” balas Severus dengan suaranya yang datar dan khas tepat di telinga kanan Hermione, dan membuat istrinya itu gemetar kegelian. Severus tahu kalau Hermione selalu memuji keseksian suaranya dan ia puas melihat respon wanita itu setiap kali ia membisikinya mesra. “Dan sekarang, kukira kita bisa melanjutkan diskusi kita di kamar tidur. Sedikit riset, mungkin? Riset untuk mencari tahu bagaimana caranya menghangatkan ranjang kita.”

Hermione tertawa renyah. Kedua pipinya merona merah dan membuat Severus semakin gemas saja. “Tentu, darlin. Kau tahu sekali kalau aku selalu senang melakukan segala macam riset bersamamu.”


000000


Lucius Malfoy melangkah masuk ke kantor Severus dengan penuh rasa percaya diri. Ia tersenyum tipis, menggumamkan selamat pagi dengan santun, dan duduk santai di kursi yang berhadapan langsung dengan Severus. Hari ini, sesuai perjanjian yang mereka buat kemarin, ia datang untuk mengambil ramuan pesanannya.

“Jadi, apa kabar?” tanyanya, menatap Severus yang sedang sibuk memeriksa gulungan-gulungan perkamen berisi essai ramuan milik murid kelas satu tentang Teori-Teori di Balik Penciptaan Ramuan Lupa.

“Kabar ramuanmu baik. Sudah selesai sejak kemarin malam,” balas Severus datar, tanpa mengangkat kepalanya dari perkamen yang sedang ditelitinya. Ia mengibaskan tongkatnya, memanggil botol ramuan pesanan kawan baiknya itu. Selusin botol kecil berisi cairan berwarna coklat emas meluncur dari dalam sebuah peti kayu mahoni dan mendarat mulus di atas meja kerja Severus.

“Oh, mate! Kau ini benar-benar dingin. Maksudku, apa kabarmu? Bukan kabar ramuan pesananku.” Lucius tertawa lirih. Sepasang mata kelabunya mengamati botol-botol ramuan yang berderet di hadapannya.

“Kau bisa lihat sendiri kalau sampai detik ini aku masih bernafas dan sedang sibuk mengoreksi bualan tak berguna yang dikerjakan bocah-bocah berkepala kosong, jadi aku yakin kabarku baik. Terima kasih.” Severus mencoret-coret setiap kalimat yang dirasanya hanya ketololan belaka dengan tinta merah, dan dalam sekejap perkamen itu sudah penuh coretan tinta merah. Siapa bocah otak udang yang mengerjakan essai ini? Benar-benar membuang waktuku!

Lucius mengulum senyum. Ia sudah terbiasa menerima jawaban dingin semacam ini dari Severus dan tidak terlalu mempermasalahkannya. Tak ada untungnya. Kini perhatiannya beralih ke botol-botol kecil di meja Severus. Ia mengambilnya satu dan bertanya, “Berapa harga hutang budiku kepadamu?”

“Selusin itu kuhargai seribu Galleon lima belas Sickle dan lima Knut.” Severus masih enggan mengangkat kepalanya dari pekerjaannya. Ia sedang asyik mencoret-coret perkamen milik bocah berkepala kosong lainnya, yang kali ini tampaknya punya kemampuan membual setara Neville Longbottom. Bahkan hanya perlu waktu sepersekian detik baginya untuk memberi nilai F untuk essai itu. “Dan aku masih punya banyak lagi seandainya kau masih membutuhkannya.”

“Harga yang bagus. Kau memerasku, mate.”

Severus melotot galak. “Harga itu sudah termasuk kerugian yang ditimbulkan oleh ramuan sialanmu itu saat aku melakukan uji coba!” Aku menderita ereksi yang menyakitkan dan terpaksa harus bermain dengan sabun di kamar mandi! Kuharap kau puas, Lucius!

“Sudah kubilang uang bukan masalah bagiku,” balas Lucius, menyeringai angkuh. Ia menuliskan jumlah uang yang diminta Severus tadi ke dalam buku ceknya dan menyodorkan cek itu. Severus melambaikan tongkatnya malas-malasan dan cek itu melayang masuk ke dalam saku jubahnya. “Kuharap khasiat ramuan ini sebanding dengan harganya.”

Severus buru-buru mencegah Lucius membuka sumbat botol ramuannya. “Tidak! Tidak! Jangan minum ramuan itu di sini, kecuali kau ingin terjadi sesuatu yang buruk di antara kita berdua. Aku masih lurus, maaf. Itulah sebabnya aku menikahi wanita.”

Lucius mendengus. “Maksudmu ramuan ini langsung bereaksi begitu diminum?” Kedua alis Lucius terangkat saat Severus menjawabnya dengan anggukan pelan. “Ini artinya aku harus memastikan Narcissa sedang berada di rumah sekarang.”

“Dengan siapa kau ingin melakukannya bukan urusanku. Asal bukan dengan istriku,” sahut Severus kaku. Jauhi Hermioneku atau kugorok lehermu!

“Tak perlu mengingatkanku, mate. Kau tahu aku alergi kepada Darah Lum—kelahiran Muggle. Maksudku, aku menghormati istrimu sampai-sampai aku tidak sudi menyentuh sehelai rambutnya.” Lucius menyeringai penuh arti saat menyadari sorot mata Severus yang sedingin es. “Lagipula aku memesan ramuan ini untuk Narcissaku, kan? Jadi kau boleh menyimpan kekhawatiranmu untuk dirimu sendiri.”

“Baguslah.” Severus melambaikan tongkatnya dan selembar perkamen terbang menghampirinya.

Untuk essai yang satu ini ia sedikit bisa tersenyum. Tidak terlalu parah dibanding yang sudah-sudah. Dia bisa menghemat tinta merahnya kali ini. Meski begitu, ia hanya sudi memberi nilai A minus. Tak ada nilai sempurna di kamusnya. Dia belum pernah memberi nilai sempurna untuk essai siapapun. Bahkan mungkin, tak akan pernah.

“Omong-omong, apa ada efek sampingnya?” Lucius mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai. Dia penasaran dan ingin langsung mencoba ramuan itu di rumah setelah ia pulang nanti.

“Ada. Tapi tenang saja. Ini untuk orang yang tidak menderita disfungsi ereksi sepertimu.” Diam-diam bibir tipis Severus menyunggingkan senyum kemenangan saat Lucius berjengit mendengar problemnya diungkit. “Efek sampingnya antara lain sangat mudah terangsang dan ereksi yang keras, penuh, dan menyakitkan.”

“Oh! Kurasa aku mengerti kenapa kau mematok harga mahal untuk ramuanmu. Kau mengujinya kepada dirimu sendiri, benar?” Giliran Lucius yang tersenyum sinis melihat raut menahan kesal Severus. Akhirnya kena batunya juga kau, Severus! “Jadi, bagaimana hasilnya? Memuaskan?”

Memuaskan kepalamu! Kau belum tahu bagaimana rasa sakitnya, berengsek! Severus mendelik marah. Ia berkata lugas, “Sungguh, Lucius. Itu sama sekali bukan urusanmu. Uji coba seharusnya dilakukan kepada penderita, bukan kepada peramunya.”

“Jadi, berapa kali dalam semalam?” desak Lucius, tak peduli Severus mempelototinya.

“Empat kali,” sahut Severus datar. Satu kali dengan sabun dan tiga kali dengan Hermione, tepatnya. Tapi Severus tak ingin Lucius tahu terlalu banyak. Toh ia tidak berbohong.

Kedua alis Lucius terangkat. Wajahnya menunjukkan antusiasme. “Ini hebat, mate! Kau hebat! Segera setelah kubuktikan sendiri, akan kubantu kau dalam urusan mematenkannya. Seluruh Inggris harus tahu ada ramuan sehebat ini!” Akan kubantu kau mengurus hak patennya agar aku bisa mengawasimu kalau-kalau kau membocorkan rahasiaku kepada konsultan hak paten. Aku tak peduli hak patennya. Aku hanya peduli rahasiaku!

Severus tersenyum masam. Dia sudah tahu kalau tujuan Lucius membantunya hanyalah agar ia tidak memberitahukan sejarah di balik terciptanya ramuan itu. Tak butuh Legilimency untuk membaca pikiran kawan baiknya itu. Bagi Slytherin, baik-buruknya persahabatan dinilai dari berapa banyak keuntungan yang bisa kau dapat dari sahabatmu.

“Kau akan menamai ramuan ini?” tanya Lucius lagi.

“Yeah. Aku mempertimbangkan nama Lucius Viagra Potion. Tapi sepertinya itu bukan nama yang bagus,” sindirnya dingin. Severus menyeringai puas melihat wajah Lucius memucat.

Kau berani melakukannya, akan kubuat istrimu jadi janda! Lucius memaksakan seulas senyum pahit. Kerongkongannya tercekat saat berkata, “Well, aku setuju denganmu, mate. Jelas itu bukan nama yang bagus.”

“Kurasa aku akan mempertimbangkan lagi masak-masak. Mungkin aku akan meminta saran dari istriku. Mengingat kualitas otaknya yang sama bagusnya denganku, dia selalu punya ide-ide fantastis dan mengejutkan,” kata Severus congkak. “Well, apa masih ada lagi yang bisa kubantu, Lucius?”

“Tidak. Terima kasih untuk waktumu, Severus. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu bermain-main dengan tinta merah di atas perkamen muridmu,” sindir Lucius dengan nada sesopan mungkin.

Severus mengangguk pelan, mengibaskan tongkatnya untuk membuat pintu kantornya terbuka lebar dengan sendirinya. Ia mengawasi kepergian Lucius dengan ekspresi tak terbaca. Di dalam saku jubahnya ada cek senilai seribu Galleon lebih dan di dalam pikirannya hanya ada sosok Hermione. Seribu Galleon untuk biaya bulan madu kedua tampaknya bukan ide yang buruk.


El Extremo



Note :
Bunga Lavender dan tanaman herbal Cistanches dipercaya bisa melancarkan aliran darah.
Cuscuta Chinensis berkhasiat meningkatkan kinerja organ-organ vital.
Rhizoma Gastrodiae Elata diyakini sanggup mencegah kejang urat.
Resina Draconi Daemonorops berkhasiat mengurangi stress dan meningkatkan stamina.
Flos Rosae Chinensis dapat mengurangi pembengkakan kelenjar dan melancarkan sirkulasi darah.
Cordycep Sinensis adalah tanaman langka dari China yang digunakan sebagai obat impotensi.
Androstenedione adalah hormon steroid carbon alami yang mampu meningkatkan level testosteron.
•Harrods adalah nama toko serba ada untuk kalangan kelas atas yang terletak di Brompton Road, Knightsbridge, London.

Sumber : Wikipedia, blog-blog, dan forum-forum. (lupa rinciannya).