The Dark Lady And The Bookworm : Chapter 7

Sunset by bublichek

a/n : Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk mereview, memasang story alert, dan memfavoritkan cerita ini.
Terima kasih untuk phoenixeyes22, Oxenstierna-KHLR, Aralea FS, linaaput, hannadimsr, Nailily,Hime Mitsuki dan semua yang sudah memberi saya masukan-masukan berharga dan tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Sekali lagi fanfic ini DARK. Banyak unsur kekerasan dan seksual di sini. Karena itulah, dianjurkan hanya pembaca berusia 17+ yang boleh membacanya.

Chapter 7
Possessionless


Berada di tempat yang seharusnya. Di bawah Bintang. Di atas Malaikat. Di mana seluruh Arcelia tersimpan di dalamnya.


Kening Hermione berkerut-kerut. Ia sedang duduk di ruang kerjanya, membaca ulang perkamen yang memuat secuil informasi mengenai Arcelia ketika menemukan tiga kalimat itu muncul secara misterius di bagian paling bawah perkamen. Aneh, memang. Tapi di dunia sihir tidak pernah ada kata aneh. Dari yang diketahui Hermione, beberapa buku kuno yang dilindungi oleh proteksi magis sengaja menyembunyikan rahasia penting di dalamnya dari mata pembacanya, kecuali untuk orang-orang yang istimewa.

Jadi apakah perkamen ini menganggapku sebagai orang istimewa? pikir Hermione penasaran. Bisa jadi. Apalagi karena perkamen ini sebenarnya bukan perkamen biasa. Setidaknya begitulah dugaan Hermione mengingat bagaimana ia menemukan perkamen itu beberapa bulan lalu di perpustakaan Hogwarts. Muncul tiba-tiba dari udara kosong dan terbang ke arah Hermione, sebelum kemudian jatuh ke pangkuan wanita itu. Entah apa maksudnya.

Ketika itu Hermione hanya bengong. Tidak semua buku di perpustakaan Hogwarts bertingkah seperti itu. Pada umumnya sih buku-buku di Hogwarts ‘hanya’ menjerit ketika halamannya dibuka. Ada juga yang berusaha mengigit tangan orang yang hendak mengambilnya dari rak. Yang lebih parah lagi, ada buku yang kabur dan terbang ke langit-langit perpustakaan sehingga membuat pembacanya kesusahan. Well, intinya buku-buku di dunia sihir berbeda dengan buku di dunia Muggle. Buku di dunia sihir normalnya seperti punya pikirannya sendiri dan menuntut perlakuan khusus dari pemiliknya.

Secarik perkamen itu lusuh dan menguning, hanya seukuran telapak tangan. Namun cukup informatif. Hermione menemukan sedikit pengetahuan penting yang membuatnya tertarik kepada Arcelia. Mengenai Peti Orpheus yang katanya menyimpan kekuatan sihir paling murni, mengenai kekuatan alam gaib yang menyelubungi negeri itu, dan lain sebagainya. Sayang, perkamen itu tidak bisa menuntaskan dahaganya. Bahkan membuat Hermione semakin haus dan haus saja.

Sebagaimana yang diketahui segelintir orang di dunia Sihir, Arcelia adalah negeri antara ada dan tiada. Ada yang menyebutnya sebagai Atlantisnya dunia sihir, karena mereka yakin negeri itu pada awalnya sama seperti negeri-negeri lain yang nyata dan berwujud, sebelum akhirnya menghilang tanpa bekas dari peta. Ada juga yang menyamakan Arcelia dengan Segitiga Bermuda. Itu dikarenakan ada sebuah mitos mengatakan barang siapa yang berani menerobos masuk Arcelia tidak akan bisa lagi keluar selamanya.

Semua itu membuat apapun yang berbau Arcelia menjadi tak ternilai harganya. Itu pula yang menyebabkan kedua mata Hermione bersinar girang saat menyadari isi perkamen tersebut. Perkamen yang ditemukannya ini—atau sebaliknya, perkamen itu yang justru menemukan Hermione—adalah barang yang sangat berharga.

Liburan musim panas yang seharusnya dimanfaatkan untuk bersantai dan berekreasi malah ia habiskan di perpustakaan. Perpustakaan Hogwarts, perpustakaan London, dan perpustakaan Kementerian, bergantian ia secara bergilir. Berpikir ia harus secepatnya menuntaskan apa misteri yang terkandung di dalam perkamen itu.

Seperti luapan air bah. Perumpamaan yang cocok untuk menggambarkan antusiasme Hermione. Hermione belum pernah merasa begitu bersemangat memecahkan rune yang tertulis di dalam perkamen itu. Setiap kata yang berhasil ia temukan artinya semakin memacunya untuk terus dan terus menguak apa makna yang tersembunyi. Perkamen misterius itu seolah menantangnya, dan Hermione merasa wajib untuk mengalahkannya. Hingga beberapa bulan kemudian akhirnya semua rune yang tertulis di perkamen itu nyaris selesai ia terjemahkan.

Dari apa yang ditangkap Hermione, pada bagian akhir perkamen disebutkan bahwa ada sebuah harta yang tak ternilai harganya bagi masyarakat Arcelia. Harta yang punya kekuatan magis luar biasa dan juga merupakan sebuah kunci yang mampu menuntun siapapun pemiliknya untuk menemukan Peti Orpheus. Dan letak harta karun itu disamarkan dalam empat kalimat teka-teki tadi. Berada di tempat yang seharusnya.

Berada di tempat yang seharusnya. Di bawah Bintang. Di atas Malaikat. Di mana seluruh Arcelia tersimpan di dalamnya.

Baiklah… Coba kita telaah satu-persatu dan perlahan saja, batin Hermione. Pertama, kira-kira seperti apa harta yang disebut tak ternilai harganya ini? Harta yang bisa menyimpan seisi Arcelia di dalamnya? Hm, kalau dilihat dari kalimatnya, Hermione menyimpulkan bahwa yang dimaksud sebagai harta di sini bukan gunung emas atau semacamnya. Ini hanya semacam ungkapan.

Tapi apa?

Mengigit bibir bagian bawahnya, Hermione berpikir.

Jika harta di sini adalah sebuah ungkapan. Benda yang tak berwujud. Maka baginya tak ada yang lebih berharga di dunia ini selain ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, manusia bisa menemukan berbagai macam hal. Bagaimana cara mengolah sinar matahari menjadi sumber energi. Bagaimana merakit sebuah alat transportasi. Bagaimana cara menyusun bangunan pencakar langit. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit ganas. Jelas ilmu pengetahuan lebih berharga ketimbang emas.

Oke. Mungkin kita bisa anggap harta yang dimaksud di sini adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mengenai Arcelia, begitulah. Bisa jadi memuat banyak hal mengenai negeri misterius itu. Seluk-beluknya. Termasuk juga rahasia terdalamnya. Hm, menarik juga.

Lalu jika benar yang dimaksud harta di sini adalah ilmu pengetahuan, maka di mana kira-kira harta itu akan di simpan? Pastinya dia akan berwujud sebuah tulisan atau lembaran-lembaran perkamen atau buku. Ya, buku. Pasti berbentuk buku. Semua ilmu pengetahuan berharga sudah tentu dicatat dalam sebuah buku. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian bisa dibilang buku adalah harta tak ternilai harganya. Bukan fisiknya. Tapi isi yang termuat di dalamnya.

Berada di tempat yang seharusnya.

Buku. Jadi jawabannya adalah buku. Lalu jika dikatakan buku itu berada di tempat yang seharusnya maka ini berarti… umm… rak buku? Atau… atau perpustakaan? Ya! Perpustakaan! Tempat di mana terdapat banyak buku dan semuanya itu tersusun di rak-rak.

Hermione hampir melompat dari kursinya saking semangatnya. Dia belum yakin seratus persen, tapi sepertinya kesimpulan yang diambilnya ini cukup masuk akal. Sekarang ia hanya tinggal mencari di mana kira-kira perpustakaan yang menyimpan buku tentang rahasia-rahasia Arcelia ini.

Perpustakaan sihir di London tidak terlalu banyak. Hanya ada perpustakaan Hogwarts, perpustakaan Kementerian, perpustakaan kota, dan beberapa perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum lainnya. Kurang lebih ada sekitar sepuluh perpustakaan. Mencari satu buku di antara ribuan buku lainnya sepertinya akan mustahil. Itupun baru satu perpustakaan saja, belum perpustakaan lainnya. Tentu akan menyita waktu. Mungkin sebaiknya ia memecahkan dua kalimat berikutnya dulu.

Di bawah Bintang. Di atas Malaikat.

Nah, apa pula itu artinya? Kalau saja Hermione tak terlalu cermat, mungkin ia akan berpikir buku ini berada di langit. Tapi tentu tidak. Sebuah teka-teki mustahil akan menyodorkan pernyataan eksplisit begitu. Bisa jadi maksudnya rak paling tinggi. Atau mungkin rak mengenai astronomi. Well, boleh juga dicoba.

Dengan hati-hati, Hermione menggulung perkamen tua itu dan menyimpannya di dalam saku jubahnya. Ia masih mengenakan jubah kaftan putihnya yang kemarin, enggan berganti pakaian. Dengan jubah kaftan yang melapisi korset hitamnya ini, penampilan Hermione berubah anggun dan elegan. Membuatnya merasa bukan lagi kutu buku ketinggalan jaman.

Melangkah mantap dan penuh percaya diri, Hermione berjalan menuju ke perpustakaan Hogwarts.

Ooo000ooo

Severus duduk di depan perapian dengan segelas Wiski-Api di tangan kanannya. Diam merenung memandangi kobaran api yang menari-nari. Sesuatu yang tak pernah lagi ia lakukan semenjak Hermione hadir dalam kehidupannya sejak lima tahun terakhir. Dulu, tepatnya belasan tahun lalu saat ia masih seorang diri, memandangi perapian dan meresapi suara merdu kayu dimakan api adalah hal yang jamak dilakukannya. Meski hanya ditemani oleh satu botol Wiski-Api, Severus takkan merasa kesepian. Namun kini keadaannya berbeda. Seperti ada yang hilang dalam dirinya. Bahkan malam ini terasa lebih dingin ketimbang biasanya.

Jika ada yang bisa menghangatkan malam selain kobaran api di perapian, itu adalah Hermione. Wanita itu tak perlu bergelayut manja di sisinya atau berceloteh ngalor-ngidul untuk menunjukkan keberadaannya. Biasanya Hermione hanya duduk di kursi empuk berlengan yang ada di sebelah kanan Severus, diam dan berkonsentrasi penuh pada buku yang sedang dibacanya di pangkuannya. Sesekali wanita itu menghela nafas panjang, atau terkesiap lirih jika menemukan hal menarik dalam bukunya, yang kemudian akan memancing Severus untuk membuka obrolan ringan, dan berujung kepada diskusi informatif yang mampu membuat mereka berdua saling berargumen.

Severus memandangi kursi berlengan di sebelah kanannya yang kosong. Kini ia tahu apa penyebab malam ini menjadi lebih dingin ketimbang biasanya. Memang ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang penting dan selalu mampu menghangatkan tubuhnya luar-dalam lebih ampuh dari Wiski-Api. Hermione.

Perlahan Severus mengangkat gelas Wiski-Apinya dan menyesapnya sedikit. Seketika kerongkongannya panas, seolah baru saja menegak bara api. Namun beban di kepalanya tak juga berkurang.

Memikirkan apa yang terjadi di Aula Besar saat makan malam dua hari yang lalu memicu rasa sakit kepala yang lumayan, membuat Severus frustrasi. Apalagi setelah melontarkan tantangan beraninya ini, Hermione seolah menghilang dari peredaran. Ia tak lagi muncul di Aula Besar setiap jam makan, memasang mantra penolak gangguan yang sengaja disetel untuk menolak kehadiran siapapun termasuk Severus, memblokir perapiannya supaya tak bisa dihubungi lewat jaringan Floo, dan tak pernah mau menanggapi pesan via Patronus yang dikirim Severus.

Sampai akhirnya Severus menyerah. Baiklah, ia paham apa maksud kekasihnya itu. Hermione sedang tidak mau diganggu. Wanita berambut coklat itu sedang memusatkan semua konsentrasinya untuk berduel dengan Cara Mason. Setelah tahu siapa dan dari mana Cara Mason berasal, tentunya saat ini Hermione sedang melakukan riset tentang Arcelia. Atau mungkin malah sedang berlatih bertarung.

Severus menggelengkan kepalanya. Ia berusaha memaklumi kenapa Hermione tidak bersikap seperti seorang Slytherin dalam menghadapi provokasi Cara Mason. Hermione seharusnya cuek saja. Biarlah si pirang itu bertingkah seenak perutnya. Sudah tentu Hermione akan sakit hati, tapi setidaknya ia akan aman. Suatu saat tentu Cara akan bosan sendiri jika provokasinya dianggap angin lalu.

Tapi sayangnya Hermione bukanlah seorang Slytherin. Dia seorang Gryffindor. Singa betina. Provokasi Cara membangkitkan sesuatu dalam diri Hermione. Kenekatan dan keberanian untuk menegaskan kalau ia punya harga diri, begitulah para Gryffindor menyebutnya. Sementara itu para Slytherin akan menganggapnya sebagai kebodohan dan perbuatan kurang kerjaan.

Duel ini tak penting, batin Severus. Sama tak pentingnya dengan aku, geramnya.

Andai saja Hermione mau membuka matanya lebih lebar, tidak terbawa emosi, dan tidak memandang rendah kecantikan yang ia miliki, tentu wanita itu akan tahu kalau ia sudah memenangkan hati Severus tanpa perlu berduel. Tapi seorang Gryffindor sepertinya pasti tak mau berlalu begitu saja tanpa menunjukkan klaimnya kepada semua orang. Alih-alih berkonsultasi dengan Severus dulu, serta-merta Hermione melempar tantangan duel ke Cara.

Orang lain boleh berpikir Severus adalah bajingan beruntung yang diperebutkan oleh dua orang wanita cantik. Tapi yang dirasakan Severus justru berbanding terbalik. Ia sama sekali tidak merasa beruntung. Ia merasa marah dan terancam. Marah kepada Hermione dan terancam oleh Cara. Dengan menjadikan Severus sebagai objek pertaruhan, sudah pasti kini statusnya diputihkan. Pada detik ini, Severus bukan lagi kekasih siapa-siapa, setidaknya sampai duel ini mendapatkan pemenang.

Severus merasa seperti seonggok benda mati. Tak ada yang peduli dengan perasaannya. Semua orang. Siapapun. Termasuk juga Hermione yang sembrono menyodorkannya sebagai objek taruhan.

Tampaknya ada satu hal yang dilupakan oleh Hermione. Severus sangatlah sensitif terhadap perasaannya. Meski statusnya adalah kekasih Hermione, Severus masih memegang penuh kemerdekaannya. Dia bukan tipe pria yang dicocok-hidung oleh kekasihnya sendiri. Dia tidak gampang menuruti keinginan Hermione dan bergeming setiap kali mereka berselisih. Well, mungkin dia memang berubah sedikit melunak, tapi tetap saja. Severus adalah seorang kekasih, bukan budak. Dan yang dilakukan Hermione ini secara tidak langsung telah melukai harga dirinya.

Severus menegak isi gelasnya sampai habis, masih belum ingin berhenti merenung. Mungkin memang inilah resiko menjalin hubungan dengan seorang Gryffindor. Apa yang dianggap Gryffindor sebagai sesuatu yang berani dan terhormat, justru dikategorikan bodoh dan sembrono bagi Slytherin.

Slytherin lebih suka bermain aman, dan jika bisa, menyodok secara diam-diam. Sementara Gryffindor sepertinya gemar menyerang langsung dan terang-terangan diekspose publik. Severus tak pernah mempertanyakan kenapa ada lebih banyak orang dari asrama singa yang dianugerahi Orde of Merlin meski pahlawan dari asrama ular tak kalah banyaknya. Alasannya sudah jelas.

Tiba-tiba kobaran api di perapian berubah hijau jamrud. Severus seketika berdiri, mengharap orang yang akan muncul sebentar lagi ini adalah Hermione. Tapi alih-alih, justru wajah tampan dan culas Lucius Malfoy yang tampil.

“Selamat malam, Severus,” sapa Lucius santun.

“Malam, Lucius,” balas Severus pendek, memasang raut tanpa ekspresinya untuk menutupi kekecewaannya. “Apa yang membuatmu menghubungiku tengah malam begini?”

“Hanya kabar di halaman utama Daily Prophet yang kubaca pagi ini,” ujar Lucius, menyeringai kecil. “Boleh aku masuk ke bilikmu?”

Diam membisu, Severus memberi isyarat dengan lambaian tangannya, mempersilahkan kawan lamanya itu untuk keluar dari perapian. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Akhirnya, berita duel Hermione versus Cara tersebar ke seluruh Britania Raya. Bagaimana tidak? Ini adalah duel dengan peserta berjenis kelamin wanita yang pertama kali terjadi dalam lima abad terakhir yang pernah tercatat di Kementerian Sihir.

Sebagaimana duel sihir yang dilakukan untuk mengklaim seseorang sebagai pasangan, tentunya duel ini harus dilakukan secara resmi dan didaftarkan ke Kementerian Sihir. Dengan begitu, maka segala sesuatu yang terjadi di arena pertarungan nanti akan punya kekuatan hukum. Siapapun pemenangnya nanti akan punya kuasa mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Selain itu, Kementerian Sihir punya aturan khusus mengenai duel sihir untuk mencegah kecurangan dan jatuhnya korban jiwa. Bisa dipastikan duel resmi ini akan lebih aman dibanding duel liar yang tidak tercatat.

Lucius menerobos masuk melalui perapian dan mengibaskan jubahnya yang belepotan abu. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya dan berjabat tangan dengan Severus. Seringainya yang khas masih belum hilang dari wajahnya yang tampan dan pucat.

“Silahkan duduk, Lucius. Aku tak punya apapun kecuali Wiski-Api,” ucap Severus datar.

“Duduk di situ?” Salah satu alis Lucius terangkat, angkuh. “Dilihat dari posisinya yang sangat rapat dengan kursimu, sepertinya itu adalah kursi favorit seseorang, mate. Atau malah kursi milik orang favoritmu.”

Severus membalas keangkuhan Lucius dengan tatapan tajam. Perang sudah lama berakhir, namun gengsi Lucius Malfoy sebagai penyihir berdarah murni belum juga pudar. Pria berambut pirang platinum itu masih punya masalah dengan segala sesuatu yang berbau Muggle dan kelahiran Muggle. Mana mungkin ia sudi duduk di kursi yang biasa diduduki Hermione. Dipikirnya kursi itu adalah sarang najis menjijikkan.

“Duduklah di mana saja sesukamu kalau begitu, Lord Malfoy,” balas Severus dengan penekanan pada kata ‘Lord’. Lidahnya terasa asam saat mengucapnya. Sungguh ironis, mengingat dia sendiri juga menyandang gelar Lord. Lord Snape, berkat sebagian darah Prince yang mengalir dalam tubuhnya.

Lucius tersenyum kecil dan melepaskan salah satu sarung tangannya. Dengan gayanya yang anggun ala bangsawan sejati, ia merogoh saku jubahnya, mengeluarkan tongkat sihirnya, dan mengubah sarung tangan itu menjadi sebuah kursi dalam satu kali kibasan.

Severus mengerutkan dahinya melihat kursi hasil karya sahabatnya itu. Sebuah kursi kayu berlengan dengan sandaran yang tinggi, berwarna keemasan dan dihiasi ukiran-ukiran berbentuk ular. Orang awam akan menyangka kursi itu adalah sebuah singgasana. Tapi bagi Lucius Malfoy, seperti itulah kursi yang layak diduduki.

“Aku akan duduk di sini,” ucap Lucius sambil memposisikan dirinya senyaman mungkin di atas ‘singgasananya’. Kedua tangannya bertumpu di atas pangkal tongkatnya yang berbentuk kepala ular. Sepasang mata kelabu Lucius menatap tajam ke arah Severus, mencermatinya dari atas ke bawah. Seolah menanti reaksi sang tuan rumah.

Reaksi pertama yang sebenarnya ingin dilakukan Severus adalah menendang Lucius kembali ke perapian. Berani-beraninya dia bersikap seperti seorang raja di sini. Bilik pribadi Severus bukanlah daerah kekuasaan siapapun, kecuali Severus sendiri. Tapi mengingat hubungan baik yang sudah terjalin selama ini, Severus memilih untuk mengabaikannya. Toh dia sering dijamu secara mewah di Malfoy Manor.

Severus duduk kembali di kursinya yang berhadap-hadapan langsung dengan Lucius. Ia melambaikan tongkat sihirnya, memanggil gelas kosong dari dapur, sebelum kemudian membuat gelas itu terisi dengan sendirinya dan terbang ke hadapan Lucius. Pria berambut pirang itu menyambut gelasnya sambil menggumamkan terima kasih, tapi ia tak langsung meminumnya.

“Jadi,” ucap Severus kaku, memandang Lucius lekat-lekat dengan mata kelamnya. “Alasanmu datang kemari adalah…?”

Sudut bibir Lucius terangkat, menyeringai tipis. Kaum wanita yang melihatnya pasti akan menganggap seringai Lucius ini seksi, tapi sayangnya, Severus bukan wanita. Ia sama sekali tidak terpengaruh. Bagi Severus, seringai Lucius ini bisa berarti satu hal. Pria aristokrat itu sedang menyembunyikan sesuatu.

“Selalu langsung ke pokok masalah. Kau sama sekali tidak berubah, Severus,” kata Lucius, agak mencibir. “Aku membaca halaman utama Daily Prophet pagi ini dan mengkhawatirkan dirimu. Seperti yang sudah kuduga, kau tampak sedang bermasalah.”

“Terima kasih atas perhatianmu, Lucius. Aku yakin kau sangat peduli kepadaku sampai-sampai baru bisa datang berkunjung di tengah malam setelah mendapat kabar tentangku di pagi harinya. Respon yang sangat cepat untuk ukuran sahabat sejati,” sindir Severus.

Lucius mengangkat dagunya yang runcing, kedua matanya menyipit. “Sahabat sejati juga punya kesibukan, mate. Setidaknya aku masih bisa menyempatkan hadir di saat tak ada yang bersedia menemanimu merenungi nasib.”

Rahang Severus mengeras. Ucapan Lucius menonjoknya telak. Severus benci mengakuinya, tapi memang begitulah adanya. Hogwarts, meski dihuni oleh ratusan orang yang kini memusatkan perhatian mereka ke skandal cinta Severus-Hermione-Cara, tak ada seorang pun dari mereka yang satu pikiran dengan Severus. Tak ada satupun yang menganggap Severus sebagai obyek dari egosentris wanita.

Di kalangan staf pengajar, cuma Severus yang berasal dari Slytherin, dan ini mempengaruhi cara pandang mereka. Albus Dumbledore salut atas keberanian Hermione dan keteguhan hati Cara. Minerva, walau menganggap duel sihir adalah tradisi barbar, ia mengagumi kenekatan Hermione. Sementara itu, sebagian besar murid-murid mempertanyakan kenapa pria sesadis dan sejelek profesor Snape bisa diperebutkan dua orang guru wanita cantik. Lain halnya dengan murid-murid Slytherin yang semakin menaruh kagum dan hormat kepada kepala asrama, beranggapan kalau Severus menggunakan ramuan cinta paling ampuh atau guna-guna mujarab untuk membuat para wanita cantik mabuk kepayang. Well, beberapa di antara mereka bahkan berencana suatu saat nanti akan mencontoh tindakan licik kepala asramanya itu.

“Berhenti bersikap seperti seorang raja drama, Severus,” saran Lucius, setelah menyesap isi gelasnya. “Kau sudah tahu betul apa resiko berhubungan dengan Gryffindor. Para Gryffindor identik dengan yang namanya heroisme, mate. Mereka selalu hobi menyodorkan nyawa mereka sendiri setiap kali ada kesempatan, tanpa memikirkan cara lain yang lebih aman dan tidak menyolok perhatian.”

“Aku yakin kedatanganmu kemari tidak ada hubungannya dengan apa yang baru saja kau ucapkan itu, Lucius. Aku mengenalmu terlalu baik untuk bisa mengetahui jalan pikiranmu. Lucius Malfoy tidak pernah bersimpati. Bahkan terhadap sahabat baiknya sendiri, kalau itu pun bisa disebut sebagai ‘sahabat baik’,” cemooh Severus tajam.

Lucius menempelkan telapak tangannya di dadanya di bagian jantung, berpura-pura terlihat sakit hati mendengar ucapan Severus ini. “Aww, kau melukai hatiku, Severus.” Melihat aktingnya tidak mendapat tanggapan, ia pun menyerah. “Baiklah. Baik. Kurasa aku akan jujur saja.”

“Lucius Malfoy jujur? Morgana, dunia sudah jungkir-balik,” komentar Severus dengan nada bosan.

“Ini ada hubunganmu dengan statusmu, Severus,” tukas Lucius, tak terpengaruh dengan komentar sinis tadi. “Mengingat kau dijadikan obyek dalam duel lusa, statusmu sudah diputihkan, benar? Ini artinya kau bukan kekasih siapa-siapa, ya?”

“Dan, Merlin tolong beritahu aku, apa hubungannya ini denganmu?” tanya Severus tajam. Rongga dadanya terasa sesak. Kepalanya dipenuhi pemikiran-pemikiran buruk. Semoga diskusi ini tidak berujung ke Hermione. Ia menghormati Lucius Malfoy dan menganggap pria pirang itu sebagai sekutunya selama bertahun-tahun, akan sangat disayangkan jika hubungan baik mereka berakhir hanya gara-gara masalah wanita.

“Hubungannya denganku? Aku menaruh minat kepada salah satu di antara mereka, Severus,” jawab Lucius kalem. “Kepada si pirang dan molek itu. Cara Mason. Kau tahu aku suka tipe yang seperti itu. Pirang, bertubuh sintal, bermata indah, dan ganas. Aku ingin tahu seberapa ganas dia di ranjang.”

Berusaha menyamarkan perasaan leganya, Severus berujar, “Lucius, kau sudah beristri.”

“Maksudmu, Narcissa? Dia cuma istri trofi, mate. Istri untuk dipamerkan di acara-acara resmi,” balas Lucius, sinar di kedua matanya mendadak berubah dingin. “Sejak masih anak-anak, kami dijodohkan. Kami menikah tanpa cinta. Bahkan tujuan utama pernikahanku hanya untuk meyambung keturunan. Setelah melahirkan Draco, praktis Narcissa tak lagi menunaikan kewajibannya sebagai istri. Aku sampai lupa kapan terakhir kami tidur satu ranjang. Yang jelas sudah dua puluh tahun lebih.”

Severus mengangkat salah satu alisnya. Ya. Dia tahu betul pernikahan macam apa yang biasa dipraktekkan oleh kalangan bangsawan berdarah murni. Menikah tanpa cinta dengan ‘tujuan mulia’ mereka—menyelamatkan generasi penyihir berdarah murni dari kontaminasi Muggle. Bukan rahasia lagi kalau para suami-istri berdarah murni saling berselingkuh di belakang punggung pasangan masing-masing. Severus sendiri yakin Narcissa punya PIL yang bergantian menghangatkan ranjangnya. Lucius sendiri tidak lebih baik dari istrinya. Tak terhitung sudah berapa wanita panggilan kelas atas yang menemaninya menghabiskan malam. Satu-satunya alasan kenapa Lucius dan Narcissa tidak bercerai adalah karena perceraian tidak dikenal di dalam Hukum Perkawinan dunia sihir. Penyihir menikah untuk selamanya dan hanya dipisahkan oleh maut.

“Well, aku sudah bosan bermain-main dengan wanita panggilan, Severus. Meski hartaku berlimpah, ada sedikit pertentangan di hatiku mengetahui rasa sayang yang mereka tunjukkan kepadaku palsu. Mereka hanya sayang pada Galleonku. Atau nama besarku. Atau penampilan fisikku. Kurasa sudah saatnya bagiku untuk memilih pasangan tetap. Aku ingin mengambil selir.”

Setelah dua puluh tahun lebih menggauli pelacur, apa tidak terlalu terlambat jika baru sekarang ingin punya pasangan tetap? Batin Severus. Tapi ia tidak melontarkan pertanyaan kasar ini ke Lucius. Siapa tahu ia bisa memanfaatkan keadaan untuk keuntungannya.

“Menurutmu Cara Mason adalah wanita yang tepat untukmu, mate?” tanya Severus tak percaya.

“Aku tahu barang bagus begitu aku melihatnya, Severus,” balas Lucius, menyeringai tipis. “Melihat atribut yang dikenakannya, aku bisa langsung mengenali seorang prajurit Zion, dan aku menginginkan dia, mate. Cuma dia. Tak ada wanita lain. Dan semua orang tahu kalau Malfoy selalu mendapatkan apa yang ia inginkan.”

“Tak diragukan lagi,” ucap Severus, ikut tersenyum tipis. Ia ingat peran Lucius dalam misi menyusup ke Arcelia dulu. Sebagai kurir, Lucius tentu pernah beberapa kali meloloskan diri dari kejaran prajurit-prajurit Zion. Selain itu, Cara juga mantan anggota Eradicator yang sudah membunuh banyak Pelahap Maut. Severus yakin Lucius punya ikatan emosional tersendiri dengan wanita semacam ini.

“Sayangnya Cara Mason bukan wanita yang mudah didekati,” kata Severus, bermaksud memancing emosi Lucius. Fakta kalau Cara bisa tertarik kepada Severus dengan begitu mudahnya tentu akan membuat Lucius panas. Bagaimanapun juga Lucius selalu menganggap dirinya sebagai seorang pemikat wanita. “Tapi kurasa aku tahu beberapa hal yang bisa sedikit membantumu.”

Lucius memincingkan kedua matanya. “Katakan saja, Severus.”

Menyembunyikan seringai puasnya, Severus mengangguk pelan. Oh, ini akan jadi sangat brilian. Sepertinya ia sudah menemukan solusi untuk menjauhkan Cara darinya. Solusi yang semoga saja bisa membatalkan duet Hermione versus Cara yang akan diadakan dua hari ke depan.

Bersambung

Review, if you must

a/n : chapter ini tidak sepanjang yang saya targetkan, tapi sementara ini rasanya sudah cukup segini aja. Balik ke genre fantasy setelah beberapa chapter berkutat di genre romance melulu. Satu hal yang cukup mengusik saya adalah semua review di chapter 6 sepertinya menganggap tindakan Hermione adalah tindakan heroik. Di chapter ini saya pengen menunjukkan bagaimana perasaan Severus tentang ini.

The Dark Lady And The Bookworm : Chapter 6

Credit to Selinabln & severus_hermione

a/n : Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk mereview, memasang story alert, dan memfavoritkan cerita ini.
Terima kasih untuk ficfan91, phoenixeyes22, ambudaff, Oxenstierna-KHLR, Aralea FS, Aiwha Katsushika, Puccahalf dan semua yang sudah memberi saya masukan-masukan berharga dan tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Sekali lagi fanfic ini DARK. Banyak unsur kekerasan dan seksual di sini. Karena itulah, dianjurkan hanya pembaca berusia 17+ yang boleh membacanya.

Ooo000ooo

Chapter 6
Confrontation


Hermione tampak mondar-mandir di depan perapian. Sebagaimana yang sudah dijanjikan, sebentar lagi Ginny akan datang menjemputnya. Sore itu mereka akan berbelanja di Diagon Alley. Wanita berambut merah itu bahkan menyebutkan dalam suratnya kalau ia sudah membuat daftar barang saja yang harus mereka beli. Well, untuk hal semacam ini Ginny memang tak main-main, dan Hermione lega tidak salah pilih bala bantuan.

Meski begitu tak bisa disangkal, Hermione tetap merasa gugup. Mencemaskan penampilannya begitu selesai di-make over nanti. Ia tidak ingin terlihat terlalu berlebihan, dengan make-up yang menor dan pakaian ala nyonya besar. Dia juga tidak mau tampil terlalu terbuka, menonjolkan lekuk tubuh yang seharusnya hanya untuk konsumsi Severus seorang.

Orang yang harus ia kalahkan adalah Cara Mason, wanita yang mengkombinasikan kesan seksi dan berbahaya menjadi suatu daya tarik tersendiri. Cara tidak hanya cantik dan bertubuh indah, dia juga misterius. Dalam setiap gayanya berjalan, dia mampu menebar pesona sekaligus menumbuhkan rasa segan.

Karena itulah meski banyak murid laki-laki yang mengidolakannya, mereka tidak berani macam-macam kepada Cara. Otot-otot yang tersembunyi di balik pakaian kulit ketat Cara seolah menyembunyikan ancaman bagi siapapun yang hendak kurang ajar padanya. Hermione benci mengakuinya, tapi dia menaruh sedikit rasa hormat kepada lawannya itu, dan ini membuatnya semakin iri kepada Cara. Akan susah sekali menandingi penampilan wanita yang satu itu

Ia ingin sekali berhenti membandingkan diri dengan Cara, tapi sulit. Bahkan setelah melihat sendiri bagaimana Severus mencampakkan Cara tanpa pikir panjang di Kamar Kebutuhan, Hermione masih saja merasa minder. Oh, dia percaya kepada kekasihnya itu, tentu. Kesetiaan Severus sudah tak perlu diragukan lagi. Yang tidak dipercayai Hermione adalah Cara Mason. Si blonde itu tidak mungkin mundur begitu saja dan pasti akan terus mengejar Severus.

Mengingat ciuman nekat yang diberikan Cara ke bibir Severus membuat Hermione gemas sendiri. Hatinya panas, seolah ingin meledak. Kemarahan dan kecemburuannya belum tuntas, walau sudah ia lampiaskan dalam bentuk bercinta berkali-kali dengan Severus pagi tadi. Woman on top. Liar dan tanpa ampun. Nyaris seperti kesetanan. Severus sampai jatuh kelelahan begitu Hermione selesai menungganginya.

Tapi Hermione tak peduli. Ia harus menegaskan kepada pria itu siapa wanita yang memiliki hatinya saat ini. Bukan Cara, tapi dia. Hermione Jean Granger. Satu-satunya. Dan Hermione sudah menyampaikan pesan itu dengan jelas kepada Severus lewat bahasa tubuhnya.

Pagi tadi sebelum mereka berpisah, Hermione masih menunjukkan kecemasan di wajahnya. Ia tidak mau melepas Severus. Bagaimana kalau dia bertemu Cara? Atau lebih parahnya, bagaimana kalau Cara memburunya? Di kastil seluas Hogwarts, apapun bisa terjadi. Banyak ruangan tersembunyi yang nyaris tak terjamah. Bagaimana kalau Cara berhasil memojokkan Severus dan terjadi hal yang tidak diinginkan.

Waktu itu Severus hanya memutar bola matanya, berkata kalau dia sudah cukup dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Kekhawatiran Hermione ini tak ada gunanya, karena ia bukan tipe pria yang seketika berpaling kepada wanita lain dalam hitungan detik. Severus meyakinkan Hermione lewat cumbuan panasnya. Saking panas dan asyiknya, mereka berdua sampai-sampai lupa waktu. Tak sadar kalau sudah bercumbu selama nyaris setengah jam dan terlambat mengajar di kelas masing-masing.

Hermione tersenyum kecil mengingat kenangan manis yang terjadi beberapa jam yang lalu itu. Dia punya kekasih yang luar biasa dan seharusnya ia tak perlu merasa takut akan kehilangan Severus. Jika ia takut dan terancam, maka ini sama saja membiarkan Cara menang mutlak. Hmm, mau bagaimana lagi. Sifat posesif ini memang susah hilang. Semakin Hermione memikirkannya, semakin ia paranoid.

Melirik arlojinya, Hermione mendesah. Ginny terlambat datang. Janjinya dia akan datang pukul empat sore dan sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul empat lebih lima menit. Hermione adalah orang yang sangat menghargai waktu. Ia paling benci dengan orang yang teledor dan tidak tepat waktu. Terlambat satu menit baginya sama artinya membuat dosa. Apalagi sampai terlambat lima menit begini. Keterlaluan!

Capek mondar-mandir, Hermione berusaha menenangkan diri. Dalam keadaan banyak pikiran dan kacau seperti ini sedikit anggur bisa menentramkannya. Maka itulah yang dilakukan Hermione. Ia membuka lemari tempatnya menyimpan wine dan memilih apa yang kira-kira cocok diminum saat ini. Chateu Lafite? Tidak. Mouton Rothschild? Hmm.. lain kali saja. Jemarinya berhenti saat menyentuh botol Romanee Conti.

Romanee Conti adalah salah satu dari anggur merah terbaik di dunia. Berasal dari perkebunan anggur paling tradisional di Cote de Nuits di Burgundy, Prancis dan diproduksi secara terbatas dengan kuantitas kecil walau permintaannya sangat besar. Inilah kenapa wine ini sangat mahal.

Bukan itu saja yang membuat Hermione sangat menyukainya. Romanee Conti adalah wine yang ia minum bersama Severus saat merayakan hari jadi mereka empat tahun lalu. Hari jadi mereka yang pertama, tepatnya. Sangat berkesan dan tak terlupakan.

Itu adalah malam di mana Hermione menyerahkan mahkotanya kepada Severus. Malam di mana Severus membuat Hermione menjadi wanita seutuhnya. Wanita yang tak hanya punya daya tarik luar, tapi juga daya tarik dari dalam, yang terpancar seusai Severus berhasil menggalinya dalam satu ronde.

Hermione tak tahu apa itu bercinta sebelum Severus mengenalkannya. Severuslah yang mengajarinya bermain asmara. Membangunkan gairah yang berkobar di tubuh Hermione lewat setiap sentuhan jemarinya. Ialah yang membuka suatu dimensi baru setelah mempersatukan tubuh mereka dalam sebuah orkestra dengan mereka sebagai musisinya. Pria yang mampu mengisi raga Hermione yang dulunya kosong dengan keindahan yang tak bisa dilukiskan.

Setelah itu, mereka minum Romanee Conti untuk menandai kebersamaan berharga mereka di setiap tahun, dan Hermione tidak bisa mengharapkan hari jadi yang lebih istimewa lagi tanpa wine ini.

Menahan pedih yang tiba-tiba hinggap di hatinya, Hermione membuka sumbat botol itu dan menuangkannya ke gelas. Ia sengaja mengisi gelasnya hingga separuhnya saja agar tidak mabuk. Toh ia hanya ingin minum supaya pikirannya lebih rileks. Manis, harum, dan hangat. Ketiga kombinasi yang seketika menjalar mulai dari lidah hingga ke rongga perut Hermione begitu ia meneguknya.

“Hermione? Hermione, apa aku boleh masuk?” Suara Ginny terdengar dari dalam perapian.

“Tentu, Ginny, Aku sudah menunggumu sejak tadi!”

Hermione meletakkan gelasnya dengan hentakan keras, tak sabaran. Wanita berambut coklat itu pun merogoh saku jubahnya untuk meraih tongkatnya. Ia merapal mantra yang cukup panjang dengan lambaian tongkat rumit sebelum akhirnya Ginny bisa masuk ke bilik pribadinya.

“Apa-apaan tadi? Mantra penolak gangguan yang belum pernah kudengar,” komentar Ginny, keningnya berkerut. “Tunggu dulu. Seingatku malah dulunya kau tak pernah memasangi perapian dengan mantra penolak gangguan deh. Siapapun yang hendak masuk ke bilikmu lewat jaringan floo pasti akan kesusahan.”

“Memang itu tujuan Severus. Dia err… agak protektif sejak pagi ini,” ujar Hermione sembari memasang kembali mantra penolak gangguan di perapiannya. “Yang satu ini adalah yang paling kuat. Sangat menguras tenaga untuk memasangnya.”

“Wow. Keren.” Ginny tampak tak percaya. “Profesor Snape perhatian sekali kepadamu.”

Hermione hanya tersenyum kecil. Usai merapal mantra penolak gangguan, ia merasa sangat lelah. Kedua kakinya yang lemas memaksanya duduk lagi di sofa. Kekuatannya akan pulih sekitar satu jam lagi.

“Dia bisa jadi sangat overprotektif secara diam-diam. Kebiasaan buruknya sih. Kadang aku sampai merasa dia masih menganggapku anak-anak.” Lewat isyarat tangannya, Hermione mengajak Ginny bergabung dengannya di sofa. “Kau mau wine, Gin?”

“Masih terlalu sore untuk minum, Mione,” ujar Ginny, mengerutkan dahi. Kedua matanya mencermati Hermione dari atas ke bawah. Setelah duduk nyaman di samping kawannya itu, ia berkomentar, “Hm, kau terlihat sedang err.. kacau.”

“Yeah.” Hermione tersenyum kecut, meraih gelas winenya lagi. “Semalam aku dan Severus bertengkar hebat gara-gara wanita ini. Kami nyaris putus.”

“Oh, astaga!” Ginny membekap mulutnya sendiri. Tercengang. “Sampai separah itu?”

“Ya. Sampai separah itu. Wanita ini terang-terangan ingin memiliki Severus dan dia tak ragu menunjukkan niatnya kepadaku. Sepertinya dia ingin berkonfrontasi langsung denganku. Nekat sekali.” Hermione mencengkram erat gelas winenya. “Severus memang menolak wanita ini mentah-mentah. Tapi aku tak bisa berhenti khawatir, Ginny. Sudah terlalu lama aku bersabar setiap kali dia merendahkan aku.”

Dengan sisa-sisa tenaganya, Hermione bangkit dari sofa dan kembali mondar-mandir di depan perapian. Ginny hanya menatapnya dengan sorot ingin tahu.

“Saat ini yang ingin kulakukan adalah keluar mencari wanita itu, lalu menghajarnya karena berani menggoda Severusku! Dia menyebutku gundik dan lemah! Lemah? Akan kutunjukkan seperti apa lemah itu!” Terdorong oleh emosinya, Hermione melemparkan gelas winenya ke dalam perapian, membuat kobarannya semakin membesar.

Sontak Ginny memekik pelan begitu melihat luapan kemarahan Hermione ini. Terdengar suara gelas pecah berkeping-keping diikuti suara api mendesis sebelum kemudian suasana menjadi hening. Wow. Hermione selalu menakutkan jika sedang marah, pikir Ginny keder.

“Kumohon sabar dulu, Mione. Kalaupun kau mau mengamuk dan menghajar seseorang, jangan sampai salah sasaran. Aku… bukan aku loh yang berdosa di sini..” saran Ginny, takut-takut.

“Kau benar, Gin.” Sembari menarik nafas panjang berkali-kali, Hermione tercenung menatap kobaran api di perapian. “Maafkan aku. Berbeda dengan Severus, aku tak bisa menahan emosiku. Aku memang ekspresif.” Untuk sesaat tampaknya Hermione sudah mulai tenang, namun detik berikutnya Ginny sempat menangkap ekspresi aneh di mata sahabatnya itu.

Mata dibalas mata. Penghinaan dibalas penghinaan. Merendahkan dibalas dengan merendahkan. Hermione sudah menemukan cara untuk membalas perlakuan Cara terhadapnya. Severus tidak akan menyukainya sih. Tapi tetap saja. Ini urusan antar wanita. Pria jauh-jauh deh.

“Hermione. Sebenarnya apa sih yang sedang kau pikirkan? Kau membuatku cemas nih.”

“Tidak ada. Hanya sesuatu yang lebih ampuh dari sekawanan burung kenari untuk melawan wanita jalang,” ujar Hermione, ekspresinya sudah agak riang. “Ayo kita berangkat sekarang, Gin! Aku sudah tak sabar ingin membeli baju baru, parfum, kosmetik, dan ke salon!”

Ginny menyipitkan kedua matanya, curiga. Kalau saja ia tak kenal Hermione, mungkin ia mengira sahabatnya itu sedang merencanakan sesuatu yang lebih heboh alih-alih sekedar make-over. Namun cepat-cepat ia menyingkirkan kecurigaannya dan beranjak dari sofa. “Oke. Setelah itu jangan lupa traktir aku es krim ya!”

Ooo000ooo

Selama seharian ini mood Severus naik-turun. Pagi tadi, tepatnya setelah rujuk dengan Hermione, moodnya baik. Cerah sekali seperti matahari di musim panas. Ia bahkan hanya memotong dua puluh poin dari murid Gryffindor yang kedapatan sedang menempelkan permen karet di balik pintu kelas Ramuan.

Menjelang siang, moodnya makin buruk. Apalagi ketika makan siang di Aula Besar dan mendapati Hermione tak datang menyusulnya. Kursi di sebelah Severus tetap kosong melompong sampai jam makan siang berakhir. Ekspresi Cara Mason belum pernah terlihat sepuas ini. Dia pasti mengira Severus dan Hermione putus. Inilah yang membuat mood Severus makin parah dan melampiaskannya ke murid-murid Gryffindor yang malang. Tak sengaja bernafas terlalu keras di kelas ramuan saja bisa membuat mereka kehilangan lima puluh poin.

“Severus.”

“Albus.” Severus menganggukkan kepala hormat. Karena larut dalam lamunannya, ia sampai tak sadar Kepala Sekolah sedang berdiri di depan mejanya. “Ada yang kubantu?”

“Tidak. Lebih tepatnya, aku yang harus bertanya. Ada yang bisa kubantu, Severus?”

Untuk beberapa saat Severus terdiam, mencermati mentornya ini. Ekspresi Dumbledore serius. Kedua mata birunya yang biasanya mengerling usil tiap kali punya ide nyeleneh kini tampak fokus. Dalam keadaan normal, Severus akan merasa terganggu ketika Dumbledore mencampuri urusannya. Namun kali ini tidak. Bagaimana pun ikatan batin di antara mereka bukan lagi antara mentor dan anak didik, melainkan sudah seperti ayah dan anak. Albus Dumbledore seolah tahu kapan Severus sedang bermasalah, dan berusaha hadir untuk membantunya.

“Duduklah Albus.” Severus mengayunkan tongkatnya, mengubah kursi kayu di seberang mejanya menjadi kursi empuk berlengan. “Mau minum?”

“Meski rasanya masih terlalu sore untuk minum anggur, kurasa boleh juga,” ujar Dumbledore setelah duduk nyaman di kursinya. “Hm, Romanee Conti? Selera yang bagus, Severus. Salah satu wine termahal di dunia Muggle, benar?”

“Untuk alasan sentimental, aku ingin meminumnya sore ini.” Severus menuangkan isi botol winenya ke gelas kosong, mengisi sampai setengah gelas, sebelum menyodorkannya ke Dumbledore. “Biasanya aku hanya minum Romanee Conti sekali dalam setahun. Untuk merayakan peristiwa tertentu.” Severus sengaja tidak menyebutkan kalau wine istimewa ini adalah minuman wajib pada ulang tahun hari jadiannya dengan Hermione. Dia ingin tetap punya privasi.

“Anggur yang lezat,” komentar Dumbledore setelah mencicipinya sedikit. “Dan bukan suatu kebetulan kalau Professor Granger juga memikirkan hal yang sama di saat yang hampir bertepatan.”

“Apa maksudmu?” Kening Severus berkerut. Salah satu alisnya terangkat.

Dumbledore menghirup aroma harum dan manis yang menguar dari gelas winenya sebelum menjawab. “Aku mencium wangi yang sama ketika Professor Granger berpamitan sore ini. Kelihatannya ia hendak berbelanja bersama Miss Weasley di Diagon Alley, dan sebelum mereka berangkat, kukira Professor Granger juga meminum Romanee Conti, sama sepertimu.” Kedua mata Dumbledore kini mengerling jahil. “Menurutku yang bisa satu pikiran dan satu hati begitu hanya soulmate.”

Sudut bibir Severus berkedut. Nyaris membentuk seulas senyum. Informasi ringan dari Dumbledore ini sedikit mencerahkan suasana hatinya yang tadi mendung. Sebelumnya Severus sempat mengira Hermione masih marah padanya dan ingin menjaga jarak dulu usai mereka bertengkar. Tapi rupanya wanita berambut lebat itu sedang pergi berbelanja. Baguslah. Berarti prasangka buruknya ini salah.

“Dasar mak comblang,” gerutu Severus, menyembunyikan rasa gembiranya dalam-dalam.

Dumbledore hanya terkekeh pelan. “Aku tak suka melihatmu murung dan menyendiri sambil berpikiran buruk tentang kekasihmu sendiri, Severus. Jujur, sebaiknya malah kau yang harus mengantar Hermione berbelanja. Bukannya Miss Weasley.”

“Kalau Hermione tidak mengajakku, itu artinya dia sedang merencanakan sebuah kejutan, Albus,” balas Severus datar. Ah, tentu saja. Siapa tahu Hermione punya kejutan menyenangkan untuknya. Mungkin selembar lingerie baru? Severus selalu suka merobeknya dari tubuh indah Hermione. Itu tak pernah gagal membuatnya terangsang.

“Mungkin.” Lagi-lagi mata Dumbledore mengerling, seolah tahu pikiran nakal yang baru saja terlintas di kepala Severus. Kontan Severus menatapnya sebal. “Atau mungkin… kejutan itu bukan hanya untukmu, Severus.”

“Sekali lagi. Apa maksudmu?” Mata Severus menyipit. Ia meletakkan gelas winenya dan menatap pria berjanggut putih itu tajam-tajam.

“Aku tahu Hermione tak merasa nyaman dengan kehadiran Professor Mason di sini, dan tampaknya Professor Mason sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah sekali. Hmm, ada yang ingin kau sampaikan padaku, mungkin? Tentang objek yang menyebabkan kedua wanita cantik ini bentrok?”

“Kalau sudah tahu, jangan pura-pura tak tahu, Albus,” geram Severus. “Aku yakin kau sudah punya jawabannya. Aku juga yakin kau pun tahu siapa jati diri Cara Mason.”

“Seperti yang kau bilang, Severus, aku tak perlu menjawab sesuatu yang jawabannya sudah kau ketahui,” ujar Dumbledore bijak. Ia meletakkan gelas winenya, kemudian memilin jenggot putihnya.

“Meski begitu kau tetap menerima wanita itu mengajar di sini?” Severus tak bisa menyembunyikan nada menuduh dalam ucapanya.

Dumbledore tidak langsung menjawab. Alih-alih, dia mencabut tongkatnya dari dalam saku jubahnya dan memantrai pintu kantor Severus dengan mantra kedap suara. Diskusi ini tidak boleh sampai didengar orang lain.

“Ya.” Dumbledore mengangkat telapak tangannya saat melihat Severus hendak protes. “Aku melakukannya karena aku punya alasanku sendiri, anakku. Dan percayalah Cara Mason bukanlah seperti apa yang kita kira. Dia bukan orang jahat. Tidak lagi. Yang sudah terjadi, terjadilah.”

“Dia pembunuh, Albus. Tukang jagal. Baik di Arcelia maupun di Inggris, dia masih suka mencabut nyawa.”

“Aku tidak akan menyangkalnya, Severus. Tapi dalam menilai seseorang, kau juga harus melihat prinsip sebab dan akibat. Apa yang menyebabkan Cara Mason menjadi seperti itu. Prajurit Zion bukan sebuah pilihan, Severus. Itu adalah sebuah paksaan, dan dia sudah melalui banyak sekali penderitaan sebelum kemanusiaannya dihancurkan. Cinta seolah sudah terhapus dari kamusnya. Tapi keajaiban terjadi dan dia menemukan sesuatu yang membuatnya kembali menjadi manusia lagi, walau tidak seutuhnya. Ketika ia menjadi anggota Eradicator, ia mulai menunjukkan welas asih dengan hanya membunuh Pelahap Maut yang betul-betul terbukti bersalah dan melawan saat hendak ditangkap. Sebagai Eradicator, reputasi Cara termasuk yang paling bersih.”

“Berhenti main teka-teki, Albus! Aku ingin kau memberitahuku apa sebenarnya yang kau bicarakan ini!”

Dumbledore menghadapi kemarahan Severus dengan sangat tenang. Ia mengambil gelas winenya lagi, menyesap isinya, lalu memejamkan mata sambil mencecap rasa manis anggur yang tertinggal di lidahnya selama beberapa saat, sebelum menjawab, “Semua ada waktunya. Aku takut aku tak bisa memberitahumu sekarang, Severus.”

Severus mengumpat pelan, menggemeretakkan gigi-giginya saking kesalnya. “Kalau begitu, bagaimana kau bisa tahu dia ini ‘orang baik’?”

“Aku menggunakan metode yang sama seperti saat aku menerimamu dulu, Severus. Dengan Legilimency.” jelas Dumbledore perlahan. Severus terdiam. Rahangnya mengeras. Dia tidak suka dibandingkan dengan Cara. “Dan kalau kau masih belum percaya, Fawkes sudah menguji Cara. Menurut Fawkes, Cara sudah tidak seganas dulu. Dia sudah berubah. Kurang lebih.”

“Apa kau juga menyuruh wanita itu memakai Topi Seleksi sekalian?” ucap Severus sarkas, sembari meneguk winenya.

“Oh ya. Tentu saja,” balas Dumbledore serius, membuat Severus tersedak dan batuk-batuk karena kaget. “Ternyata dia seorang Slytherin sejati. Sepertimu.”

Dumbledore memperbaiki letak kacamata bulan-separuhnya sebelum melanjutkan, “Aku juga tidak suka membandingkan Cara Mason denganmu, Severus. Karena kalian berbeda. Tapi jika ini bisa membuka pikiranmu, anakku, maka akan kulakukan.

“Cara tidak menjadi prajurit Zion dengan kesadarannya sendiri. Di umurnya yang baru sepuluh tahun dia diculik dan dipaksa menjalani seleksi keji untuk menjadi seorang penjagal tanpa hati nurani. Dia melakukan pembunuhan perdananya sewaktu berusia sepuluh tahun dan korbannya adalah ayahnya sendiri. Itupun di bawah ancaman kalau dialah yang akan dibunuh seandainya tidak lulus seleksi. Sedangkan kau, Severus Snape, kita tahu sendiri seperti apa. Jika kau saja bisa berubah dan aku mau memberi kesempatan untuk mempercayaimu, kenapa Cara tidak boleh?”

Rongga dada Severus bergolak. Dia benci membenarkan fakta yang disodorkan Dumbledore. Severus menjadi Pelahap Maut saat usianya sudah akil baliq dan itupun atas kemauannya sendiri tanpa ancaman pembunuhan. Cara tidak seberuntung itu.

“Apa yang membuat Cara berubah, Dumbledore? Apa?” tanya Severus dengan suara tercekat.

Kepalanya dipenuhi kilasan-kilasan mengerikan. Kenangan saat ia masih menjadi Pelahap Maut. Pembunuhan, pemerkosaan, pembantaian massal, dan banyak lagi horor di mana ia terlibat di dalamnya sebagai sang pelaku. Banyak kejahatan yang ia lakukan demi mengklaim kekuasaan dan kekuatan atas nama Pangeran Kegelapan. Titik balik Severus adalah saat satu-satunya cinta dalam hidupnya tewas di tangan Lord Voldemort. Andai saja Lily tidak terbunuh, bisa jadi Severus akan tetap berkubang di lembah hitam. Bahkan mungkin hidupnya akan semakin pahit dan kelam.

Bisa dibilang sejujurnya masa lalu Severus tak lebih baik dari Cara. Namun dengan pengorbanan yang sudah ia lalui selama puluhan tahun mengabdi menjadi mata-mata, disiksa habis-habisan secara mental dan fisik sampai nyaris mati berkali-kali oleh Voldemort, ditambah dengan menerima semua kebencian dan kecurigaan dari orang-orang di sekelilingnya, serta dikucilkan dari pergaulan di mana pun kakinya berpijak, Severus merasa kejahatan masa lalunya telah tertebus.

Lalu bagaimana dengan Cara? Apa yang membuat wanita itu menebus kejahatannya? Apa yang membuat wanita sekejam itu bisa kembali manusiawi?

“Seperti yang kubilang tadi, Severus. Semua jawaban akan datang pada waktunya. Saat ini yang bisa kukatakan adalah cinta itu bisa mengubah segalanya. Bahkan hal yang paling mustahil sekalipun. Cinta adalah kekuatan yang lebih dahsyat daripada sihir manapun.”

Severus menyipitkan kedua matanya, menahan geram. Untung saja tidak pemukul Bludger di dekat sini. Kalau ada, bisa jadi dia sudah menempeleng Albus karena memberi jawaban berbelit-belit.

“Dan karena itulah, kau tak perlu takut mengungkapkan perasaanmu kepada Professor Granger.”

“Aku… Setelah apa yang kulalui selama menjadi Pelahap Maut, aku tak yakin aku masih punya perasaan itu, Albus. Dan lagi, apa yang kurasakan tidak penting. Yang terpenting adalah Hermione. Asalkan dia senang dan masih bersedia berhubungan denganku, bagiku sudah cukup. Tidak usah membalas perasaanku tidak apa-apa, asal dia tidak pergi meninggalkanku. Seperti… Seperti Lily…” Severus mengucapkan ini dengan penuh perjuangan. Ia tidak suka terlihat lemah, dan fakta kalau ia lemah karena cintanya yang dalam kepada Hermione membuatnya tidak nyaman.

“Aku tidak setuju denganmu, Severus. Bagiku, cinta bukanlah kelemahan. Cinta adalah kekuatan. Kau bisa bertahan sejauh ini karena cinta. Cinta membuatmu ingin melindungi orang yang kau sayangi dengan segala daya upaya. Cinta bisa membuat orang melakukan hal-hal yang tidak terduga. Cinta bisa membuat orang tegar karena ikatan emosi yang mereka bagi dengan kekasih mereka. Jangan remehkan kekuatan cinta, anakku.” Dumbledore menatap Severus dengan mata birunya yang bening. “Lagipula, cinta macam apa itu, jika hari ini cinta dan besok tidak? Kau harus berhenti berpikir Hermione akan meninggalkanmu suatu hari nanti.”

“Entahlah, Albus. Kadang aku merasa apa yang kualami bersama Hermione adalah mimpi. Mimpi yang seharusnya terlarang bagiku. Dia berhak mendapat pria yang lebih dariku. Yang lebih tampan, lebih muda, dan tidak punya masa lalu sekelam masa laluku. Seandainya, Hermione meninggalkan aku demi pria yang lebih baik, kupikir aku tidak boleh sakit hati. Asalkan dia bahagia, a—aku harus ikut bahagia.”

Severus tahu nada bicaranya terdengar pahit dan menyedihkan. Ditambah lagi, ia tak sepenuhnya jujur. Tidak mungkin ia akan begitu saja melepaskan Hermione demi pria lain, meski pria itu lebih baik darinya berkali-kali lipat. Mustahil Severus tidak akan sakit hati seandainya Hermione meninggalkannya. Justru sebaliknya, hidupnya akan terasa gelap gulita. Tak pernah sama lagi tanpa kehadiran kekasihnya itu.

Severus menunduk, wajahnya muram. Ucapan Cara di Kamar Kebutuhan masih terngiang di telinganya. Semua kalimat-kalimat tajam yang dilontarkan wanita itu persis sama seperti apa yang diam-diam ditakutkan Severus selama ini. Tentang Hermione akan meninggalkannya suatu hari nanti, tentang kenapa Hermione belum ingin menikah dengannya, dan tentang masa lalunya sebagai Pelahap Maut yang memalukan. Tak bisa dipungkiri, semua ini membuatnya gundah dan gelisah.

“Jangan biarkan apa yang diyakini orang lain tentangmu sampai mempengaruhimu, anakku. Di luar sana, banyak sekali orang yang mengawasi kalian sembari menunggu kapan Hermione akan menyadari ia sudah membuat kesalahan besar karena mau menjadi kekasihmu. Tapi itu orang lain, bukan kalian. Orang lain tidak mengalami apa yang kalian berdua alami. Mereka boleh saja berprasangka macam-macam, meski kenyataan berkata lain. Yang terpenting adalah kebahagiaan kalian sendiri. Asal kalian berdua bahagia, orang lain mau berkata apa, silahkan saja.”

Albus Dumbledore menggeleng melihat ekspresi Severus yang masih belum yakin. “Severus, aku mengenal kau dan Miss Granger sejak kalian masih berusia sebelas tahun. Aku tahu betul seperti apa karakter kalian. Kalian sama-sama keras kepala. Sama-sama takut terluka. Kau takut terluka mengakui kau mencintai Miss Granger. Kau takut membiarkan cintamu terlalu dalam dan hatimu akan hancur lebur andai suatu hari kalian berpisah, entah karena maut atau karena pria lain yang kau pikir lebih baik darimu. Di sisi lain, Miss Granger juga takut kehilanganmu. Dia takut kau berpikiran sama tentang hal ini. Dia takut suatu hari nanti kau akan sadar kalau kau bukan pria yang pantas baginya, lalu pergi meninggalkannya demi sesuatu yang dinamakan ‘kebaikan bersama’.”

“Ini salah, Severus. Salah dan tidak adil. Cinta tidak seharusnya dibayangi rasa takut begini. Jika kalian bisa melihat jauh lebih dalam lagi, jauh melewati ketakutan kalian, kupikir kalian pasti mampu mengetahui seberapa besar kekuatan cinta kalian. Karena bagaimanapun juga, batin kalian terhubung. Kalian adalah suatu kesatuan. Kalian saling memiliki satu sama lain. Jangan biarkan orang lain merusak keindahan yang kalian miliki ini, anakku.”

“Saat ini, yang sebaiknya kau lakukan adalah mempercayai kekasihmu. Sama seperti aku percaya kalau Romanee Conti ini punya arti lebih ketimbang sekedar wine bagi kalian berdua. Benar?” Dumbledore mengangkat gelasnya yang masih terisi seperempatnya, mengajak Severus bersulang.

Sambil menyuguhkan senyum tipisnya yang langka, Severus pun ikut mengangkat gelas winenya. Ucapan mentornya ikut meresap ke dalam hatinya, menentramkannya, bersama setiap tetes Romanee Conti yang mengalir di kerongkongannya.

Ooo000ooo

Malam ini Aula Besar terlihat membosankan bagi Cara. Tak ada Snape, objek curi-curi pandangnya, dan tak ada Granger, objek untuk diintimidasi. Entah apa yang terjadi dengan kedua sejoli itu, Cara tidak tahu. Semoga saja dugaannya benar. Mereka sudah berpisah karena masing-masing menyadari mereka tidak pantas berhubungan. Andaikan memang benar, maka tinggal tunggu waktu yang tepat untuk mendekati Snape. Cara akan lebih leluasa menggaet pria berpenampilan hitam-hitam itu tanpa kehadiran si wanita rambut semak di dekatnya.

Menghela nafas, Cara mulai menyendok selada buahnya. Ia sedang tak nafsu makan, dan semakin tak nafsu makan saja saat melihat lirikan-lirikan nakal dari beberapa murid laki-laki kelas tujuh. Satu di antaranya bahkan berani-berani mengerling kepadanya. Cara mengangkat salah satu alisnya dan menyuguhkan seulas seringai yang seharusnya cukup sangar karena mampu membuat murid itu gemetar ketakutan. Lihat saja besok di kelas, batin Cara, puas dengan reaksi ini.

Dalam hal menakuti murid-murid, bisa dibilang Cara belajar banyak dari Snape. Pria itu adalah enigma. Aneh, tapi menarik. Tatapan matanya yang tajam lebih komunikatif ketimbang bibirnya yang seksi. Snape tak butuh membuka mulut saat ia ingin menggertak. Ia hanya melotot dan sasarannya sudah ciut nyali dengan sendirinya. Wow. Cara kagum dibuatnya. Tak terbayang seperti apa rasanya jika mata hitam itu menatapnya dengan gairah, alih-alih marah. Untuk yang satu itu sepertinya Cara masih harus bekerja keras.

Pintu masuk untuk staf terbuka dan Snape muncul seorang diri. Terang-terangan, Cara mencermati Severus dari atas ke bawah, tak peduli raut mendung di wajah pria itu. Ketika mereka saling pandang, Cara sengaja merekahkan bibirnya, seolah menawari Snape untuk melumatnya. Ekspresi Snape berubah tak terbaca, meski kedua matanya berkilat-kilat murka. Diam-diam Cara tertawa dalam hati. Well, ini dia. Satu-satunya hiburan terasyik yang ada di Hogwarts—membuat Snape kesal.

Snape tampak makin uring-uringan begitu mendapati kursi favorit si Granger kosong dan wanita itu tak tampak batang hidungnya di Aula Besar. Cara merasakan ada luapan emosi yang menderanya. Takut dan putus asa. Berita bagus, pikir Cara. Berarti memang benar mereka sudah berpisah. Snape dan Granger sudah bukan pasangan kekasih lagi.

Seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Cara, Snape menoleh ke arahnya. Pria itu tak mengatakan apapun, namun kobaran api di matanya cukup menakutkan. Dari matanya saja Cara sudah bisa menafsirkan kalau Snape ingin mengulitinya hidup-hidup. Cara ingat Snape adalah seorang Legilimens. Karena itulah, alih-alih memutus kontak mata, Cara justru menciptakan imajinasi panas di kepalanya. Hal-hal nakal apa saja yang ingin dilakukannya kepada Snape ketika mereka hanya berduaan dan tanpa busana. Ia ingin Snape melihatnya.

Sontak Snape berjengit. Gusar bukan main. Bibir tipisnya melontarkan umpatan keras yang membuat McGonagall sampai menegurnya. Dumbledore hanya geleng-geleng kepala. Ketika pria berjanggut putih itu bertatapan mata dengan Cara, sekali lagi ia menggeleng. Ekspresinya prihatin. Tetapi Cara tidak merasa bersalah. Kenapa tidak? Ini tidak seperti ia sedang menggauli Snape di muka umum, kan? Salah sendiri ia bisa membaca pikiran.

Pintu Aula Besar terbuka lebar diiringi suara-suara bernada kaget. Cara memutar bola matanya. Ada apa lagi sih? Detik berikutnya ia tertegun. Di ambang pintu Aula Besar berdiri Hermione Granger. Bukan. Tidak mungkin wanita yang ada di sana itu Hermione Granger. Si Granger itu berambut keriting lebat seperti semak belukar di padang Sabana. Bukannya keriting bergelombang besar-besar dan terurai hingga sepinggang seperti air terjun berwarna coklat keemasan begini. Dengan gaya berjalannya yang anggun tapi mantap, rambut keriting itu berayun-ayun berirama. Membuat mata siapapun takjub.

Bukan hanya dari rambutnya saja yang menarik perhatian. Pakaian Granger juga membuat Cara sampai menggigit lidahnya karena tidak ingin ketahuan mengumpat di depan orang banyak.

Malam ini Granger mengenakan jubah kaftan putih khas penyihir wanita era modern. Bagian dadanya dihiasi bordir cantik dengan taburan batu safir. Bagian bawah roknya terseret seperti ekor, namun justru itu yang membuat jubah itu sensasional. Granger tidak mengancingkan dua kancing teratas jubahnya, seolah sengaja memamerkan korset hitam yang mengintip dari celah yang terbuka. Oke. Jadi ternyata dia punya dada yang bagus dan pinggang yang ramping. Lalu kenapa? geram Cara, merasa tersaingi.

Tanpa sadar, Cara bangkit dari kursinya, terdorong oleh instingnya yang mengatakan Granger sedang berjalan ke arahnya. Fokus mata coklat Granger belum pernah berpindah sejak ia masuk ke Aula Besar. Ia memfokuskan perhatiannya ke Cara, dan tampaknya wanita itu puas melihat Cara jengkel bukan main. Ia tak peduli seisi ruangan sedang memperhatikan perubahan penampilannya yang menakjubkan.

“Jadi kau ini apa, Granger? Bebek buruk rupa yang berubah menjadi angsa?” ledek Cara setelah mereka berdua berdiri berhadap-hadapan. Hanya ada meja makan panjang yang menghalangi mereka.

Alih-alih menjawab, Granger justru melepaskan salah satu sarung tangan kulit berwarna hitam yang sedang ia kenakan. Sarung tangan yang sebelah kiri tepatnya. Cara menatap dengan rasa ingin tahu. Kedua matanya menyipit. Tidak. Tidak mungkin si keriting semak ini berani…

Namun belum sempat Cara berpikir lebih jauh lagi, mendadak sarung tangan kulit itu melayang ke wajahnya, menampar pipinya dengan suara keras. Tampaknya Granger memang berniat menampar wajah Cara sekeras mungkin di hadapan ratusan pasang mata. Tidak sakit sih, karena kekuatan sarung tangan kulit itu bukan apa-apa dibandingkan dengan tangan manusia. Tapi rasa malunya itu yang luar biasa. Rupanya Granger sengaja ingin mempermalukan Cara.

Saat Cara mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru Aula Besar, yang didapatinya adalah ekspresi-ekspresi terpana karena shock. Tak seberapa lama kemudian, Aula Besar yang tadinya hening dipenuhi suara bisik-bisik yang makin lama terdengar mirip suara dengung lebah. Baik murid-murid maupun staf pengajar saling berbisik satu sama lain. Yang berdiam diri meski masih tampak tercengang hanya Albus Dumbledore dan Severus Snape.

Cara memejamkan matanya rapat-rapat menahan malu. Kedua pipinya memanas dan pastinya sudah dihiasi rona merah, sebelum kemudian wajahnya berubah merah padam karena geram. Ia tak pernah dipermalukan seperti ini.

“Cara Mason, aku menantangmu berduel! Satu lawan satu!” ujar Hermione Granger lantang. Dengan tangan bergetar menahan marah, ia melemparkan sarung tangan itu ke piring Cara yang masih kosong.

Kedua tinju Cara mengepal kuat-kuat. Dia tahu betul apa maksud Granger dengan semua ini. Biar bagaimana pun, Cara adalah mantan prajurit. Dia masih memegang Kode Ksatria, dan seperti yang tertulis di Kode Ksatria, inilah prosedur para ksatria berduel, dengan cara melempar sarung tangan di hadapan calon lawannya. Jika si calon lawan memungut sarung tangan itu, berarti ia menerima tantangannya.

“Kau tak tahu apa yang akan kau hadapi, Granger,” tukas Cara, membelalakkan kedua mata indahnya, berusaha menggertak. Namun airmuka Granger tidak berubah. Masih tetap garang dan berani. “Baik. Aku terima!” Cara menyambar sarung tangan kulit itu dari atas piringnya.

“Tiga hari lagi. Di Arena yang ada di Kementerian,” balas Granger, belum memutus kontak matanya dari mata Cara. “Jika aku berhasil mengalahkanmu, maka kau harus berhenti mendekati Severus! Kau akan menjauh sejauh-jauhnya dan tak boleh berpikir untuk menancapkan cakarmu ke tubuhnya! Sama sekali!”

Mata biru Cara melotot tajam. “Dan jika aku menang, Granger, aku juga boleh meminta hal yang sama darimu.”

Tak ada keraguan, hanya ada tekat. Itulah yang ditangkap Cara ketika Granger menjawab lugas. “Setuju.”


TBC

Review, if you must

a.n. Tolong jangan mereview dengan kata-kata yang meminta saya mengupdate kilat. Man, saya ini manusia biasa dengan kemampuan yang terbatas. Bukan super author. Mohon maklumnya please. Saya hanya bisa mengupdate setiap satu-dua minggu sekali karena kesibukan di dunia nyata. Tahu sendiri gimana kerasnya dunia kerja yang berangkat pagi dan pulang malam.

Kalau anda saja bisa meminta saya mengupdate kilat, maka saya juga bisa meminta review yang berbobot kalau begitu. Sejauh ini review yang saya dapat belum bisa dibilang memuaskan, meski story traffic bisa dianggap lumayan tinggi. Tapi saya ga akan menuntut banyak. Cuma minta pengertiannya aja dan kesabarannya menunggu update-an. I love you, my reader. Really I do. And I just hope you feel the same way about me. Be patient for a little longer and bear with me.

The Dark Lady And The Bookworm : Chapter 5

Hermione and Severus by LuciferaCat

a/n : Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk mereview, memasang story alert, dan memfavoritkan cerita ini.
Terima kasih untuk ficfan91,BlackCherryBee, phoenixeyes22, ambudaff, Oxenstierna-KHLR, mommiji aki, Akane Fukuyama, dan semua yang sudah memberi saya masukan-masukan berharga dan tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Sekali lagi fanfic ini DARK. Banyak unsur kekerasan dan seksual di sini. Karena itulah, dianjurkan hanya pembaca berusia 17+ yang boleh membacanya.

Ooo000ooo

Chapter 5
Terrified



Hermione terbangun pada dini hari dan mendapati sepasang lengan kokoh melingkari pinggangnya. Tentu saja ia bisa seketika mengenali pemilik tubuh hangat yang sedang mendekapnya dari belakang itu. Wangi cendana dan tumbuhan herbal, serta cara orang itu membenamkan hidungnya ke rambut Hermione yang lebat. Sudah pasti Severus.

Senang karena akhirnya kekasihnya menyusul ke ranjang, Hermione memberi pria itu ciuman di pipi. Namun belum sempat ia memberi ucapan selamat pagi, Severus sudah mendahuluinya.

“Mantra penolak gangguanmu terlalu lemah.”

“Well, selamat pagi juga untukmu,” balas Hermione agak jengkel. Jelas ini bukan salam pembuka yang ia harapkan dari mulut kekasihnya. Meski begitu ia merasa dekapan Severus semakin erat. Dadanya yang bidang beradu rapat dengan punggung Hermione, seolah ingin dipersatukan. “Mantra penolak gangguanku sudah cukup kuat untuk mencegah murid iseng masuk ke kantorku, Severus.”

“Bagaimana kalau yang berniat menyelinap masuk ke bilik pribadimu bukan hanya murid iseng yang ingin mencari kunci jawaban ujian?”

“Maksudmu pencuri begitu?” Hermione mengerutkan keningnya. “Setelah Voldemort dikalahkan, Hogwarts belum punya catatan kriminal, dear. Orang asing yang berniat jahat sudah pasti akan dihalangi masuk ke lingkungan kastil dalam radius satu kilometer...”

Hermione merasakan Severus menghela nafas dalam-dalam. Nafasnya yang hangat menerpa permukaan leher Hermione yang sensitif, membuat tubuh wanita itu bergetar karena gairah. Posisinya yang membelakangi Severus menyebabkan ia tak bisa melihat ekspresi muram kekasihnya itu.

“Aku sudah mengganti mantra penolak gangguanmu dengan yang lebih kuat, love. Kali ini hanya penyihir sekelas Dumbledore yang bisa mendobrak masuk ke bilikmu,” ujar Severus, menyudahi bantahan kekasihnya.

“Err… Terima kasih,” ucap Hermione lirih, mulai curiga. Untuk apa Severus sampai harus melakukan hal seperti itu? Bukan maksud Hermione untuk tidak menghargai usaha kekasihnya, ia hanya tidak suka Severus mengambil alih urusannya tanpa memberitahu apa alasan di balik itu. “Boleh kutanya untuk apa kau sampai repot-repot mengganti mantra penolak gangguanku?”

“Mmm…”Alih-alih menjawab, tangan Severus justru menyelinap ke dalam rok Hermione untuk membelai-belai paha mulus wanita itu.

“Severus, Hentikan!” Teriakan protes Hermione berganti desahan lirih saat bibir Severus membubuhi lehernya dengan kecupan-kecupan panas. Semakin ia meronta, semakin ganas juga ciuman yang ia dapat. Bahkan tidak hanya kecupan, tapi juga kuluman-kuluman yang mampu membuat Hermione menggelinjang.

“Masih ingin aku berhenti?”

“Hmm… tidak. Jangan berhenti…”

Setelah menanggalkan salah satu tali gaun tidur Hermione dengan giginya, Severus memperluas area jajahan. Bibirnya meluncur ke pundak Hermione. sesekali ia menjilat dan beberapa kali ia mengemut mesra bagian-bagian ranum yang dijumpainya, membuat kekasihnya itu mendesah keenakan. Sementara jemarinya yang panjang-panjang menyusup melalui celah celana dalam Hermione untuk menjelajahi organ intim wanita itu.

“Merlin! Severus, apa yang kau lakukan padaku?”

Sekali lagi Hermione menggelinjang, membuat spreinya semakin berantakan. Kedua matanya terpejam rapat. Bibirnya membentuk huruf O. Ia tak bisa menahan diri dari semua serangan panas ini. Jemari dan bibir Severus sama-sama mampu melambungkannya ke nirwana.

“Mencintaimu, Hermione. Mencintaimu.”

Tak bisa menahan lebih lama lagi, Severus membuka resleting celananya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih belum meninggalkan daerah kewanitaan Hermione. Tanpa repot-repot memelorotkan celananya, Severus langsung menyisipkan kejantanannya melalui celah celana dalam Hermione, dan mempersatukan tubuh mereka. Keduanya mengerang nikmat bersamaan, sebelum akhirnya memadukan irama tubuh mereka menjadi sebuah harmoni.

Hermione belum pernah merasakan yang seperti ini. Bercinta dengan masih mengenakan pakaian lengkap begini, dan tanpa banyak kontak fisik. Severus tidak membelai dan menciuminya sesering biasanya ketika mereka sedang bermesraan. Kali ini Severus hanya memeluknya erat-erat seolah takut Hermione akan kabur dari genggamannya. Setiap kali Hermione mengeluh sesak nafas, Severus hanya melonggarkan sedikit dekapannya sambil membenamkan wajahnya ke rambut Hermione yang lebat, sesekali membisikkan kalimat-kalimat bernada sayang yang membuat bulu roman wanita itu berdiri.

Aneh, pikir Hermione. Entah mengapa ia merasa Severus seolah sedang ketakutan. Takut kehilangan dirinya. Pria itu mendekapnya seakan nyawanya bergantung kepada kehangatan tubuh Hermione. Seakan ia bisa mati andaikan tubuh mereka berdua terpisah. Kali ini tidak ada nafsu atau cinta yang melandasi kemesraan mereka. Hanya rasa takut dan putus asa, dan Hermione bisa merasakannya lewat bahasa tubuh Severus.

Klimaks pun tidak terasa senikmat biasanya. Masih tetap nikmat, memang. hanya saja agak mengganjal. Hermione tidak meragukan keperkasaan Severus. Pria itu bisa membuatnya berkelonjotan di atas ranjang berulang kali jika ia mau. Tapi tidak kali ini. Yang ditunjukkannya sekarang adalah kepedulian.

Severus membelai rambut Hermione hati-hati, mengusap peluh yang bercucuran di dahi wanita itu sebelum mengecupnya hangat. Ketika Hermione menatap matanya langsung, ia bisa melihat rasa bersalah yang membayang di sepasang mata hitam kelam itu.

“Cukup, Severus. Katakan ada apa denganmu? Aku ingin tahu!”

Ooo000ooo

Saat mendatangi bilik pribadi Hermione, yang ada dalam pikiran Severus hanyalah ingin memastikan kalau kekasihnya aman. Ia perlu menguji seberapa kuat mantra penolak gangguan di pintu masuk bilik Hermione. Melihat sendiri hasilnya, ia menggelengkan kepala. Tidak. Yang seperti ini tidak akan kuat untuk mencegah Cara menerobos masuk. Mantra Hermione sebenarnya tidak buruk. Butuh lima kali usaha bagi Severus untuk mematahkan mantra itu. Tapi ia ragu berapa banyak yang dibutuhkan Cara seandainya wanita iblis itu hendak membunuh Hermione dalam tidurnya.

Severus tak mau mengambil resiko atas keselamatan wanita yang ia cintai. Maka ia pun mengerahkan sihir terkuat yang ia tahu untuk membuat bilik Hermione susah diterobos. Dengan begini Hermione akan aman berada di biliknya sendiri.

Lelah karena kekuatannya terkuras dan banyaknya firasat buruk yang menyumpali kepalanya membuat Severus enggan beranjak. Ia memilih tidur bersama Hermione, memeluk tubuh hangatnya dan meresapi kebersamaan mereka. Untuk sementara ia tak mau berpisah dari wanita berambut keriting lebat itu, mengingat apa yang baru saja terjadi di Kamar Kebutuhan malam ini antara dirinya dan Cara. Ia bisa saja kehilangan kekasihnya—satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidupnya saat ini.

Terhanyut dalam buaian paling nyaman bersama Hermione membuat Severus sempat tertidur selama beberapa saat. Ia tak tahu sudah berapa lama ia tidur ketika Hermione menggeliat dalam dekapannya. Wanita itu terbangun.

Belum ingin melepaskan pelukannya, Severus menghirup wangi shampoo yang menguar dari rambut kekasihnya dan membenamkan hidungnya sambil sesekali mengecup kepala Hermione. Rambut keriting lebat Hermione mengelitiki lubang hidungnya, nyaris membuat Severus bersin.

Ia membalas ucapan selamat pagi Hermione dengan komplain kalau mantra penolak gangguannya terlalu lemah. Tapi ia tak mau menjelaskan apa alasan mengapa ia sampai repot-repot mengganti mantra itu. Ia tak bisa menjelaskannya. Tidak kalau artinya ia harus kehilangan kekasihnya… Karena itulah, alih-alih menjawab, Severus berusaha mengalihkan perhatian Hermione.

Bercinta di pagi hari bukan pilihan yang buruk. Akan bohong rasanya kalau mereka tidak menikmatinya, dan faktanya memang begitu. Mereka sama-sama menikmatinya. Meski begitu, Severus tahu Hermione masih menaruh curiga kepadanya. Benar saja. Wanita itu menatapnya dengan sorot menuduh sambil menuntut diberitahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Cukup, Severus. Katakan ada apa denganmu? Aku ingin tahu!”

“Tidak ada,” balas Severus sedingin mungkin. “Tidak ada yang menjadi urusanmu.”

Dalam hati kecilnya, Severus merasa sangat bersalah melihat ekspresi terluka di wajah kekasihnya. Apalagi karena dialah pelakunya, orang yang menyebabkan Hermione tersakiti. Ia sendiri pun merasa terluka. Sampai terpaksa harus menyakiti perasaan kekasihnya demi melindungi wanita yang dicintainya itu. Tapi yang dilakukannya ini adalah untuk kebaikan Hermione.

“Aku tahu ada sesuatu yang salah sedang terjadi,” ujar Hermione lirih, suaranya agak bergetar karena menahan tangis. “Sejak kedatangan Cara Mason, tepatnya.”

Severus menghindari mata bening Hermione yang sedang berkaca-kaca. Dia tak sanggup menatap wanita itu tanpa teringat kepada apa yang diucapkan Cara semalam. Seandainya Hermione tahu… Tidak. Dia tidak boleh tahu. Ini demi kebaikannya sendiri.

“Kurasa aku harus kembali ke bilikku,” ujar Severus, beranjak dari ranjang tanpa memedulikan tatapan memohon kekasihnya. Ia meraih jubahnya yang tersampir di kepala dipan, dan bergegas meninggalkan kamar tidur Hermione.

“Severus, apa kau sudah bosan kepadaku?”

Pertanyaan bernada pedih ini seketika menghentikan langkah Severus, Tangannya mencengkram kuat kenop pintu. Sekujur tubuhnya seolah membeku, termasuk bibirnya yang tak kuasa menjawab. Bukan itu. Tentu bukan itu alasannya.

“Bagaimana kau bisa berpikir aku bosan kepadamu setelah apa yang baru saja terjadi?” tanya Severus, nadanya menekan dalam-dalam menahan emosi. “Kau tahu betul aku tidak akan datang lagi kepadamu jika aku sudah bosan denganmu. Lebih-lebih menyentuhmu secara intim. Aku bukan pria seperti itu.”

Hermione tertawa pahit. Dari suaranya Severus tahu wanita itu sedang menangis. Namun Severus tidak ingin berbalik menghadapinya. Ia memilih untuk tetap membelakangi Hermione. Selama lima tahun berhubungan, baru kali ini ia membuat kekasihnya itu menangis. Ironis, mengingat dulu ia pernah berjanji kepada dirinya sendiri, jangan sampai membuat Hermione menangis.

“Sejujurnya aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini, apa yang sudah kau lakukan, atau apapun, karena kau tak pernah memberitahuku!” Hermione mengeraskan volume suaranya. Ia gusar, dan punya alasan tepat untuk merasa gusar. “Severus, apa kau tak mempercayaiku? Dari apa yang baru saja terjadi dan sikapmu sekarang ini, aku bisa mengira yang tadi itu bukan bercinta, tapi salam perpisahan!”

Severus berjengit. Sontak ia berbalik, dan mendapati wajah Hermione memerah saking marahnya. Belum pernah ia melihat wanita itu semarah ini.

“Jadi katakan, Severus! Apa kau ingin berpisah dariku?”

Ooo000ooo

Cara menyeringai kecil. Paginya begitu cerah. Belum pernah ia sebugar ini ketika terbangun. Matahari seolah bersinar lebih hangat dari biasanya dan udara pagi terasa lembut membelai kulitnya saat ia membuka jendela biliknya.

Mungkin ini efek positif dari apa yang terjadi semalam. Berduaan bersama Severus Snape memberinya kesempatan untuk menggoyahkan kesetiaan pria itu. Well, nyaris. Sejujurnya Cara tak tahu pasti apakah strategi ini berhasil. Memanipulasi seorang Severus Snape terdengar mustahil.

Sebagai mantan Eradicator, Cara punya kemampuan memanipulasi. Bermain kata-kata demi mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain adalah salah satu keahliannya. Severus Snape sendiri adalah orang yang terkenal sangat disiplin dan punya tataran tinggi dalam pengendalian diri. Itulah yang membuat Cara tidak begitu yakin.

Semalam, Cara melontarkan beberapa pernyataan yang mampu membuat Snape mempertanyakan hubungannya dengan si Granger busuk itu. Pernyataan-pernyataan yang seharusnya berhasil menggiring mereka berdua untuk segera berpisah.

Cara baru saja berhasil menghindari sabetan pedang dari salah satu Golem yang dihadapinya ketika ia merasakan kehadiran orang lain di Kamar Kebutuhan. Dari sudut matanya, Cara bisa melihat sosok itu mengenakan jubah hitam-hitam, dan tak butuh waktu lama untuk tahu kalau dia adalah Severus Snape.

Menyeringai diam-diam, Cara berusaha keras untuk tetap fokus. Snape datang di waktu yang tepat. Saat di mana Cara bisa memamerkan kekuatannya, sekaligus membuktikan diri sebagai wanita yang lebih baik untuknya ketimbang si kutu buku Granger.

Dengan gerakannya yang anggun dan sesuai perhitungan, Cara berputar dan menyarangkan tendangan telak ke ulu hati salah satu Golem yang menyerangnya, membuat lawannya itu jatuh terpental.

Saat ini Cara sedang bertarung dengan tiga Golem dan semuanya mengambil wujud Pelahap Maut, berjubah hitam dan mengenakan topeng tengkorak yang menutup sebagian wajah mereka. Di sini Cara memilih untuk melawan dengan tangan kosong. Senjata satu-satunya yang ia punya hanyalah sarung tangan merah darah yang dikenakannya di tangan kiri.

Ia berkelit saat salah satu Golem berusaha menusuknya dengan pedang. Penuh percaya diri, Cara menodongkan tangan kirinya. Kedua matanya berubah warna. Menyala merah seperti darah. Seketika itu pula pedang yang sedang digenggam lawannya berubah membara seperti sedang ditempa dalam bara api. Meski Golem tak bisa merasakan sakit, namun ia disetel untuk bereaksi seperti manusia normal. Pedang yang membara itu pun jatuh, menimbulkan suara menggema ke semua penjuru.

Namun tentu serangan Golem-Golem itu belum berhenti. Masih ada yang berusaha mencambuknya dengan rantai, dan Cara sempat kewalahan menghindarinya. Dua-tiga kali ia terkena lecutan rantai itu di bagian punggung dan perut, meninggalkan bekas merah kebiruan di kulit mulusnya. Cara tidak mengeluh kesakitan. Ia sudah sangat terbiasa dengan rasa sakit.

Bahkan ketika salah satu Golem berhasil menghantam rahangnya dan menyebabkan Cara jatuh bergulingan di lantai, wanita itu sama sekali tidak merasa sakit. Hanya gairahnya semakin berkobar. Semangatnya untuk terus bertarung menjadikannya lupa akan kehadiran Snape di sana. Bertarung adalah hidupnya. Ia terlahir untuk menghajar dan dihajar. Cara memang seorang petarung sejati.

Terbaring di lantai yang dingin, Cara mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Namun lawan-lawannya tak ingin memberinya kesempatan beristirahat. Untungnya Cara berhasil menghindar ketika ada Golem yang hendak menginjak lehernya. Alih-alih melukai Cara, Golem itu malah jatuh terpelanting ketika kaki Cara mengait kakinya.

Sambil menghadiahi bogem mentah ke wajah salah satu Golem yang berusaha mencekiknya, Cara merebut pedang dari tangan lawannya itu. Memutar tubuhnya sekali lagi, pedang itu seolah tahu kemana arah pikiran Cara, dan memenggal kepala lawannya dalam sekali tebas. Golem itu pun roboh setelah kepalanya menggelinding lepas, dan seketika lenyap dari pandangan. Tapi masih ada dua Golem lagi yang harus ia kalahkan.

Cara membungkukkan badan, tepat sebelum ujung rantai salah satu Golem menampar wajahnya. Kali ini ujung rantai itu berubah menjadi bola besi dengan duri-duri tajam yang mampu melubangi daging. Pastinya akan luar biasa sakit jika bola berduri itu sampai menancap di wajah cantiknya.

Kali ini Cara tak mau berlama-lama bermain dengan rantai berujung bola berduri itu. Ia kembali menodongkan tangan kirinya. Sekali lagi kedua matanya menyala merah darah dan mendadak tubuh Golem yang diserangnya itu meledak berkeping-keping. Seisi ruangan pun bergetar diguncang suara dentuman keras.

“Well, tinggal satu lagi,” ujar Cara datar, menaikkan salah alisnya.

Sekarang saatnya memakai sedikit sihir, dan tampaknya Golem yang tersisa di arena pertarungan sependapat. Ia tak memegang senjata apapun selain tongkat sihir. Dari wajah Golem yang tersembunyi di balik topeng setengah tengkorak seharusnya Cara tak bisa menebak mantra apa yang kira-kira akan dilontarkan. Tapi Cara tidak bodoh. Dari pengalamannya, ia tahu satu mantra yang sudah pasti akan dipakai oleh setiap Pelahap Maut.

“Avada Kedavra!” raung Golem itu.

Seleret sinar hijau terang meluncur dari ujung tongkat sihir sang Golem. Cara menatapnya tenang, hanya mengangkat tangan kirinya dan menciptakan suatu medan energi yang melingkupinya seperti sebuah mangkok bening raksasa. Medan energi itulah yang selalu menyelamatkannya dari kutukan paling tak termaafkan ini, menjadikannya kebal.

Sinar hijau itu seketika terpental begitu mengenai permukaan medan energi yang dihasilkan Cara. Alih-alih melukai sasarannya, sinar hijau itu malah berbalik menuju ke arah orang yang melontarkannya. Lawan terakhir Cara pun roboh terkena kutukannya sendiri, sebelum akhirnya menghilang tak terbekas.

“Senang melihat pertunjukkannya, Wizard?” tanya Cara tanpa berbalik. Ia menyeringai kecil saat mendengar Snape mendengus. “Harus kubilang akan lebih menyenangkan seandainya kaulah yang jadi lawanku.”

“Lalu apa, Profesor Mason? Memberimu alasan untuk membunuhku? Tidak terima kasih,” ujar Snape dingin.

Cara memutar badan, memberikan senyuman paling manisnya. Sosok Snape yang tegap dan angker tidak membuat Cara gentar. Bahkan meski saat ini pria itu sedang melipat kedua tangannya di depan dada, gaya khasnya ketika mengintimidasi lawan bicaranya.

“Kenapa, Snape? Kau selalu saja berburuk sangka kepada orang lain. Apa kau tak pernah berpikir kalau alih-alih ingin membunuhmu, aku ingin melakukan hal yang lebih… umm… mengasyikkan denganmu?”

“Aku butuh bicara denganmu, Profesor Mason,” kata Snape formal, tampak sama sekali tak terpengaruh dengan gaya menggoda Cara. “Dan aku menolak bicara denganmu sampai kau mengenakan pakaian yang pantas.”

Kedua alis Cara terangkat, mata indahnya terbelalak. Ia tak menyangka Severus akan menegurnya seperti ini. Kebanyakan pria akan lebih senang mengobrol dengan wanita berlekuk tubuh indah yang hanya mengenakan bra dan celana mini. Terutama jika tubuh indah itu sedang bermandi keringat yang membuat lekuk-lekuknya semakin jelas di balik secuil penutup auratnya.

Tapi seperti yang ia pikir. Snape bukan pria kebanyakan. Dia pria terhormat—atau setidaknya berusaha bersikap seperti layaknya pria terhormat.

“Baiklah,” ujar Cara enteng. “Tapi aku butuh jubah.”

Selembar jubah berwarna hitam muncul dari udara kosong. Tampaknya Kamar Kebutuhan benar-benar memahami kebutuhan Cara. Tanpa banyak pikir lagi Cara segera mengenakan jubah itu meski hatinya menggerutu. Tadinya ia merasa seksi dengan pakaian minimnya. Jubah yang menyelubungi tubuhnya rapat-rapat begini jelas bukan seleranya.

“Oke. Bicaralah sekarang!” perintah Cara jengkel. Ia tak bisa menggoda Snape dengan busana seperti ini.

Sepasang mata kelam Severus menatapnya dalam-dalam, seolah berusaha menenggelamkannya. Namun tak ada kebencian ataupun kemarahan di sana. Ekspresi Snape tetap saja pasif, tak ada emosi.

“Pertama. Katakan bagaimana kau bisa keluar dari Arcelia?”

“Apa itu penting?” balas Cara menantang. Melihat ekspresi Snape yang berubah seram, ia menggeleng dan mengalah. “Aku punya batu peninggalan seorang penyusup sepertimu. Lebih tepatnya sih, aku mengambil batu itu dari saku jubah jenazahnya setelah memergokinya berhasil menembus Pembatas. Kupikir suatu saat batu itu akan berguna dan voila… di sinilah aku.”

“Kedua. Apa tujuanmu keluar dari Arcelia?” tanya Severus datar, tak terpengaruh dengan jawaban Cara tadi. Padahal jelas sekali Cara baru saja mengaku kalau ia telah membunuh salah satu kawan Pelahap Mautnya dalam misi ke Arcelia.

“Entahlah. Mencari pria untuk ditiduri, mungkin?” balas Cara, menyeringai. Melihat Severus bergeming, ia menghela nafas panjang. “Aku bosan menjadi penjagal, oke? Setelah Lord Carloseus tewas, aku tak punya lagi panutan. Aku seperti anak ayam kehilangan induk. Tak tahu apa yang harus kulakukan atau siapa yang harus kuikuti. Bergabung bersama pasukan elit Eradicator adalah pilihan terbaik yang pernah kuambil.”

“Membuatmu tak ada bedanya dengan penjagal. Prajurit Zion tak lebih dari juru penggal pribadi milik Lord Carloseus. Sedangkan Eradicator hanyalah nama lain dari grup pembunuh bayaran yang disewa Kementerian Sihir untuk membantai Pelahap Maut,” tukas Snape, mencemooh.

“Tentu saja beda. Menjadi Eradicator membuatku tidak asal bunuh, dan aku punya alasan bagus untuk membunuh. Bagaimanapun aku melakukannya demi membela kebenaran dan melindungi masyarakat sihir Britania Raya. Bisa dibilang, sekarang ini aku orang baik-baik.”

Lagi-lagi Snape mendengus. Cara tahu pria berpenampilan hitam-hitam itu mengganggap jawabannya ini konyol. Tapi asal tahu saja. Itulah yang selama ini diyakini Cara Mason, bahwa dirinya sudah berubah menjadi orang yang lebih baik setelah meninggalkan Arcelia. Setidaknya ia tidak lagi membunuh orang-orang tak bersalah seperti saat menjadi Prajurit Zion dulu. Yang dibunuhnya sewaktu menjadi Eradicator hanyalah para Pelahap Maut, dan Pelahap Maut bukanlah orang tak bersalah. Mereka penjahat keji.

“Terakhir. Apa yang kau inginkan dariku?”

“Kau.”

“Maaf?”

“Kau. Aku menginginkanmu, Snape. Hanya kau yang kuinginkan.” Sudut bibir Cara membentuk seulas seringai saat Snape menyipitkan kedua matanya. “Dan sebelum kau menolakku, aku ingin kau mempertimbangkannya dulu. Kau sudah lihat sendiri tadi seberapa kuatnya aku. Kurasa seharusnya kau punya wanita kuat di sisimu, alih-alih wanita yang lemah dan tak berdaya.”

Cara menggigit ujung lidahnya. Ia ingin sekali melontarkan kalimat yang menjelek-jelekkan Granger. Kutu buku kuno yang tak pandai merawat diri dan lain sebagainya. Tapi jika itu nanti malah membuat Snape gusar, lebih baik tidak usah diucapkan.

“Siapa kau berani-beraninya memutuskan apa yang terbaik untukku?” ujar Snape tajam.

“Aku mungkin siapa-siapa bagimu, Snape. Tapi aku juga punya masa lalu. Aku wanita dengan masa lalu, sama sepertimu. Atau harus kubilang, nyaris sama. Kita sama-sama rusak. Sejak kanak-kanak, kita dipaksa melalui berbagai macam hal pahit yang tidak dialami anak kecil lainnya. Kelam dan penuh kebencian. Marah kepada semua orang di dunia ini, namun tak bisa berbuat banyak. Sampai pada saatnya ada kesempatan untuk membuktikan diri meski itu di jalan yang salah. Kenyang menyaksikan kekejian dan darah menggenang, yang sebagian besar adalah tertumpah karena kita. Sampai pada akhirnya kita diberi kesempatan kedua untuk berubah menjadi orang yang lebih baik.”

“Tidak. Kita tidak sama, Profesor Mason,” balas Snape dengan nada bicara yang jauh lebih dalam dari biasanya. “Aku tidak menyerahkan ibuku sendiri untuk dibunuh dan aku tidak membunuh ayahku sendiri demi bergabung bersama prajurit-prajurit penjagal. Meski demikian, kukira ada banyak orang di dunia ini yang lebih punya persamaan denganmu daripada aku. Kenapa kau harus menginginkan aku?”

Cara menatap Snape tajam-tajam. Seandainya tatapan mata bisa membunuh, Severus Snape pasti akan mati seketika. Pria berpakaian serba hitam itu tak tahu apa yang sebenarnya sudah dilalui Cara saat proses seleksi menjadi prajurit Zion.

Cara tidak pernah menyerahkan ibunya sendiri untuk dibunuh. Pada waktu seleksi, para prajurit Zion menyiksa ibunya habis-habisan sampai nyaris sekarat sebelum mereka mencampakkan wanita malang itu di hadapan Cara. Seperti makan buah simalakama, memilih ibunya dihabisi sekalian, atau dia sendiri yang dibunuh. Cara tahu betul, seandainya ia mengorbankan nyawanya demi wanita yang telah melahirkannya itu, hidup ibunya tidak akan bertahan lama. Pada akhirnya, ibunya akan mati perlahan dan mengenaskan.

Karena itulah, dengan berat hati—nyaris memohon untuk mati bersama-sama ibunya saja—Cara memohon belas kasihan dari prajurit Zion. Setidaknya jangan biarkan ibunya menderita lebih lama lagi. Menyaksikan salah satu prajurit Zion mengabulkan permohonannya dengan senang hati, dengan cara menginjak kuat-kuat leher ibunya, Cara merasa hidupnya sudah hancur. Seluruh dunianya gelap gulita. Tubuhnya lemas, seolah nyawanya juga ikut terbang menyusul ibunya ke akhirat.

Namun penderitaannya belum berakhir sampai di situ. Tak lama berselang, dua orang prajurit Zion mempertemukan Cara dengan ayahnya. Pria itu juga terluka parah dengan bekas-bekas siksaan yang kentara di sekujur tubuhnya. Anehnya, Cara tidak merasa terlalu sedih melihatnya. Pria yang disebutnya sebagai ayah itu tak pernah ada di saat dibutuhkan. Ia lebih suka mabuk-mabukan dan berjudi. Sesekali pulang untuk meminta uang dan memukuli Cara dan ibunya saat tak diberi uang.

Yang membuat Cara terkejut adalah saat ia disodori sebilah belati dan diminta untuk mencabut nyawa ayahnya sendiri. Jika ia bisa melakukannya, maka ini akan menjadi pembunuhan perdananya. Cara menolak dan dihadiahi belasan kali cambukan yang membuat kulit punggungnya seolah mengelupas. Sebejat apapun ayahnya, Cara merasa tak akan mampu membunuhnya. Tapi itu sebelum ia diberitahu kalau justru ayahnyalah yang telah menjualnya ke prajurit Zion setelah kalah berjudi. Kemudian ia kembali menjual istrinya sendiri untuk menutupi hutang-hutangnya.

Marah. Sangat-sangat marah. Cara tak lagi berpikir panjang saat kembali disodori sebilah belati. Ia sama sekali tak merasa bersalah usai menghujamkan belati itu tepat ke jantung ayahnya. Kepalanya kosong dan tubuhnya serasa hampa. Para prajurit Zion pun mengisi ulang kepala dan tubuhnya dengan segala kebencian dan kemarahan yang bisa mereka kumpulkan. Mereka menjadikan Cara salah satu dari mereka. Manusia yang nyaris kehilangan rasa kemanusiaan.

“Kenapa kau harus menginginkan aku?” ulang Snape, membuyarkan lamunan Cara.

“Setiap melihatmu, aku selalu teringat kepada Lord Carloseus. Penampilan fisik kalian, gerak-gerik kalian, bahkan sampai cara kalian berbicara. Angkuh, arogan, dan mendominasi… “ Cara menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. Dia tak boleh terbawa emosi. “Aku selalu setia kepada Lord Carloseus sampai ia menarik nafas terakhirnya. Saat melihatmu, aku tahu aku harus melakukan hal yang sama kepadamu. Aku seolah melihat Carloseus bangkit kembali ke dunia.”

“Sayangnya, aku bukan tipe orang yang bersedia menerima pengabdian darimu, Profesor Mason. Aku tidak butuh kesetiaanmu. Yang kubutuhkan hanyalah kau jauh-jauh dariku. Jika aku boleh memberi saran, menurutku kau perlu memeriksakan diri ke St Mungo di bagian kejiwaan. Terobsesi terhadap pria yang sudah lama mati dan menganggap pria lain sebagai titisannya jelas menandakan ada yang salah dengan kepalamu.”

“Menurutmu aku gila?” Kedua mata Cara membelalak. “Tidak, Snape. Aku tidak gila. Aku tahu apa yang kuinginkan, dan aku tahu seribu satu cara untuk membuatmu senang, membuatmu puas...”

“Tidak, terima kasih. Hermione sudah melakukan semua itu dengan baik sekali. Dia selalu tahu apa yang kubutuhkan,” balas Severus dingin.

Alih-alih marah, Cara justru tertawa. “Lucu mendengar kau mengatakan ini. Menurutku malah sebaliknya. Granger tak tahu apa-apa.” Selangkah dua langkah, Cara mulai berjalan mendekati Snape. “Dan kenapa dia harus tahu? Dia sama sekali berbeda dengan kita. Lahir di keluarga yang harmonis, dia tak tahu seperti apa rasanya dihajar oleh ayah kandungnya sendiri. Granger itu naif. Dia tak akan paham rasanya hidup dalam kebencian dan kemarahan. Dia tak tahu betapa sakitnya harus membunuh demi bertahan hidup. Dia tidak pernah mengalami mimpi buruk dan terngiang teriakan memelas orang-orang yang sudah kita bunuh.”

Rongga dada Cara seakan terbakar. Tidak bisakah Snape melihat kenyataan ini. Kenyataan bahwa ia dan Granger terlalu jauh berbeda untuk disatukan. Yang satu hitam, yang lainnya putih. Seharusnya mereka saling menghancurkan, alih-alih bersatu dan saling mencintai. Ini konyol.

“Katakan, Snape. Sejujurnya, apa kau pernah menjadi dirimu sendiri saat bersama dengannya? Bercerita terus terang tentang apa saja horror yang telah kau lalui di masa lalu. Seperti apa pembunuhan demi pembunuhan yang kau lakukan saat masih mengabdi pada Voldemort. Oh, iya. Jangan bilang kau malu mengakui kepadanya kau pernah memperkosa Muggle dan Darah Lumpur. Ah, tentu saja kau tidak pernah mengatakan semua itu kepada Granger. Kenapa? Karena dia akan seketika mencampakkanmu begitu tahu.”

Bibir Cara membentuk seulas senyum tipis saat menyadari tubuh Severus gemetar menahan amarah. Tapi ia tidak mau berhenti. Ia harus menyadarkan Snape kalau Granger bukanlah wanita yang tepat untuknya.

“Sejak awal Hermione sudah paham apa resiko berhubungan dengan mantan Pelahap Maut. Kalau boleh kubilang, ini sebenarnya bukan urusanmu, Profesor Mason,” ujar Severus, menggeram.

“Oh begitu. Betul juga ya. Karena itulah dia mau-mau saja dijadikan gundik,” cibir Cara. Ia terkesiap saat Snape mencabut tongkat sihirnya dan menodongkannya. Kedua mata kelam Snape berkilat-kilat saking gusarnya.

“Sekali lagi kau menyebut Hermione dengan sebutan hina itu, aku akan mengirimmu menemui Penjaga Neraka,” gertak Snape. Melihat ekspresinya yang seram, Cara tahu Snape tidak main-main.

“Silahkan. Lakukan saja sampai puas. Tidak akan ada gunanya karena aku kebal dengan Kutukan-Tak-Termaafkan.” Cara balas menatap Snape tanpa rasa takut. “Kau hanya tak ingin mendengar kenyataan menyakitkan ini, Wizard.” Sorot mata Cara berubah lembut dan nadanya penuh pengertian, berakting simpatik. “Bayangkan saja. Lima tahun berhubungan seperti suami-istri, tapi tidak juga segera menikah. Tanda tanya besar, eh?’’

Diam-diam Cara menyeringai puas melihat ekspresi shock Snape. Namun sepersekian detik kemudian wajah Snape kembali mulus tanpa emosi. Semahir apapun pria itu menutupinya, ucapan Cara sudah menamparnya telak.

“Mungkin dia malu harus jadi istri mantan Pelahap Maut. Atau dia takut suatu saat kau akan menunjukkan sisi gelapmu. Karena itulah, sebaiknya dia jadi gundikmu saja, kan? Jaga-jaga seandainya ada pria yang lebih baik darimu muncul, well… kalian tak perlu repot-repot bercerai di pengadilan…”

“Cukup!!!” raung Snape, ujung tongkat sihirnya bergetar hebat.

“Kenapa, Wizard? Takut hipotesaku jadi kenyataan?” Cara tertawa kecil. “Hipotesaku yang selanjutnya adalah kau tidak sungguh-sungguh mencintai Granger ini. Kau hanya mengira kau mencintainya, Snape. Dia pilihan yang cukup logis di antara sedikit wanita yang cukup berani mendekatimu,” cibir Cara, semakin mendekati Snape.

Kini wajah mereka hanya terpisah beberapa senti. Entah karena marah atau benar-benar takut mendengar semua ini, Snape tidak bereaksi.

“Aku menyesal kenapa kita tidak bertemu lebih awal, dear Wizard. Seandainya akulah yang lebih dulu bertemu denganmu, kurasa akulah yang akan kau pilih untuk mendampingimu, Kita punya banyak persamaan dan kita bisa mempersatukan semua persamaan itu jika kau mau memberiku kesempatan satu kali saja,” bisik Cara di wajah Snape, sebelum dia nekat melumat bibir Snape.

Belum sempat ia berlama-lama menikmati bibir tipis itu, Snape menjambak rambutnya dan memaksa wajahnya menjauh. Semua gurat amarah terlihat jelas di wajahnya. Muncul rona merah yang mengubah wajah pucat itu menjadi merah padam. Mata hitam itu berkilat-kilat murka, seolah ada api yang berkobar di dalamnya.

Tak mau terlihat ciut nyali, Cara memasang raut muka pasif. Ia hanya memandangi wajah Snape, menunggu apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya. Namun Snape tidak memelintir lehernya atau membantingnya ke lantai. Ia hanya melepaskan cengkramannya pada rambut Cara dengan kasar dan membuat Cara jatuh terjengkang.

Sambil memandangi Cara yang terbaring di lantai, Severus berujar dingin, “Jangan pernah berpikir untuk mendekatiku, kau wanita iblis!” sebelum memutar badannya secara dramatis dan pergi meninggalkan Kamar Kebutuhan, tanpa sadar seringai puas di wajah cantik Cara.

Ooo000ooo

Hermione merebahkan kepalanya di dada bidang Severus. Jemarinya membelai dan menelusuri bulu-bulu halus yang tumbuh mulai dari dada hingga perut bagian bawah kekasihnya. Sementara bibirnya meluncur, mengecup hangat dada di bagian jantung Severus. Mendengar suara nafas Severus yang sedang tertidur, membuat hati Hermione sedikit tentram.

Pagi ini hampir saja ia kehilangan Severus. Setelah sempat mengancam minta putus, akhirnya ia berhasil membuat pria keras kepala itu mengalah. Severus memang masih ngotot tidak mau memberitahunya apa yang sedang terjadi. Alih-alih memberitahu, ia justru mempersilahkan Hermione menggunakan Legilimency kepadanya. Dengan berat hati, tentu. Severus harus menelan harga dirinya secara pahit demi merelakan pikirannya dijajah.

Tentu Hermione terkejut. Ia tak pernah menyangka Severus akan membiarkannya menginvasi pikirannya. Sebuah kesempatan langka, sekaligus menyadarkan wanita itu kalau Severus benar-benar mempercayainya dan tidak ingin mereka putus hubungan. Pria itu belum pernah tampak serapuh ini.

Sebenarnya Hermione benci dan paling tidak suka menggunakan kelemahan Severus sebagai senjata. Mengancam putus adalah pilihan paling terakhir yang terlintas di pikirannya. Kali ini ia terpaksa menggunakan ketakutan terbesar Severus dalam hidupnya untuk memaksa pria itu berterus-terang, dan diam-diam Hermione merasa sangat bersalah karenanya.

Severus adalah pria yang sangat sensitif terhadap perasaannya. Ia tidak ingin siapapun menyakiti hatinya, dan itulah yang menyebabkan pria itu menutup diri rapat-rapat. Selalu bertindak atas pemikirannya sendiri dan overprotektif kepada sesuatu yang ia anggap penting dalam hidupnya. Slytherin selalu menjaga baik-baik apa yang menjadi miliknya. Begitu kata Severus. Dan bagi pria itu, Hermione adalah miliknya yang berharga. Wajar jika ia berusaha melindungi Hermione, meski dengan cara yang tidak bisa dimengerti.

Setelah melihat sendiri apa yang dialami Severus bersama Cara di Kamar Kebutuhan melalui Legilimency, akhirnya Hermione paham kenapa Severus tidak mau bercerita langsung kepadanya. Pria itu takut Hermione akan bereaksi keras. Semua yang dikatakan Cara memang menohok Hermione telak. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Lidah wanita itu memang beracun. Lebih beracun dari Nagini. Entah Cara berguru kepada iblis mana, atau justru dia sendirilah iblisnya.

Hermione memeluk tubuh hangat Severus dan berusaha memejamkan matanya kembali. Usai mengintip kejadian di Kamar Kebutuhan dalam kepala Severus tadi, mereka kembali berdebat hebat, dan usai berdebat, mereka bercinta. Lagi, lagi, dan lagi. Untungnya mereka berdua sama-sama tidak punya kewajiban mengajar sampai jam ketiga karena mereka langsung jatuh kelelahan di atas ranjang setelah melampiaskan semua emosi mereka.

Mengecup lembut pipi pucat kekasihnya, Hermione merenung. Tentu ia menghargai usaha Severus untuk menjaga perasaannya, tapi tetap saja ia merasa harus diberitahu. Merlin, umurnya sudah dua puluh lima tahun dan Severus masih memperlakukannya seperti anak di bawah umur!

Memangnya ia tidak boleh mempertahankan Severus dengan caranya sendiri jika ada wanita lain yang berusaha merebutnya? Mungkin tidak kalau wanita itu adalah Cara Mason—mantan anggota Eradicator sekaligus mantan prajurit Zion. Jelas sekali kalau wanita yang satu ini sangat berbahaya. Amat sangat berbahaya. Coba lihat apa yang bisa ia lakukan kepada Golem-Golem di Kamar Kebutuhan. Tampaknya Cara sanggup membantai seisi desa tanpa kesulitan, lebih-lebih menghadapi Hermione seorang.

Darah Hermione mendidih saat teringat ciuman panas yang diberikan Cara ke Severus. Ciuman lancang dan tak bermoral! Tak peduli siapapun dia, Eradicator atau Zion, Hermione ingin merobek-robek Cara dengan tangannya sendiri. Jangan panggil dia Gryffindor kalau dia tak punya nyali. Kenekatan Cara membangunkan singa betina dalam diri Hermione. Singa betina yang garang dan buas, yang siap bertarung demi menjaga kehormatannya.

Tunggu saja, Cara. Tunggu saja nanti. Rahang Hermione mengeras dan gigi-giginya menggeletuk menahan amarah. Sebentar lagi wanita jalang itu akan kuberi pelajaran.

TBC

a/n Chapter yang paling sulit ditulis sejauh ini. saya harus bisa memahami emosi Severus, Hermione, dan Cara, karena fanfic ini memakai POV ketiga karakter itu. Fiuh… Saya tahu review yang saya dapat ga banyak-banyak amat. Entah karena fanfic ini terlalu jelek atau membingungkan atau apa. Ga mau munafik, setiap author pasti ingin fanficnya banyak dapat review. Bagaimanapun review dari reader itu adalah vitamin penambah nafsu menulis. Karena itulah, saya sangat menghargai siapapun yang berkenan mereview. Yang mereview, saya doain masuk surga. Amin! ^^