I'm Officially Yours Chapter 2

Chapter 2

Dilema


Disclaimer:Credit to OpalLynn for this beautiful fanart


Severus menuruni anak tangga dengan langkah kaki menghentak-hentak tanpa sadar. Matahari belum juga muncul sepenuhnya di ufuk timur, tapi ia sudah merasa begini kesal dan gelisah. Kalau saja Hermione tidak menodongnya dengan ajakan ke sebuah reuni sialan pasti ia bisa melewati pagi hari ini dengan damai. Membaca Daily Prophet ditemani secangkir teh chamomile hangat, dan keadaan tetap aman terkendali tanpa ada sesuatu yang membebani pikiran.

Pagi ini bukan pagi yang indah, batin Severus menggerundel.

“Oh tidak…” Severus menahan nafasnya saat menemukan sesuatu yang kuning, gemuk, dan berbulu sedang bergulung malas di atas sofa kesayangannya. “Sudah kubilang supaya ia mengikat makhluk ini dengan sesuatu. Bulu-bulunya bisa mengotori sofa ini…”

Mungkin tindakannya bisa diprotes anggota klub pecinta hewan, tapi Severus tak terlalu peduli saat mengangkat tubuh Croockshanks, kucing kesayangan Hermione dari sofa kesayangannya, dan melemparkan kucing bertubuh subur itu jauh-jauh.

Dasar kucing, diperlakukan demikian, Crookshanks masih saja bisa mendarat dengan mulus, tanpa terluka. Ia balik mendesis marah kepada Severus yang telah mengganggu tidurnya. Manusia ini kejam sekali sih, mungkin begitu pikirnya. Dalam keadaan yang ‘normal’, Severus masih bisa berkompromi dengan ulah Crookshanks. Bahkan pria itu santai-santai saja membiarkan Crookshanks tidur di pangkuannya. Namun untuk kali ini, hati Severus terlalu mendung untuk akur dengan siapa pun.

Severus mengenyakkan dirinya di sofa yang baru saja ditiduri Crookshanks tadi, berusaha mengurai benang kekacauan dalam dirinya satu-persatu. Yeah, ada beberapa hal yang harus ia pikirkan baik-baik. Tidak hanya satu, tapi beberapa. Baginya, reuni Hermione bisa menimbulkan efek domino, dan Severus tahu betul apa yang akan terjadi kalau ia meluluskan permintaan Hermione tadi. Tidak. Severus tidak ingin datang ke reuni. Ia tak boleh datang.

“Tak akan serumit ini kalau saja bukan Hogwarts…” gumam Severus, menggigit bagian bawah bibirnya. Tatapannya menerawang. Sementara beberapa tetes air menitik dari ujung-ujung rambutnya yang masih basah, seolah berupaya mengademkan hatinya yang panas.

Hogwarts, sekolah sihir terkenal di Inggris, tempat Severus bersekolah dulu, dan celakanya, Hermione pun bersekolah di situ. Tak terbayang bagaimana runyamnya kalau mereka berdua sampai datang ke reuni alumni Hogwarts dan memproklamirkan diri sebagai pasangan kekasih. Seolah menyodorkan diri bulat-bulat untuk dipermalukan di hadapan dunia, pikir Severus logis. Yeah, ia sendiri sudah menerima surat undangan reuni seminggu hari yang lalu, dan juga tahu kalau cepat atau lambat Hermione pun akan mendapat surat undangan yang sama. Severus sudah menduga kalau kekasihnya itu pasti akan memintanya untuk menemani.

Sejauh yang ia tahu, banyak mantan gurunya yang masih aktif mengajar sampai sekarang, dan tentunya juga mengajar Hermione semasa ia di sana dulu. Mereka pasti akan ada di reuni. Belum lagi dengan teman-teman seangkatan Severus yang juga akan datang ke pesta reuni. Ini membuat beban malunya seakan makin berat, mengingat kenangan semasa ia bersekolah dulu. Perlu diketahui, Severus adalah seorang murid yang pintar. Jenius, malah. Tapi di hadapan murid-murid Hogwarts lainnya, Severus hanyalah sansak hidup yang bisa diplonco sesuka mereka. Menyedihkan.

“Seumur hidupku aku bersumpah tidak akan menginjakkan kaki lagi di neraka itu…” gumam Severus lagi, berat hati.

Tempat itu penuh kenangan buruk, batin Severus gamang. Tentang James Potter dan kawanan bandit kecilnya. Tentang semua lelucon konyol dan penghinaan menyakitkan yang selalu ia terima dari kuartet populer itu. Tentang Lily, sahabat terbaik sekaligus cinta pertamanya yang meninggalkannya untuk James. Tentang semua hal buruk yang telah mereka perbuat kepadaku, di mana akibatnya harus kutanggung seumur hidup…

Lily. Sudah lama ia berhenti memikirkan satu nama itu. Tepatnya setelah Hermione hadir dalam lembaran hidupnya. Selama ini pula Hermione selalu sukses menyita waktu dan isi kepalanya, dan Severus menyerahkan semuanya secara sukarela. Belaian hangat dan sentuhan lembut Hermione telah mampu menembus jauh ke relung hatinya yang selama ini hampa. Perhatian tulus gadis itu menyapu bersih puing-puing patah hati yang berserakan dalam diri Severus. Bahkan ketabahan Hermione dalam menghadapi sinismenya membuat Severus kagum. Well, hampir tiap hari Severus tak pernah menanggalkan sikapnya yang sinis dan kaku, sikap yang tak pernah diprotes Hermione sekali pun.

Maka dengan begitu, sudah cukup banyak alasan bagi Severus untuk tidak lagi memikirkan Lily. Untuk apa? Supaya dia kembali terjerumus ke dalam jurang kelam patah hati lagi? Tidak.

Namun, selama beberapa hari ini ia kembali dibayangi sosok jelita dari masa lalunya itu. Dibuntuti secara pahit, tepatnya. Jauh dalam nuraninya, Severus telah menanamkan bahwa ia sudah tak ingin lagi berkubang dalam kehancuran. Mengingat ia sudah bukan lagi pria yang hidup dalam mimpi akan cinta yang tak bisa ia miliki. Ia sudah punya Hermione di sampingnya…

Hermione. Pikiran Severus beralih dari Lily ke sosok gadis cantik lainnya. Pria itu menarik nafasnya dalam-dalam saat terbayang ekspresi kesal Hermione tadi. Teriakan gusar gadis itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa begitu bersalah. Menyesal.

Bukan. Bukan aku yang malu. Tapi kau! Kau yang malu karena aku jauh lebih muda darimu! Karena kau hanya menganggapku gadis ingusan dan bau kencur! Benar begitu?!

Severus menggeleng. Kedua tangannya terangkat untuk menyangga kepalanya yang mulai terasa berat. Malu? Mungkin itu benar, batin Severus gundah. Ia malu karena ia bisa mendapatkan seorang Hermione dengan segala kehebatannya. Gadis itu ada di usia emasnya, dua puluh tahun. Ia punya kecantikan fisik dan kecantikan dari dalam yang sama-sama memukau. Belum lagi isi kepalanya. Hermione pernah bercerita pada Severus tanpa bermaksud menyombong, bahwa dia selalu jadi bintang pelajar waktu sekolah dulu, juga segudang alasan mengapa ia begitu merindukan sekolahnya itu. Wajar saja. Dia salah satu murid populer di Hogwarts, kebalikan dari Severus.

Berdampingan dengan Hermione, sebuah kejora yang bersinar benderang, membuat Severus tak mampu membayangkan betapa menyilaukannya gadis itu di pesta reuni nanti. Pesona Hermione akan mendorong banyak orang untuk mencibir Severus, bahwa ia bandot tua tak tahu malu yang tega menggaet daun muda. Yeah, pasti mereka semua akan berpikir begitu, pikir Severus, berburuk sangka. Satu lagi alasan telak untuk mencemoohku habis-habisan…

Satu-dua kali Severus menarik nafasnya dalam-dalam. Merenungkan bagaimana ia bisa jadi begini rapuh. Kerapuhan yang ia sembunyikan rapat-rapat dari siapapun di balik sikap dingin dan topeng ekspresi tak acuhnya. Sejujurnya ia sudah tak ingin tahu lagi tentang Hogwarts, karena itu akan membawanya untuk kembali mengingat Lily dan James. Hatinya beku. Trauma, mungkin.

Lamunan Severus dibuyarkan oleh suara ketukan burung hantu di kaca jendela yang persis ada di depannya. Burung hantu pembawa Daily Prophet telah datang. Nah, paling tidak, sekarang Severus punya alasan untuk kembali ke atas dan menemui Hermione. Lalu Severus bisa menunjukkan surat kabar penyihir itu sebagai bukti kalau ia tadi tidak kabur dari perdebatan panas mereka, melainkan benar-benar mengambil Daily Prophet. Masih marahkah gadis itu? pikir Severus kuatir. Lalu apa lagi alasan yang bisa ia sodorkan kalau Hermione kembali mengungkit tentang reuninya? Entahlah…

Setelah membayar Daily Prophetnya, Severus masih bimbang. Apakah ia akan kembali ke atas atau tidak. Selama ini ia selalu bisa memaksa Hermione untuk lebih dulu mengalah setiap kali mereka bertengkar. Sikap Severus yang keras seperti benteng berdinding karang memang tak mudah ditundukkan oleh Hermione. Tetapi, untuk kali ini ia ragu Hermione akan bersedia mengalah untuk kesekian kali.

Sambil menimbang-nimbang apa yang sebaiknya ia katakan kepada kekasihnya itu, tanpa sengaja Severus menangkap judul berita utama Daily Prophet yang sedang ia genggam. Tragedi Westminster : Seorang Auror Terbunuh.

Kening Severus sedikit berkerut. Kejadian sehebat apa yang bisa menyebabkan seorang auror terbunuh? Setelah masa perang besar melawan Pangeran Kegelapan, jumlah Pelahap Maut sudah menyusut drastis, terbunuh atau tertangkap. Segelintir yang berhasil kabur pun rasanya sangat mustahil untuk bisa kembali menyusun kekuatan. Setidaknya untuk saat ini.

Rasa heran Severus berubah menjadi kaget bukan main saat melihat foto auror yang malang itu. Ia mengenali siapa pria yang ada di dalam foto itu. Sangat kenal. Bagaimana tidak kalau itu adalah foto James Potter!

Lembaran koran di tangan Severus bergetar saat sepasang mata kelamnya menyusuri baris demi baris yang tercetak. James Potter, musuh bebuyutannya dan pria yang menikahi wanita yang dulu sangat dikasihinya, telah tiada. Terbunuh saat sedang melakukan inspeksi di kantor auror distrik Westminster dan mendadak saja gerombolan anggota organisasi sihir hitam yang sedang mereka interogasi berulah. Tak ada korban jiwa lain selain James Potter yang tewas secara heroik, terkena kutukan-tak-termaafkan saat hendak melindungi seorang rekannya. Para korban lainnya hanya mengalami luka-luka dan pelakunya sudah dibekuk, menanti diadili. Beberapa baris selanjutnya dilewati Severus begitu saja. Ingatannya kembali terbang ke Lily. Bagaimana nasib wanita itu sekarang?

***

Perasaan Hermione masih tidak karuan saat Severus kembali ke kamar mereka setengah jam kemudian. Bagaimana pun juga ia merasa arogansi Severus keterlaluan. Dimulai saat ia meminta Hermione untuk tinggal serumah dengannya sekitar semingguan yang lalu, kemudian menyuruh-nyuruhnya belajar memasak, dan kini ia mulai membatasi pergaulan Hermione dengan kawan-kawannya.

Sejak pindah tempat tinggal, Hermione memang seolah putus kontak dengan banyak orang yang dikenalnya. Walau secara sadar, hal ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tak ingin Ron melacak keberadaannya lewat teman-teman mereka. Ia merasa belum siap bertemu dengan pengkhianat cinta itu. Tadinya. Sebelum surat undangan reuni itu datang.

Bibir Hermione sudah setengah terbuka saat melihat ekspresi aneh Severus lewat pantulan cermin di hadapannya. Sepertinya ada sesuatu yang baru saja terjadi di bawah sana, pikir Hermione curiga. Namun mengingat ia masih kesal terhadap pria itu, Hermione memilih untuk tetap memunggungi Severus, bertahan menghadap cermin dan mulai menyisir rambut coklat lebatnya yang basah sehabis keramas tadi. Seperti biasa pula, beberapa detik kemudian, wajah Severus kembali datar tak terbaca, membuat Hermone tak usah repot-repot bertanya.

Sepuluh menit berlalu. Severus masih betah bungkam di tempatnya. Pria itu hanya bersandar di tembok sambil melipat kedua tangan di dada, menatap Hermione yang sedang menyisir helai-helai rambutnya. Risih juga rasanya diawasi seperti ini, batin Hermione. Apalagi karena rambutnya bukanlah tipe rambut yang penurut, melainkan tipikal rambut yang menolak meluncur mulus melewati sela-sela gigi sisir. Beberapa kali ia harus menahan sakit dan menyeringai saat rambutnya menggumpal kusut di ujung sisir. Menyisir rambut mungkin bukan saat yang tepat untuk mempertahankan imej di depan Severus, pikir Hermione logis. Rambutnya ini memang susah diatur!

“Sev… Kita perlu bicara…” akhirnya Hermione membuka percakapan, menyerah dengan rambutnya dan juga menyerah dengan sikap bungkam Severus.

Salah satu alis Severus terangkat. Mata kelamnya masih lurus memandang Hermione yang balas memandang refleksinya di cermin rias. Gadis itu masih menolak menatapnya langsung. Jelas ini bukan pertanda baik.

Hermione sudah mengira Severus akan mengatakan sesuatu yang menentramkan hati, saat pria itu mulai membuka mulutnya yang tadi sempat terkunci rapat. Sesuatu yang melegakan seperti ucapan maaf atau apapun itu. Namun rupanya yang keluar dari bibir tipis Severus adalah…

“Aku suka melihatmu menyisir rambut.”

Tanpa sadar, Hermione menegakkan tubuhnya. Kedua mata coklatnya mengerjap. Telinganya sudah salah dengar atau perdebatan panas mereka tadi sudah menguap habis seiring matahari yang mulai meninggi. Ucapan Severus itu terdengar menggelikan bagi Hermione. Terutama dalam situasi perang dingin begini.

“Sev, aku…”

“Boleh aku yang menyisir rambutmu?”

Severus beranjak dari tembok tempatnya bersandar. Dengan langkah tegak sekaligus anggun, ia mendekati Hermione yang masih berdiri di depan cermin riasnya yang berukuran nyaris sebesar setengah sisi dinding kamar. Pantulan dalam cermin besar itu pun menampilkan tubuh kedua sejoli itu dengan gamblang dan jujur, bahwa mereka terlihat lebih pantas sebagai pasangan ayah-anak daripada sebagai pasangan kekasih. Cermin tidak pernah berbohong, Hermione tahu itu.

“Aku belum memperbolehkanmu,” kata Hermione agak ketus saat Severus meraih tangan kanannya dan berusaha merebut sisir yang sedang ia genggam.

Alih-alih menanggapi perkataan Hermione, Severus justru menghadiahi pipi mulus gadis itu dengan satu ciuman hangat. Hermione sempat menggeliat meronta, namun tangan kiri Severus sudah melingkari pinggangnya dan menarik punggung Hermione agar mau bersandar di dadanya yang kokoh.

“Mungkin kali ini, aku yang harus bilang ‘aku minta maaf’,” kata Severus sambil mengecupi leher jenjang Hermione dan membuat gadis itu bergidik kegelian.

“A—aku tidak dengar,” balas Hermione cemberut. Permintaan maaf macam apa itu? Terdengar tidak ikhlas.

“Aku minta maaf, Hermione,” bisik Severus lembut, sebelum mengulum ujung telinga Hermione dan membubuhkan cumbuan panas di belakang daun telinga gadis itu, dan merambat menuju ke tengkuk Hermione.

Hermione tersenyum. Mendapat perlakuan mesra begini membuat kekesalannya meluntur. Ia belum pernah bisa benar-benar marah kepada Severus, meski pun ia sungguh ingin untuk marah. Mungkin Hermione yang terlalu sabar dalam menghadapi Severus yang seperti patung es. Namun, kalau pria sedingin ini saja bersedia mengalah untuk pertama kalinya dan meminta maaf, sepertinya itu adalah sebuah kemajuan berharga dalam hubungan mereka.

I don't owe this image

“Baiklah, aku maafkan!” ucap Hermione, setengah menjerit. Cumbuan Severus di lehernya semakin ganas. Beberapa kali ia menyedot titik-titik sensitif di sana dan meninggalkan bekas memerah, membuat Hermione tak tahan untuk menggelinjang. Hawa pagi itu cukup dingin dan kondisi badan yang segar setelah mandi berpotensi membangkitkan gairahnya kembali.

Ciuman Severus berpindah ke bibir dan Hermione menyambutnya dengan suka rela. Bukan ciuman yang panas. Hanya ciuman lembut sebagai pengesahan kalau mereka sudah berbaikan seperti sedia kala. Yang jelas, wajah Hermione kembali cerah dan merona setelah itu.

“Jadi, kau akan menemaniku ke reuni, kan?” ungkit Hermione.

“Kau tahu apa yang dikatakan bayanganku di dalam cermin itu, Hermione?” tukas Severus cepat.

Hermione memutar bola matanya. Lagi-lagi usaha pengalihan topik pembicaraan, batin gadis itu gemas. Meski begitu, ia tetap tersenyum tipis, dan bersikap seolah-olah tertarik dengan ucapan kekasihnya itu.

“Dia bilang begini. Hei, Severus. Aku sedang memeluk seseorang yang luar biasa cantik. Tercantik sedunia, malah. Sama seperti apa yang sedang kau lakukan di balik cermin ini.”

Senyum Hermione mengembang. Ah, lagi-lagi rayuan gombal, batinnya. Severus jarang sekali merayu, seingat Hermione. Pria itu selalu bilang kalau rayuannya sangat mahal. Well, mungkin itu artinya ia harus membayar lima puluh Galleon hanya untuk mendengarkan Severus merayunya selama satu jam penuh. Yeah, mengingat apa profesi pria itu dulu, seharusnya Severus mahir merayu, pikir Hermione.

“Lalu kau tahu apa jawabanku, Hermione?” lanjut Severus.

Hermione mengernyitkan keningnya. Ia kira rayuan Severus sudah usai.

“Aku bilang kepadanya. Tidak. Kita tidak sedang melakukan hal yang sama. Itu karena aku bukan sedang sekedar memeluk seseorang sepertimu. Aku memeluk Hermione Jane Granger, kekasihku yang tak butuh cermin hanya untuk membuktikan kalau ia jauh lebih cantik dari siapa pun. Tidak sepertimu, aku tidak memeluknya hanya karena ia sangat cantik, tapi aku memeluknya karena aku begitu mencintainya. Aku juga memeluknya karena saat ini aku sedang ketakutan. Takut kehilangan dirinya.”

“Oh, Sev… I—itu sangat… “ bibir Hermione bergetar saat Severus menciumnya sekali lagi. Mendadak saja bulu kuduknya meremang. Ia tersanjung.

Tak butuh waktu lama bagi Hermione untuk kembali memasrahkan diri di pelukan Severus. Ia menurut saja saat Severus menggiringnya tiduran di atas lantai beralas permadani dan memberondongnya dengan ciuman-ciuman membara di leher dan bahunya. Severus sempat mengulum ujung dagunya, sebelum kembali menghisapi titik-titik tertentu di leher Hermione.

Gairah yang tadinya sempat padam, lalu beberapa kali meletup saat Severus mencumbuinya ringan tadi, kini sudah benar-benar bangkit. Hermione tak lagi ragu untuk menunjukkan bahwa ia pun menginginkan persetubuhan itu. Ia menginginkan Severus kembali menjajahnya sama seperti semalam.

Kedua tangan Hermione terulur untuk melepas satu persatu kancing baju Severus dan membelai dada Severus yang bidang dan berotot lewat celah yang telah terbuka. Sementara kedua tangan Severus bergerak membelai lembut kepalanya, menelusuri kening sampai leher gadis itu dengan jari telunjuknya menyentuh bagian belakang telinga.

Hermione membiarkan Severus mengecup dahinya, menyapukan bibir tipis itu ke arah mata dan hidung mancungnya. Sampai akhirnya bibir itu mulai menyusuri ujung bibirnya ke ujung lain, lalu perlahan-lahan melumat keseluruhan bibir Hermione, membuat jantung gadis itu berdegup kencang. Terbuai. Apalagi saat lidah Severus melakukan rangsangan di bagian telinganya, sambil sekali dua kali menghembuskan nafas hangatnya ke dalam lubang telinga Hermione. Gadis itu pun menggeliat kegelian.

Tanpa sadar, kedua tali gaun Hermione merosot turun akibat gadis itu terlalu banyak menggeliat, dan Severus tak usah berpikir panjang saat ia memelorotkan gaun itu hingga tubuh bagian atas kekasihnya terpampang bebas. Ia membuat gadis itu memekik lirih ketika ciuman panasnya turun ke bagian samping dadanya, dan berekplorasi nakal di sana.

Untuk beberapa detik, Severus berhenti menggarap lahan subur di hadapannya, ketika Hermione memaksanya melepaskan kemeja yang masih tersangkut di kedua lengan kokohnya. Yeah, kini mereka berdua sudah sama-sama telanjang dada.

“Umm, bukankah kau harus… Umm, menyiapkan… Sa—sarapan…?” tanya Severus dengan nafas memburu. Mereka belum pernah melakukan ini di pagi hari dengan perut kosong. Jujur saja, sebenarnya ia sangat lapar.

“Ti—tidak… Jangan berhenti, Sev…” balas Hermione dengan disusul erangan nikmatnya yang membuat rasa lapar Severus sedikit terobati.

Saat ini Severus sedang mengarahkan ciumannya menjelajahi bagian dada Hermione yang begitu menggiurkan. Ia melakukan beberapa jilatan memutar di sana, beberapa kali gigitan ringan, dan mengulum bagian tubuh indah itu secara bergantian. Lenguhan dan pekik kecil Hermione menandakan usahanya berhasil. Ia pun melanjutkan perjalanan cintanya ke arah perut Hermione yang rata. Lidahnya melata, berhenti cukup lama di lubang pusar kekasihnya untuk mengaduk dan menggelitikinya, menyebabkan Hermione mendapatkan rangsangan luar biasa.

“Oh… Sev… aku… aku tak tahan…” ronta Hermione ketika lidah Severus bergerak liar, melata-lata di organ terintimnya yang sudah sangat basah. Gadis itu terangsang berat. “Cepat… Tuntaskan…”

“Tidak, Hermione.”

Mendadak Severus menghentikan aktifitasnya. Tubuhnya berkilat-kilat karena keringat dan nafasnya memburu. Sama halnya dengan Hermione, Severus juga sudah nyaris tak mampu menahan gelombang gairah yang terus-menerus menggodanya. Namun setelah melepaskan penutup akhir auratnya, ia malah berguling dan rebahan di samping tubuh Hermione, menolak untuk menyelesaikan permainan mereka. Karena itulah, Hermione menatapnya heran. Menunda pencapaian klimaks adalah sebuah penderitaan bagi mereka berdua.

“Giliranmu,” kata Severus pendek. “Teruskanlah.”

“Jadi punggungmu pegal?” goda Hermione, sambil menaiki tubuh Severus. Well, jarang sekali ia diberi kesempatan untuk mengendalikan permainan. Tapi tidak kali ini. Mungkin karena Severus terkesan oleh teknik yang ditunjukkan Hermione semalam dan ia jadi ketagihan.

Beberapa detik kemudian, permainan cinta mereka yang sempat tertunda kembali dilanjutkan. Suara erangan nikmat susul menyusul terdengar memenuhi penjuru kamar. Hermione memainkan peranannya dengan sangat baik, membuat Severus menggelepar dan merengkuhnya erat-erat ke dalam pelukannya, seolah ingin membenamkan gadis itu ke tubuhnya, menyatukan mereka jauh lebih intim dari ini.

Hermione mendapatkan puncak kenikmatannya lebih dulu dari Severus dan meski rasanya ia hampir pingsan saat gelombang besar itu menggelegak sampai ke ubun-ubun, ia belum mau berhenti sampai Severus pun mendapatkan kepuasan yang sama. Kepalanya memang sudah pening, pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya lemas. Energinya mulai terkuras habis.

“Kau tak apa-apa?” tanya Severus, memegangi kedua lengan Hermione. Tubuh gadis itu gemetar hebat dan tampak seperti akan ambruk.

“Tidak. Aku baik…” geleng Hermione, berdusta. “Ya Tuhan. Tadi itu hebat sekali, Sev. Ka—kau mengagumkan…”

Bahkan di tengah usahanya untuk mengantarkan Severus ke titik puncak, Hermione justru sudah mendapatkannya sekali lagi. Sedangkan Severus malah belum menampakkan tanda-tanda ke sana. Ia masih kuat dan bertahan, meski tampaknya sudah banyak menerima rangsangan.

“Sedikit lagi…” gumam Severus, mencengkram lengan Hermione erat-erat. “Oh Tuhan… Sedikit lagi…”

Mendengar itu, Hermione menguatkan dirinya. Tugasnya hampir berakhir sebentar lagi. Di bagian bawah sana, ia pun sudah merasakan tanda-tanda kalau Severus sudah mengeras dan siap meledakkan sesuatu ke dalam dirinya. Oh, ia sudah tak sabar lagi melihat ekspresi kepuasan di wajah kekasihnya. Ekspresi yang membuat Hermione bangga, lega, sekaligus merasa perannya telah komplit.

Ledakan itu hampir datang. Tubuh kokoh Severus sudah berguncang-guncang dan melenting dengan irama tak beraturan, sama seperti bunyi nafasnya yang berat dan menderu laksana angin. Diam-diam Hermione tersenyum. Raut dingin Severus telah berubah menjadi demikian erotis dalam keadaan dibekap hawa nafsu begini. Bibir tipis pria itu bergetar, mulai meracau.

“Oh… Lily….”

Mendengar itu Hermione seolah diguyur air es. Jantungnya sontak berhenti berdetak. Ia sangat terkejut. Bukan main terkejut. Saking shocknya, serta merta ia menghentikan kendali permainan. Gadis itu bahkan tak mau peduli akan kebutuhan biologis Severus yang belum terselesaikan ketika ia memisahkan diri. Sesuatu di dalam dirinya seakan baru saja terhantam palu godam raksasa. Kepalanya semakin pening.

“Siapa itu?” tuntut Hermione sambil membenahi gaunnya yang masih melingkari pinggulnya. “Siapa itu Lily, Sev?!”

“Hermione, kumohon…”

“Tidak!” bentak Hermione marah, memungut celana dalamnya yang tergeletak di samping Severus dan memakainya kembali. “Kau sedang bersamaku. Kita sedang melakukan ini. Tapi kau malah memanggil nama wanita lain?!”

Hermione menatap Severus dengan sorot kecewa dan sakit hati. Namun Severus tak mampu balas menatap matanya. Pria itu justru tertunduk, tercenung. Entah mengapa, sepertinya ada kesedihan mendalam yang tak mampu diungkapkan oleh Severus kepadanya. Tak tahu sedih karena ia keceplosan atau sedih karena ulah wanita yang keluar lewat racauannya itu.

Tetapi Hermione merasakan dirinya jauh lebih tersakiti lagi. Apakah selama ini Severus memikirkan wanita lain saat sedang bermesraan denganku? batin Hermione pahit. Padahal sejauh ini ia selalu meyakinkan diri bahwa Severus sangat setia kepadanya. Jelas tak akan ada artinya semua kesetiaan yang ditunjukkan secara lahir itu selama setahun ini kalau secara batin Severus tidak setia. Tentu tidak adil kalau diam-diam ia memikirkan wanita lain alih-alih kekasihnya sendiri, Hermione.

“Sev, aku—aku tak percaya ini… “Hermione membekap mulutnya, menahan airmatanya agar tidak jatuh.

“Aku tidak sengaja, Hermione,” kata Severus lirih. “Maaf.”

Hermione menepis kasar uluran tangan Severus yang hendak membelai wajahnya. Ia sudah tidak ingin berdebat lagi. Dalam sehari, ia sudah menerima dua kali permintaan maaf dari Severus, dan ia merasa tak sanggup lagi untuk terus-menerus bersabar. Khususnya untuk kesalahan Severus yang terakhir tadi. Sudah teramat fatal.

“Hermione, kau mau kemana? Ja—jangan pergi! Kumohon jangan…” pinta Severus saat melihat Hermione buru-buru bangkit dan menyambar sebuah mantel yang tersampir di kursi.

Namun terlambat sudah. Begitu mengenakan mantel itu, Hermione langsung lenyap di tempatnya berdiri. Tak ada keraguan sedikit pun kalau Hermione mahir berapparate, sebagaimana yang diketahui Severus selama ini. Kemanakah gadis itu pergi adalah sebuah misteri tersendiri. Severus menyesalinya dengan serbuan rasa sesak di dadanya, menyadari ketakutan terbesarnya telah terjadi. Seperti yang sudah dikatakannya dengan jujur tadi, ia takut kehilangan Hermione.

To Be Continued

P.S. Saya menulis dengan tangan kiri yang berangsur-angsur pulih. Puji syukur. Setelah melalui operasi pengangkatan pen dua minggu yang lalu dan chapter dua terpaksa pending lumayan lama, akhirnya bisa dilanjutkan juga. Mohon maaf buat teman-teman yang sudah menunggu. Buat teman-teman yang sudah memberi support supaya saya bisa buruan nulis lagi, Oryn, Ambudaff, Aicchan, SlythSevvy, Zen Xiao-Fang, dan teman-teman yang tidak bisa disebut satu persatu, terima kasih ^^

I'm Officially Yours Chapter 1

Judul : I’m Officially Yours
Rating : M
Genre : Drama – Roman
Pairing : Severus-Hermione
A/N : Eksperimen lagi. FF yang sekarang ini adalah sekuel dari FF SevMione saya yang berjudul “Love Game” yang sebelumnya juga diposting di FFN. Mohon komentar, kritik, saran, dll, karena jujur saja saya masi hijau dalam FF seperti ini. ;)


Chap 1
Risau


Disclaimer : Credit to LuciferaCat for this beautiful fanart


Minggu demi minggu, bulan berganti bulan, hingga akhirnya kini sudah setahun lamanya Hermione resmi mendapatkan Severus sebagai pengganti Ron. Selama itu pula ada banyak hal yang membuat Hermione merasa dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia. Ya. Ia beruntung. Tentu saja. Dicintai dan diperlakukan sebagai wanita terhormat oleh pasangannya, wanita mana yang tidak akan iri kepadanya? Setiap hari adalah hari baru untuk Hermione. Hari untuk jatuh cinta lagi dan lagi kepada Severus.

Malam itu pun begitulah yang terjadi. Sekali lagi Hermione dibuat terbang tinggi ke awang-awang, mengecap manisnya cinta dan berkubang dalam indahnya surga dunia yang diciptakan oleh pria yang kini menempati ruang hatinya. Setelah melalui pergulatan yang lumayan panjang bagai sepasang belut kepanasan, keduanya terbaring bersisian di atas ranjang dengan selimut sebagai pelapis tubuh, sama-sama menatap langit malam yang bersih dihiasi bintang bertaburan, sembari mengatur nafas mereka yang masih memburu.

“Aku tak percaya kita melakukan ini di sini, di ruang terbuka,” kata Hermione, namun wajahnya berseri. “Ini gila, Sev!”

Severus hanya membalasnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Ia tersenyum tipis. Sebagai penggagas ide nekat ini, dia memang sudah mempersiapkan segalanya dengan secermat mungkin. Tempat paling sempurna dan romantis yang ia pilih adalah salah satu pulau tak berpenghuni di kepulauan Fiji. Ia perlu mensterilkan pulau berpasir putih itu selama dua-tiga hari, untuk memastikan keamanannya, memasang mantra penolak gangguan dan mantra kamuflase lain untuk tambahan, sebelum akhirnya menyiapkan sebuah candle light dinner yang romantis di tepi pantai sebagai sebuah kejutan untuk Hermione. Seperti yang sudah ia perkirakan, semua rencana indahnya berakhir di tempat yang tepat, di atas ranjang beralas sprei satin yang dikelilingi pohon-pohon kelapa dan juga pemandangan khas pantai yang indah. Untuk kali ini, permainan cinta mereka tak hanya diisi oleh desahan-desahan, tapi juga suara debur ombak memecah karang. Sungguh membangkitkan sebuah sensasi tersendiri.

“Gila dan cukup liar,” tambah Severus pada akhirnya, saat Hermione berguling ke pelukannya.

“Aku mencintaimu, Sev…” bisik Hermione mesra di telinga pria itu, sebelum menghadiahinya satu kecupan manis di bibir. Relung hati gadis itu kini diselimuti kehangatan dan kedamaian, seolah ada bagian kosong yang telah diisi-ulang. Perasaan nyaman yang selalu ia rasakan sejak pertama kali mereka berdua bertemu, sekaligus membuatnya penasaran pada sosok Severus hingga ia nekat mencarinya dulu.

Alih-alih membalas perkataan Hermione ini, Severus justru menatap kedua mata gadis itu dalam-dalam. Bibirnya terkunci rapat, namun bias cerah di wajahnya sudah cukup untuk menjawab betapa ia juga mencintai kekasih mudanya ini. Jemari Severus pun tergerak untuk membelai dan menyisir helai-helai rambut Hermione yang tebal bergelombang dan berantakan karena ulahnya tadi. Ia pun menghirup semerbak wangi rambutnya dan mengecup lembut kening gadis itu. Dalam keadaan acak-acakan begini, Hermione pun tetap terlihat cantik dan sangat menggoda. Bulir-bulir keringat di wajah dan tubuhnya membuat gadis itu tampak semakin eksotis. Terutama leher jenjang Hermione yang mengkilap karena keringat, sangat menggemaskan. Pemandangan indah ini membuat mata Severus tak pernah merasa puas meraupnya.

Belaian lembut dan tatapan Severus membuat Hermione tersipu. Binar di sepasang mata kelam pria itu menunjukkan kalau ia begitu terpukau oleh kecantikan Hermione, dan seperti inilah tatapan yang didambakan setiap wanita di dunia, termasuk juga Hermione. Didorong oleh jantungnya yang mulai berdebar tak karuan, Hermione mendekatkan wajahnya ke wajah Severus dan menyentuhkan bibir bagian atasnya ke bibir bagian bawah pria itu sambil mendesah menggoda. Ia ingin sekali lagi mengeksplorasi kenikmatan yang bisa direguknya dari bibir tipis itu. Kenikmatan bibir Severus telah membuatnya kecanduan.

Severus yang menyadari apa kemauan kekasihnya pun sedikit membuka mulutnya, menyambut sentuhan-sentuhan ujung lidah Hermione yang menggelitik. Ujung lidah Hermione melata perlahan, menjamah bibir Severus, sebelum akhirnya masuk ke rongga mulut pria itu untuk menjelajah lebih ke dalam sesuka hatinya. Tak mau diam saja, lidah Severus pun ikut berputar bersama lidah Hermione, bersatu untuk sebuah kolaborasi memabukkan.

“Kau masih mau lagi?” tanya Severus, sesaat setelah Hermione menarik lidahnya dari dalam rongga mulutnya.

“Kenapa? Kau sudah loyo?” goda Hermione, kedua pipinya merona. Meski mereka sudah beberapa kali melakukannya, Hermione masih malu-malu kucing di hadapan Severus. Ia tak tahu kalau Severus justru dibuat gemas dengan sikapnya ini.

Tantangan ini segera diladeni Severus dengan membalik tubuh polos Hermione dan menindihnya agar tidak berkutik. Gadis itu pun hanya bisa menggeliat-geliat saat Severus mulai menciumi seluruh bagian tubuhnya dengan kecupan-kecupan lembut diselingi hisapan panas di beberapa bagian. Dimulai dari bibir atas, bibir bawah, leher, belakang telinga, dada dan perut, daerah di antara perut dan kewanitaan, selangkangan, betis, paha, kaki, dan yang terakhir sekaligus santapan paling lezat, daerah kewanitaan kekasihnya itu. Untuk malam ini, tubuh Hermione seolah menjelma menjadi lembah, gunung, laut, dan dataran yang mempesona, sedangkan Severus adalah pengembaranya yang beruntung.

Serangan gencar yang dilancarkan Severus ini membuat Hermione hampir gila. Bahasa tubuh gadis itu pun menyiratkan kalau ia menginginkan lebih. Daya magnet dalam dirinya menarik bibir Severus untuk terus dan terus menjelajah ke seluruh penjuru, menebarkan kenikmatan sensual yang membuat tubuh gadis itu gemetar, tenggelam dalam lautan gairah, dan berulang kali mendesah saat bibir itu singgah di tempat-tempat sensitif.

Organ intim Hermione sudah kembali basah saat Severus menempelkan hidungnya di sana untuk menghirup wanginya. Tapi penelusuran bibir Severus terhenti sampai di sini. Itu karena ia tak tahan lagi untuk tidak mencium bibir manis Hermione yang tengah sibuk melantunkan erangan-erangan eksotis. Ia membungkam mulut Hermione, membuat desahan-desahan itu berubah menjadi bunyi kecipak dari sepasang bibir yang menyatu.

Sesaat kemudian Severus menjauhkan bibirnya dan mengajarkan teknik berciuman baru kepada kekasihnya. Ia menempelkan bibirnya pada ujung rahang Hermione, sebelum kemudian menggesekkan bibirnya menyebrang ke sisi rahang satunya sambil membalas erangan Hermione. Tujuan bibir Severus adalah telinga Hermione, di mana lidah pria itu bermain-main di atas lubangnya, sekaligus membuat gadis tercintanya semakin terlarut dalam skenario yang ia bawakan. Sementara jemari Severus asyik berselancar menelusuri tubuh mulus Hermione yang menggeliat liar dalam rengkuhannya, membelai dan merangsangnya tanpa terputus.

“Ampuuun…” desis Hermione kewalahan, wajahnya sudah dipenuhi rona merah karena terbakar api nafsu.

Seolah menuruti permohonan terselubung Hermione, Severus menghentikan serangan gerilyanya. Meski sudah demikian terbakar, ia tak ingin terlalu egois dan mendominasi. Lagipula ia sudah berhasil membuat Hermione terangsang berat. Tak perlu tunggu waktu lama untuk menunggu gadis tercintanya itu berbalik menyerbunya. Maka dari itu, Severus melonggarkan tekanannya, membiarkan Hermione mendorongnya hingga posisi mereka berubah, Hermione yang kini di atas tubuhnya.

“Tunjukkan semua yang kau bisa,” tantang Severus, sedikit mencibir. Yeah, dia masih merasa jauh lebih hebat dari kekasihnya itu.

Hermione menyunggingkan senyuman termanisnya. Sikap Severus yang jantan membuat dadanya bergetar, menyadari kalau ia semakin jatuh hati pada pria yang sedang ditungganginya itu. Maka Hermione pun mendekatkan bibirnya ke bagian yang dianggapnya paling menggiurkan dari Severus, dadanya yang bidang, untuk menggigit dada itu lembut disertai kecupan-kecupan panas. Sesekali ia menggigit dan menghisap beberapa titik tertentu di sana, dan sebagai balasannya, lenguhan dan geliatan Severus membuatnya bangga akan kemampuannya. Maka gigitan itu semakin turun ke perut Severus yang rata dan turun terus, sampai akhirnya mencapai bagian kejantanan yang selalu dibanggakan Severus.

“Jangan, Hermione. Kumohon,” tolak Severus sopan ketika Hermione hendak melanjutkan jilatan dan hisapan mautnya di bagian itu.

“Kenapa?” tanya Hermione bingung. Mau tak mau, ia pun mengurungkan niatnya.

“Aku hanya tak mau melihat wajah cantikmu terbenam di antara selangkanganku. Percayalah. Aku tak rela melihatmu melakukannya.”

“Oh baiklah…” balas Hermione. Bibirnya merayapi perut dan dada Severus untuk kembali ke atas, dan menatap wajah pria yang dicintainya tersebut. Pada awalnya ia mengira semua pria pasti senang kalau bagian pribadinya dipermainkan, tapi ia salah. Pria yang satu ini lain daripada yang lain. “Tapi kau curang, Sev.”

“Biar saja. Benda yang satu itu hanya punya satu tujuan di tubuhmu selama ini,” balas Severus cuek, agak terengah. Pagutan-pagutan Hermione tadi membuat tubuhnya membara. “Dan dia tidak akan pergi kemana-mana lagi.”

Hermione tergelak. Gaya bercanda Severus memang aneh. Dingin dan dalam, tapi mengena. Kadang ia pikir selera humor kekasihnya cukup buruk, tidak sebaik seleranya dalam bermain di atas ranjang. Namun untuk kekurangan Severus yang satu ini, Hermione masih bisa menolerirnya. Lagipula, diam-diam Hermione merasa tersanjung. Bagaimana pun hebohnya permainan mereka, Severus tidak pernah memintanya atau bahkan mengijinkannya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh wanita murahan.

“Cium aku, Hermione...” desis Severus.

Permintaan yang bahkan tidak perlu terucap, karena Hermione segera melumat bibir tipis Severus dan terlibat adu lidah dengan Severus. Kali ini kedua tangan Severus kembali berjibaku menjamahi dan meremas bagian-bagian tubuh Hermione yang ranum, membuat gadis itu memekik kecil beberapa kali kerena sensasi gelenyarnya. Eksplorasi kedua tangan itu makin menjadi-jadi saat pemiliknya merasa sedang di atas angin. Di sisi lain, Hermione semakin dilambungkan tinggi dalam lejitan kenikmatan. Sesuatu di dalam dirinya tak bisa ditahan lagi. Ia hampir meledak.

“Malam ini, perlakukan aku sesukamu…” bisik Severus di telinga Hermione, membuat hati gadis itu berbunga-bunga.

Bagai anak kecil yang tunduk pada ibunya, Severus pun menurut saja saat Hermione membimbingnya untuk duduk bersila di atas ranjang, dan melakukan teknik yang seingatnya belum pernah ia ajarkan kepada gadis itu.

Selanjutnya, Hermione memposisikan dirinya duduk di hadapan Severus dengan melingkarkan kedua kakinya di sekitar pinggang pria itu. Sambil mulai berciuman lagi, ia pun menyapa milik pribadi Severus dan mempertemukannya menjadi satu bagian yang nyaman dengan miliknya sendiri. Suara derit dari ranjang mereka yang bergoyang melengkapi harmoni orkestra pantai, alunan desir ombak membelai hamparan pasir, desahan daun nyiur yang disibak angin, dan musik alam lainnya. Hingga pada suatu titik tertentu, mereka berdua merasakan keintiman yang begitu mendalam saat mencapai puncaknya secara nyaris berbarengan. Sesuatu yang membuat wajah Hermione terus berbinar hingga pagi hari nanti. Akhirnya ia berhasil…

***

Disclaimer: Credit to Sororitysheep for this fanart


Pagi harinya Hermione terbangun dengan perasaan segar luar biasa. Di beberapa bagian tubuhnya yang tak tertutup sehelai benang pun tampak bekas-bekas kemerahan, mengingatkannya akan kejadian semalam saat Severus menandai bagian-bagian itu sebagai wilayah kekuasaannya seorang. Mengingat ini membuat Hermione bahagia, merasa dunia sudah menjadi miliknya dalam semalam. Malam yang sangat luar biasa. Ia rela mengulangi hari dengan pembalik waktu agar bisa mengalami saat-saat luar biasa bersama Severus semalam.

Merasa beberapa bagian tubuhnya terasa pegal, Hermione jadi agak enggan untuk bangun. Setelah melewatkan malam yang hebat bersama Severus di sebuah pantai, mendadak saja pagi ini ia sudah terbangun di kamarnya sendiri. Ia tak ingat kapan Severus mengajaknya berapparate kembali ke London, atau pria itu memang sengaja tidak membangunkannya karena tidak tega melihatnya terlelap kelelahan.

Membayangkan Severus menggendongnya diam-diam, berapparate langsung ke kamarnya, untuk kemudian membaringkan tubuhnya dengan hati-hati sebelum menyelimutinya rapat, tak pelak menimbulkan kesan mendalam di hati Hermione. Severus mungkin saja bukan pria yang romantis, tapi ia punya gaya tersendiri untuk memukau Hermione.

“Hai…” sapa Hermione lirih, saat menyadari kehadiran sosok kokoh yang sedang berdiri di depan jendela yang terbuka.

Pria itu masih dengan penampilannya yang jamak, mengenakan kemeja kelabu yang kedua lengannya digulung sampai ke siku dan celana hitam kelam. Dengan rambut hitamnya yang masih setengah basah dan kulitnya yang terlihat segar, tampaknya Severus baru saja mandi. Rautnya yang datar tanpa dosa hanya mengangguk pelan saat Hermione menyapanya. Tatapannya yang tajam masih tak ingin beralih dari pemandangan di luar jendela, seolah sapaan Hermione hanya numpang lewat sejenak di telinganya.

Hermione tahu apa yang sedang dilakukan kekasihnya di setiap pagi, ia menunggu burung hantu datang membawa Dialy Prophet sebentar lagi. Ini berarti waktunya untuk mengobrol dengan Severus tinggal hitungan menit saja, karena pria itu akan benar-benar irit bicara saat harian khusus penyihir itu sampai ke tangannya nanti.

“Sev?”

Pria itu menanggapinya dengan gumaman lirih, masih tampak tak acuh. Air mukanya pun belum berubah banyak. Hermione mencelos. Entah mengapa rasanya susah sekali mengalihkan perhatian Severus dari jendela. Padahal yang ingin ia utarakan ini sangat penting baginya.

“Sev, aku ingin bicara,” kata Hermione dengan nada agak menekan.

“Aku sedang mendengarkan,” balas Severus santai dan memalingkan mukanya untuk sejenak menatap Hermione. “Tapi lebih baik kau berpakaian dulu. Kalau tidak, bisa-bisa aku akan berbuat lebih dari sekedar mendengarkan. Kukira gadis secerdas kau pasti pernah dengar istilah ‘etis’, atau ini hanya ekspekstasiku yang berlebihan?”

Hermione menahan nafas, berusaha sabar. Selama setahun terakhir ini ia sudah mencoba membiasakan diri untuk menerima perkataan sinis dan dingin ala Severus, namun tetap saja kupingnya terasa tersengat. Maka sambil mencari-cari di mana penutup aurat terdekat yang bisa dijangkaunya, Hermione menata moodnya, Ia tidak ingin mengacaukan suasana pagi ini setelah romantisme yang mereka lalui semalam.

“Apa ini, Sev?” tanya Hermione saat menemukan gaun berwarna putih terlipat rapi di dekat bantalnya. “Kau membelikanku gaun?”

Severus hanya menjawabnya dengan “ya” yang pendek. Ia bahkan tak tertarik untuk menonton betapa Hermione antusias mencoba gaun itu, atau sebenarnya memang menahan diri untuk tidak menontonnya.

“Ini gaun yang indah, Severus. Terima kasih…” kata Hermione sesaat kemudian, wajahnya berseri-seri. Gaun barunya itu pas di badan, bahkan membalut tubuhnya dengan begitu sempurna. Modelnya sederhana, putih polos tanpa motif, namun rasanya gaun itu pun sudah tampak cantik. “Nah, sekarang kita sudah bisa bicara, kan?”

“Kurasa begitu. Mendekatlah,” kata Severus tenang. Kali ini ia menggeser posisinya sedikit dan memandangi Hermione dengan sorot ala lampu mercusuar. Tatapannya yang tajam tak terbagi ini mau tak mau membuat Hermione rikuh.

“Err… Dua hari yang lalu, aku menerima undangan reuni dari Hogwarts. Disusul beberapa pos burung hantu yang mengabarkan kalau beberapa teman sekolahku juga akan hadir. Me—mereka ingin tahu apa aku bisa datang, dan aku pun sudah menjawab kalau aku akan datang… A—aku ingin sekali datang…”

Kening Severus sedikit berkerut, tapi sepersekian detik kemudian airmukanya kembali setenang permukaan kolam yang tak terusik. Entah perasaannya ini benar atau tidak, Hermione beranggapan Severus tahu kemana arah pembicaraan mereka ini.

“Lalu?” tanya Severus pendek.

“Aku ingin kau menemaniku,” balas Hermione mantap, sebelum buru-buru menyilangkan jarinya di belakang punggung. Mendadak saja jantungnya berdebar kencang. Apalagi karena atmosfer di ruangan itu tiba-tiba berubah tegang secara misterius.

Butuh waktu sekitar semenit bagi Severus untuk menjawabnya. Semenit yang terasa panjang dan horror bagi Hermione, sampai akhirnya bibir Severus merekah untuk berkata, “Kau yakin?”

“Ya. Kenapa tidak?” jawab Hermione cepat. “Maksudku, aku—aku ingin kau berkenalan dengan teman-teman sekolahku dulu. Ini pasti akan sangat menyenangkan. Percayalah!”

“Kurasa tidak, Hermione.”

“Ap—apa? Kenapa?” Hermione memutar bola matanya saat menyadari Severus tidak lagi berminat dengan pembicaraan ini. Alih-alih menatapnya, Severus malah melengos, kembali memusatkan pandangannya ke arah jendela. Hal ini membuat Hermione tak tahan lagi. Dengan sigap ia menutup jendela dan memblokir pandangan Severus dengan tubuhnya, memaksa pria itu untuk kembali memperhatikannya. “Tak ada yang salah denganmu, Sev. Tak ada yang salah dengan kita.”

“Entahlah denganmu, Hermione. Tapi akhir-akhir ini aku sering bercermin,” balas Severus sinis, bibirnya sedikit berkedut saat mengatakan ini.

“Kalau yang kau maksud adalah perbedaan umur kita, kukira seharusnya kau sudah tahu ini akan terjadi sewaktu kau memutuskan untuk berhubungan denganku. Cepat atau lambat, kau pasti juga akan memperkenalkanku kepada teman-temanmu dan kerabatmu…”

Hermione menatap Severus dengan penuh harap. Dia tak mau pergi ke reuni sendirian, apalagi karena sekarang dia sudah punya seorang pendamping. Well, dia tahu reuni itu sudah menjadi semacam ajang untuk membanggakan pencapaian diri setelah lulus sekolah, dan pastinya teman-temannya nanti akan saling berkoar tentang apa saja kesuksesan mereka masing-masing. Salah satu yang masuk topik pembahasan sudah pasti adalah tentang pasangan hidup. Bukannya ia menutup mata akan hal ini. Ia hanya tidak mau menyembunyikan hubungannya dengan Severus, dan harusnya Severus pun tahu itu.

“Tetap tak mau,” ucap Severus kaku, seraya berbalik pergi.

Namun Hermione tak kalah cepat. Gadis itu segera menarik lengan Severus dan menghadang jalannya. Roman muka Hermione berubah serius, menuntut penjelasan mengapa Severus enggan mendampinginya ke reuni.

“Aku hanya tak ingin membuatmu malu di hadapan teman-temanmu. Oke?!”

Akhirnya keluar juga kalimat yang paling dibenci Severus selama ini. Membayangkan bagaimana kalau nanti teman-teman Hermione akan memperhatikan mereka berdua sebagai pasangan ‘ajaib’, membuat Severus jengah. Meski begitu, kerongkongannya masih terasa tercekat, seolah belum lega menggelontorkan seluruh kegundahan hatinya.

“Malu? Aku tak punya alasan untuk malu. Asal kau tahu saja, Sev!” Nada bicara Hermione mulai meninggi, matanya menatap Severus tajam. “Bukan. Bukan aku yang malu. Tapi kau! Kau yang malu karena aku jauh lebih muda darimu! Karena kau hanya menganggapku gadis ingusan dan bau kencur! Benar begitu?!”

Rahang Severus mengeras, geram. Tampaknya ia mulai gerah dengan kengototan Hermione. Lagipula ia tidak terlalu menyukai pembicaraan mereka ini. Sesuatu yang sangat mendasar dalam hubungan mereka, perbedaan umur. Sejak dulu Severus selalu berusaha menghindari topik ini, meski ia tahu ia tak bisa terus lari dari kenyataan. Suatu saat nanti, masalah perbedaan umur ini pasti akan jadi masalah bagi mereka. Dugaannya ternyata benar.

“Ku—kurasa ada ketukan dari jendela di ruang bawah. Mungkin burung hantunya sudah datang. Aku harus membayar Daily Prophetnya…” kata Severus, menyamarkan kegugupan dalam nada suaranya. Ia pun berjalan melewati hadangan Hermione begitu saja. Yeah, dia hanya mengarang alasan agar bisa kembali menghindar. Ia bahkan tak mau berhenti meski Hermione memanggilnya berkali-kali. Padahal dari suaranya, tampaknya gadis itu sangat kesal sudah diacuhkan.


Bersambung ke chap berikutnya…


A/N : Terima kasih untuk temen-temen yang mendorong saya untuk terus bereksperimen dengan FF SevMione berating M. Di antaranya, Oryn, Ambudaff, SlythSevvy, Zen Xiao-Fang, DT, dan teman-teman lain yang sudah bersedia membaca walau pada akhirnya (malu-malu?) untuk mengomen. Mohon bimbingan n dukungannya aja buat meng-SevMione-kan masyarakat. Biar makin banyak yang dukung pairing ini. Wohoho… Haste Luego! :D