I'm officially Yours Chapter 3

Sungguh saya mohon maaf sebanyak-banyaknya karena sudah lama sekali rasanya tidak meneruskan lanjutan cerita ini. Sebenarnya ini diakibatkan baru-baru saja saya mengalami masa-masa terberat dalam hidup. Well, sama seperti Severus di chap ini, tapi beda penyebabnya. Meski begitu, setelah perlu berbulan-bulan rehat menulis dan akhirnya menemukan mood lagi untuk nulis, akhirnya bisa juga chapter 3 ini diselesaikan dalam waktu 3 hati. Thanks God.



Chapter 3


Hampa

Disclaimer : I don't owe this image


Senja belum pernah terasa begitu muram bagi Severus. Begitu hampa. Begitu dingin menusuk. Sesekali angin dingin iseng menyibak ujung syalnya dan rambutnya, membuat Severus harus kerepotan membenahinya berkali-kali. Bahkan cuaca pun bisa saja tidak bersahabat denganku, rutuk Severus dalam hati.

“Kau memilih saat yang salah untuk mati, James,” ujar Severus, menghela nafas dalam-dalam. Kalimat itulah yang pertama kali ia lontarkan setelah hampir setengah jam berdiri diam membisu di depan nisan James Potter. “Tidak. Bukan karena ini sudah masuk awal musim dingin. Tapi karena tiga hari sebelum aku kemari, itu adalah saat-saat terindah dalam hidupku setelah sekian lama… Setelah pernikahanmu dan Lily…”

“Aku tahu aku tidak setidaknya mengoceh seperti ini di depan makammu, memprotesmu atas sesuatu yang di luar kehendakmu, tapi… “lanjut Severus lagi. “Tapi tak bisakah kau berhenti menggangguku bahkan setelah kematianmu? Tolonglah. Andai saja kau tidak mati sekarang, aku pasti tidak akan sebingung ini.”

Severus mencengkram bagian dalam saku jubahnya. Pria itu tahu kalau ia bisa dianggap gila karena meracau sendirian di tengah-tengah kepungan batu nisan. Lagipula semua kalimat yang baru saja ia ucapkan tidak semuanya benar. Severus hanya ingin menyalahkan seseorang atas kekacauan yang melanda dirinya tiga hari yang lalu, saat di mana Hermione meninggalkannya begitu saja, tepat setelah ia tak sengaja menyebut nama Lily.

Kali ini Severus memilih untuk kembali membungkam mulutnya rapat-rapat, membiarkan pikiran dan hatinya saja yang ramai bergolak. Kalau saja James tidak meninggal, dan tentunya, tidak meninggal secara dramatis begitu, pasti aku tidak akan teringat kepada Lily, kan? Kalau saja James masih hidup, bisa jadi ia masih bermesraan dengan Lily… Ah, aku mulai berubah pikiran. Kau boleh saja mati, James. Dengan cara apapun semaumu! Asalkan jangan masuk surat kabar mana pun. Matilah diam-diam…

Didorong oleh kegelisahannya, Severus memejamkan matanya rapat-rapat, merasakan belaian angin senja yang membelai lembut wajahnya, mengingatkan pria berambut gelap itu kalau malam akan segera datang. Tapi bagaimana nasib Lily setelah kau pergi, James? Apa dia bisa menghadapi semua ini seorang diri? Suara hati Severus lagi-lagi mengusiknya dengan pertanyaan yang sudah-sudah.

“James, kau pergi terlalu cepat, kau tahu?” ucap Severus dengan nada sinis tersamar.

“Yeah. Kupikir juga begitu, Sev…”

Untuk sesaat kedua telinga Severus seakan berdenging. Suara ini tidak asing baginya. Malahan teramat sangat akrab selama belasan tahun yang lalu. Suara merdu yang membuat darahnya berdesir, memompa jantungnya beratus-ratus kali lebih cepat, dan mengakibatkan sekujur tubuhnya membeku.

“Li—lily…?” Lidah Severus terasa kelu. Dengan gerakan kaku bak robot ia berbalik dan berhadapan langsung dengan sang pemilik suara tadi.

Lily Evans, atau kini ia harus menyebutnya sebagai Lily Potter, masih terlihat sama menawannya seperti belasan tahun yang lalu. Rambutnya yang masih tetap berwarna merah gelap, panjang, dan indah tergerai kini berkibar seirama hembusan angin. Lalu matanya yang hijau teduh masih menatapnya dengan sorot yang sama, sorot yang selalu ia rindukan. Semua hal yang ada pada Lily saat ini nyaris sama seperti dulu. Hanya saja penampilan Lily yang sekarang ini terlihat jauh lebih matang ketimbang Lily yang ia kenal dahulu. Tentu saja, usia Lily sekarang sudah kepala tiga, seumuran dengan Severus.

“Severus Snape. Benar ini kau?”

Di balik topeng tak bersahabat dan pura-pura tak pedulinya, Severus tak bisa berkata-kata saking kagetnya. Ia sama sekali tak menyangka bisa berjumpa dengan Lily di tempat ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang nekat berziarah di senja hari, kan? Begitulah perkiraan Severus semula. Ia mengira bisa menghindari resiko tertangkap basah diam-diam mengunjungi makam mantan rival semasa sekolahnya dulu.

“Ya. Ini aku,” balas Severus, pada akhirnya. Menyamarkan gemuruh di dalam dirinya dengan nada suara yang menekan dalam-dalam, nyaris berbisik.

“Aku tak percaya kau mau datang kemari,” ucap Lily lembut seraya menyuguhkan senyuman yang dahulunya begitu akrab di mata Severus. “Terutama setelah apa yang terjadi antara kau dan James. Kau dan aku… dan James.”

Di luar kesadarannya, raut muka Severus mengeras. Seolah perkataan Lily ini baru saja menonjok ulu hatinya. Well, yeah, aku sendiri juga tidak percaya, kata Severus dalam hati. Namun alih-alih menanggapi Lily, ia memilih untuk bungkam dan menatap makam tajam-tajam, seakan jasad kaku James di dalam sana baru saja melontarkan hinaan keji kepadanya.

“Tapi itu sudah lama berlalu. Yeah, sudah lama sekali,” lanjut Lily, terdengar seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri.

Severus membalasnya dengan anggukan pelan. Ia tak tahu harus berkomentar apa. Malahan, ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Ironis memang. Belasan tahun lamanya ia masih tetap mendambakan Lily, mencintai wanita itu dengan segenap hatinya, dan bahkan lewat mimpi-mimpi indah yang ia dedikasikan kepada wanita cantik berambut merah itu. Namun saat mereka benar-benar bisa bertemu di alam nyata, semua perasaan mendalam yang pernah ada di diri Severus seolah tersapu habis.

Kini hati Severus terasa kebas. Mati rasa. Entah angin mana yang telah berhasil menerbangkan semua angan dan asanya, namun ketika ia berada begitu dekat dengan Lily, sosok yang pernah ia anggap sebagai cinta pertamanya yang tak pernah mati, ia tak lagi merasakan apapun. Aneh memang.

Atmosfer yang ada di antara mereka saat ini pun seolah mendukung. Kaku dan canggung, meski keduanya tengah berdiri berdampingan. Baik Lily maupun Severus tak banyak bicara. Mereka berdua saling mendiamkam, memilih untuk sama-sama menatap batu nisan James di hadapan mereka dengan perasaan mereka masing-masing terhadap satu sama lain.

“Sev…” Akhirnya Lily memutuskan untuk membuka pembicaraan lagi. “Apa… apa kau…”

“Ya?”

“Apa kau pernah menikah?”

Refleks, Severus mengangkat wajahnya. Pertanyaan yang tidak diduganya akan keluar dari bibir indah Lily. Bibir Severus sempat terbuka untuk beberapa saat, namun otaknya tidak sejalan dengan bibirnya. Ia tak mampu berkata apa-apa selain. “Menurutmu bagaimana?”

Mata hijau Lily mengamati ekspresi Severus yang membeku. Sorotnya seolah bermaksud untuk mencairkan kebekuan dan sekaligus menuntut pria itu agar tidak lagi bersikap dingin terhadapnya. Didorong oleh perasaan hampa di hatinya, Severus memberanikan diri untuk balas menatap sepasang mata hijau yang berkilau indah bagai jamrud itu, mata yang dahulu pernah begitu memikatnya. Namun sekali lagi, ia tak merasakan apapun begitu tatapan mereka saling bertautan.

“Tidak. Kurasa tidak,” jawab Lily, tanpa melepaskan pandangannya. “Dan kuharap itu bukan karena aku.”

Severus hanya tersenyum pahit. Ia tahu kalimat terakhir Lily ini hanya ditujukan untuk bergurau. Namun untuk masalah yang satu ini bibirnya sudah terkunci rapat, meski itulah yang sebenarnya terjadi. Karena cintanya kepada Lily—atau setidaknya itu yang ia pikirkan, sampai sekarang ia belum pernah menikah. Bahkan menjalin hubungan yang serius pun belum pernah, sampai ia mengenal Hermione Granger. Hermione Granger, nama yang melintas di kepalanya dengan rasa pedih. Ia sudah menyakiti gadis itu dan kini mendadak ia merasa amat sangat bersalah.

“Jadi, bagaimana denganmu sekarang setelah… James pergi?” Severus berusaha menambahkan dua kata terakhir ini dengan ekspresi dan nada suara sewajar mungkin. “Maksudku, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Kurasa aku akan pindah ke London dan mendampingi Harry yang akan segera bertugas sebagai Auror pekan depan. Tentu banyak yang harus ia persiapkan, padahal ia baru saja kehilangan ayahnya. Anakku membutuhkanku ada di sisinya. Yeah, kurasa itu yang akan kulakukan. Setidaknya sejauh ini hanya itu yang terpikirkan, mencari kesibukan di tempat yang ramai seperti London, agar aku tak perlu duduk diam sendirian di rumah menunggu James pulang…” ucapan Lily terputus.

Mendadak wanita itu membekap mulutnya sendiri, menahan tangis. Kedua bahunya bergetar lemah, menandakan ia berusaha keras agar terlihat tegar di hadapan Severus.

Untuk sesaat, Severus hanya memandangi raut duka mendalam di wajah Lily. Ia mendegar suara terisak lirih dan mendadak saja sepasang mata hijau itu memerah. Berharap yang dilakukannya ini benar, Severus meraih salah satu pundak Lily dan merengkuhnya ke dalam pelukannya.

Disclaimer:I dont owe this image

“Tak apa-apa, Lily. Semuanya akan baik-baik saja,” gumam Severus seraya mengusap-usap punggung wanita itu. Well, ia sendiri tak yakin dengan apa yang ia ucapkan ini.

Wangi tubuh Lily dan kehangatan yang tersalurkan saat tubuh mereka begitu rapat mau tak mau membuat kenangan Severus terlempar ke masa lalu, di mana ia bebas memeluk Lily tanpa ada beban dan Lily menyambutnya dengan sukarela. Saat itu tak ada pembatas di antara mereka. Tak ada James maupun Hermione. Kenikmatan yang terasa pun sungguh berbeda. Kali ini pelukan yang didapat Severus terasa hambar, seakan ia sedang memeluk wanita yang benar-benar asing baginya.

“Semuanya tak akan pernah sama lagi, Sev…” kata Lily sambil memisahkan diri dan menepis lembut kedua tangan Severus. “Tidak akan pernah sama lagi bagiku.”

Wanita berambut merah itu mendongak menatap langit dan menarik nafasnya dalam-dalam beberapa kali. Sesekali ia memejamkan kedua matanya seraya mengigit bibir bagian bawahnya. Butuh waktu beberapa menit baginya untuk membuka mulut dan berucap dengan suara bergetar, “Karena James… tak akan pernah bisa tergantikan…”

Jika Lily mengatakan hal ini belasan tahun yang lalu, pasti ubun-ubun Severus seketika mendidih, terbakar api cemburu. Namun kali ini Severus menerimanya dengan hati yang kebas, seakan kalimat yang bermakna sangat dalam ini tak begitu berarti baginya. Sama halnya dengan hembusan angin yang baru saja membelai daun telinganya.

“Aku tahu. Aku selalu tahu.”

“Tapi hidup harus terus berjalan, benar, Sev? Dan aku tak bisa hanya terlarut dalam kesedihan, karena ada banyak hal yang harus kujalani. Kehilangan James adalah sebuah kehilangan besar bagiku dan juga bagi anakku, Harry. Begitu pula dengan semua orang yang dekat dan menyayangi James. Kami semua akan selalu merindukannya. Meski kebersamaanku dan James harus berakhir sampai di sini, aku yakin pada akhirnya suatu hari nanti kami akan kembali bersama. Sampai saat itu tiba, sampai ajalku menjemput dan mengantarku kembali ke sisi James, kurasa aku akan terus hidup bersama dengan semua kenangan indah kami.”

Severus mengangguk perlahan. Ada sedikit kelegaan di hatinya mengetahui Lily bisa menerima kepergian James dengan ikhlas. Wanita itu justru terlihat begitu tegar, nyaris tidak membutuhkan dukungan dari siapapun untuk menghadapi cobaan hidupnya ini.

“Aku ikut berduka untuk James,” tutur Severus jujur. “Dan simpatiku untuk kau dan juga untuk anakmu.”

“Terima kasih, Sev. Aku menghargainya. Sungguh.”

“James… Dia pria yang hebat dan dia juga pergi dengan cara yang hebat pula. Semua orang akan mengenangnya sebagai seorang pahlawan. Juga seorang suami dan ayah yang baik bagi kau dan anakmu. Aku iri kepadanya.”

Sekali lagi Lily tersenyum sambil menyeka kedua matanya yang berair. Meski ia mulai terbiasa dengan kalimat-kalimat penghiburan belaka seperti ini, ia tahu kalau Severus mengungkapkannya dengan tulus. Sementara langit mulai gelap dan semburat kemerahan yang ditinggalkan matahari sebagai jejaknya sebelum tenggelam membuat suasana pemakaman berangsur-angsur sunyi dan seram, Lily justru merasakan hal yang sebaliknya.

“Sudah malam. Sebaiknya kita segera pergi dari sini,” kata Severus, memecah keheningan.

Berdampingan dengan Lily, Severus berjalan menyusuri deretan nisan. Pikiran dan hatinya yang semula berkecamuk kini perlahan menghilang bersamaan dengan langit yang semakin kelam. Langkah demi langkah yang membawanya menjauh dari nisan James terasa semakin ringan. Ada sebuah pelepasan yang membuat perasaan Severus begitu lapang dan lega. Ia tak tahu mengapa dan bagaimana. Namun ini terjadi begitu saja.

“Apa kau ingin langsung pulang, Sev?”

Severus menghentikan langkahnya, tertegun. Saat ini ia dan Lily sedang berada di tepi sebuah jalan raya yang lengang, di bawah penerangan lampu jalan yang temaram. Sementara di sekitar mereka hanya ada satu-dua orang yang melintas dengan terburu-buru.

“Apa ada seseorang yang sedang menunggumu di rumah saat ini?” tanya Lily lagi.

Salah satu alis Severus terangkat, memikirkan jawaban terbaik yang bisa terdengar meyakinkan. Jawaban yang paling jujur untuk pertanyaan ini adalah tidak. Ia akan menjawab “ya” jika Hermione masih bersamanya. Akan tetapi, jika Severus menjawab sebaliknya, ia dapat memprediksi kemana arah pembicaraan mereka selanjutnya. Maka dari itu Severus hanya menjawab pertanyaan Lily ini dengan senyuman misterius.

“Kalau aku mentraktirmu minum di Three Broomstick, bagaimana? Aku ingin tahu apa saja yang kau lakukan sejak terakhir kali kita bertemu. Begitu banyak waktu yang sudah terlewat. Sering aku teringat padamu dan memikirkan apa kabarmu. Sudah lama kita putus kontak. Belasan tahun, Sev.”

Sepasang mata kelam dan tajam Severus menatap Lily dengan keraguan. Keningnya berkerut-kerut. Dalam hatinya Lily bertanya-tanya mengapa Severus terkesan terlalu hati-hati dan menjaga jarak terhadapnya. Di setiap kesempatan yang ia sodorkan, pria berambut hitam klimis itu tampak terlalu banyak berpikir untuk menjawab. Hal ini semakin menguatkan dugaan Lily bahwa Severus telah memiliki seseorang di sampingnya. Seorang wanita yang sudah berhasil menggantikan posisi dirinya sebagai pengisi ruang hati Severus.

“Tidak. Kurasa aku tak bisa. Maaf, Lily,” jawab Severus setelah terdiam selama satu-dua menit.

Minum berduaan dengan mantan kekasih yang baru saja menjanda bisa mengundang perpektif negatif dari orang-orang yang mengenali kami di Three Broomstick nanti, pikir Severus logis.

Meski biasanya Severus termasuk tipe orang yang cuek, tapi ia sudah lama meninggalkan sikap tak acuhnya ini sejak Hermione datang ke dalam hidupnya. Gadis itu banyak mengingatkannya agar lebih peduli terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, bahwa kini Severus tidak lagi hidup seorang diri. Ia punya Hermione yang sangat peduli kepadanya, dan juga ingin dipedulikan olehnya.

“Baik. Aku mengerti kalau kau harus menjaga perasaan pasanganmu,” kata Lily ramah, menyunggingkan senyum manisnya yang sekarang berubah menjadi senyum geli. “Oh sudahlah. Tak perlu berpura-pura, Sev. Aku bisa melihat perubahan di wajahmu yang datar itu. Kau sedang berusaha untuk tidak tersipu.”

Severus memilih untuk menyembunyikan rona di wajahnya dengan berpura-pura memandangi toko perlengkapan binatang peliharaan di sudut jalan dan mendadak teringat kepada Crookshanks yang harus segera diberi makan. Seandainya Hermione masih ada bersamaku, mungkin gadis itu yang akan melakukannya. Jika ia sampai tahu Crookshanks terlambat diberi makan, pasti ia akan semakin marah kepadaku, batin Severus cemas.

“Jadi… siapa dia, Sev? Apa aku mengenalnya?”

“Kau akan terkejut jika kau sampai mengenalnya, Lily,” balas Severus tanpa bermaksud untuk menyombong, meski entah sadar atau tidak, terselip sedikit kebanggaan dalam nada bicaranya. Lily pun menyadari hal ini.

“Bisa kubayangkan itu. Selain beruntung, dia pasti hebat. Lebih hebat dariku, mungkin. Karena aku mengenalmu, Sev. Kau tak mudah untuk ditaklukkan.” Lily mengakhiri godaannya dengan menonjok pelan bahu Severus.

Untuk kali ini Severus tersenyum. Ia tak ingin berkomentar banyak. Di sisi lain ia setuju dengan sebagian besar dari perkataan Lily barusan, atau malah keseluruhannya. Hermione adalah gadis yang hebat, dan ia bodoh apabila melepaskan gadis itu begitu saja.

“Baiklah. Kau pelit informasi, Sev. Masih misterius dan banyak menyimpan rahasia, bahkan dariku sekalipun.” Lily terlihat agak kesal sekaligus penasaran. “Pokoknya suatu saat kau harus memperkenalkannya kepadaku!”

Severus mengangkat kedua alisnya. Ia tak bisa menjanjikan hal ini. Mempertemukan Lily dengan Hermione bisa saja akan memicu perang antar galaksi, setelah apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. “Kita lihat saja nanti, Lily.”

“Oke…” sekali lagi Lily tersenyum, dan sesaat kemudian ia terdiam cukup lama sebelum berkata dengan ekspresi serius. “Aku ikut bahagia untukmu. Sungguh.”

“Terima kasih.”

“Dan sekarang kurasa sudah saatnya aku pergi, Sev. Sampai jumpa.”

Severus membiarkan Lily memeluknya. Bukan pelukan antara sepasang kekasih seperti dulu tentunya, hanya pelukan perpisahan antara dua orang kawan lama. Severus tahu benar itu dan ia tak akan mengharapkan lebih.

“Ada satu hal yang ingin kukatakan sebelum kau pergi, Lily,” kata Severus begitu Lily melepaskan pelukannya. “Terima kasih.”

“Kau sudah mengucapkan itu tadi,” balas Lily, tersenyum tipis.

“Tidak. Terima kasih. Sungguh. Bisa berjumpa lagi dan berdekatan selama beberapa menit denganmu adalah sebuah keajaiban bagiku. Andai saja kau tahu betapa aku sangat mengharapkan untuk bisa bertemu denganmu lagi sejak kita dulu berpisah. Untuk mengatakan bahwa aku masih memendam rasa yang sama dan aku tidak merelakanmu bersama James. Bahwa dulu aku pernah berpikir aku tak bisa hidup tanpamu. Bahwa dulu aku pernah ingin tetap bersamamu sampai kapan pun.”

“Sev…”

“Dulu sempat terpikir olehku untuk mencarimu. Namun aku mengurungkannya karena ada banyak sakit hati, kemarahan, dan konflik yang terjadi di antara kau, aku, dan James. Aku takut akan terjadi hal yang jauh lebih buruk lagi jika aku nekat melakukannya. Belasan tahun lamanya aku mengutuk diriku sendiri, beranggapan aku hanya akan berakhir sebagai seorang pria yang ditemani rasa penyesalan seumur hidup. Aku bersalah sudah melampiaskannya dengan cara yang keliru dan berdosa… Sampai dia datang dalam hidupku…”

“Wanita pasanganmu sekarang?” tanya Lily, masih tampak kaget dengan penuturan Severus, namun ia mulai bisa mencerna apa yang ingin diutarakan pria itu.

“Ya.” Severus mengangguk.

“Wow…” Lily mengusap dahinya, tampak terpukau sekaligus terhenyak mendengar semua perkataan Severus. “Kau benar-benar tak pernah berhenti mengagetkanku, Sev…”

Severus mengangkat kedua bahunya, tersenyum setengah terpaksa. “Salah satu dari sekian keahlianku, kurasa.”

“Sejujurnya, aku tak pernah berhenti memikirkanmu sejak perpisahan kita. Tapi apa yang selama itu kupikirkan tentangmu tentu berbeda dengan apa yang kau pikirkan tentangku, Sev. Aku tidak berpikir untuk kembali kepadamu. Aku punya kehidupan sempurna yang selama ini kuimpikan bersama James dan Harry. Maaf…” Lily menahan nafas sebelum melanjutkannya dengan hati-hati. “Aku hanya berpikir apakah kau juga bernasib sama denganku? Apakah kau bisa hidup berbahagia, pada akhirnya?”

“Kau tidak tahu betapa sulitnya itu, Lily…”

“Ya. Aku tidak tahu. Tapi aku tahu kalau kau menjalani masa terburuk dalam hidupmu selama bertahun-tahun. Bahkan, sebenarnya, diam-diam aku melacakmu. Aku tahu apa profesimu sebelum ini…”

Detak jantung Severus seakan terhenti seketika. Ia terhuyung mundur beberapa langkah dan menghindari sorot prihatin di mata Lily. Satu hal yang tidak disadari Severus saat ia berpaling adalah sorot mata Lily tidak hanya memancarkan keprihatinan, tetapi juga rasa penyesalan yang mendalam.

“Maafkan aku, Sev. Aku hanya… Aku tidak tahu apa akibat dari kepergianku terhadapmu… Mungkin aku tidak bisa ikut merasakan sakit hatimu, tapi… Aku pun ikut sakit saat melihatmu harus melayani wanita-wanita…”

“Tapi itu sudah berakhir, Lily,” potong Severus lantang. “Lagipula aku menjadi pria penghibur dengan tujuanku sendiri.”

“Maafkan aku, Severus Snape. Sungguh. Aku berdosa kepadamu.”

“Itu adalah pilihanku sendiri, Lily Potter. Pilihanku sendiri. Dosaku sendiri,” tegas Severus. “Dan andai saja aku memilih jalan lain, aku tak akan bisa bertemu dengan kekasihku yang sekarang. Dia—kami saling menerima apa adanya dan aku bahagia bisa menemukannya. Meski harus menunggu selama belasan tahun dengan berkubang dalam lembah dosa, ini terasa setimpal. Dia adalah titik nadirku.”

“Aku mengerti…”

“Maka tak ada lagi dendam dan rasa berdosa di antara kita.”

“Yeah,” Lily mengangguk. Raut mukanya terlihat begitu damai dan lega. “Semoga kalian berdua hidup berbahagia.”

“Sampai jumpa, Lily,” kata Severus, pada akhirnya, sebelum ia berbalik dan menghilang bersama hembusan angin malam, berapparate langsung ke depan pintu rumahnya di ujung jalan Spinner’s End.

Namun alih-alih langsung masuk ke dalam rumah, Severus justru berdiri termangu di depan pintu masuk, dan beberapa saat kemudian ia memilih untuk duduk di undakan tangga menuju pintu masuk rumahnya. Memikirkan apa yang baru saja terjadi tadi membuat kepalanya terasa pening. Berjumpa dengan Lily secara tiba-tiba dan menemukan kenyataan menyedihkan bahwa selama ini diam-diam Lily tahu bahwa ia menjadi pria penghibur demi melampiaskan sakit hatinya, membuat kepala Severus semakin berat. Mungkin ia harus minum ramuan pereda nyeri lagi sebelum tidur.

Semenjak kepergian Hermione, ia memang mengalami susah tidur. Bagaimana bisa ia tidur nyenyak, menyadari sisi ranjang satunya kosong? Tapi susah tidur bukanlah satu-satunya hal nyata yang dirasakannya sebagai akibat dari ketiadaan Hermione bersamanya.

Tak ada lagi bunga segar yang biasa diletakkan Hermione tiap pagi di ruang baca dan ruang tidur. Bunga itu memang selalu diganti dengan bunga yang baru oleh Hermione setiap harinya, namun entah mengapa gadis itu selalu memilih bunga Anemone. Sempat terpikir bahwa Anemone adalah bunga favorit Hermione, tapi itu sebelum Severus tahu apa arti yang terkandung di baliknya.


bunga Anemone

“Entah ini hanya perasaanku atau sepertinya kau selalu menambahkan satu tangkai bunga lagi setiap kali kau mengganti bunga di vas, sayang. Kemarin ada enam tangkai, dan sekarang ada tujuh. Kemarinnya lagi juga begitu. Bukankah lebih baik kau langsung mengisi vasnya dengan banyak tangkai sekaligus?” tegur Severus pada suatu hari.

“Aku senang kau memperhatikannya. Tapi aku ingin kau lebih dari sekedar memperhatikannya. Kau tahu kalau aku tak pernah melakukan sesuatu tanpa maksud, kan?” balas Hermione ringan. “Anemone merah ini tidak sekedar cantik, Sev.”

Dan sehari setelah Hermione meninggalkannya, barulah Severus menyadari apa maksud gadis itu dengan Anemonenya. Dalam bahasa bunga, Anemone berarti “Aku sungguh-sungguh mencintaimu.” Hermione selalu menambahkan jumlah bunga di dalam vas setiap harinya untuk menegaskan bahwa setiap harinya, dia semakin mencintai Severus. Inilah yang menambah berat beban di hati Severus. Kenapa ia tidak menyadarinya dari dulu?



“Ah sudahlah…” gumam Severus lirih.

Ia semakin menggigil dan bisa segera membeku dalam hitungan menit kalau tidak lekas masuk ke rumah. Di saat yang bersamaan perutnya terasa lapar. Walau mungkin ia harus memasak dahulu makan malamnya sendiri, setidaknya makan malamnya tidak akan terasa hambar kurang garam atau hangus seperti masakan Hermione. Meski begitu, kali ini sebenarnya Severus sangat merindukan masakan Hermione yang tidak terlalu enak itu.

Aroma yang hangat dan wangi seketika tercium begitu Severus membuka pintu. Untuk sesaat pria itu tertegun di ambang pintu. Apakah ini artinya? Ya, ini artinya, tegas Severus dalam hati. Hermione sudah kembali.



Bersambung ke chapter selanjutnya…


A/N : Terima kasih banyak khususnya untuk dewirunaway dan ChibiProngsie yang sudah mereview fanfic ini di akhir bulan April kemarin. Jujur, kalau saja kalian tidak mereview, bisa jadi fanfic ini tidak akan aku lanjutkan karena aku sudah hilang mood gara-gara sesuatu yang terjadi di dunia nyata. Tapi mengetahui bahwa ternyata masih ada yang bersedia menunggu kelanjutan fanfic ini, aku sudah janji pada diriku sendiri kalau apapun yang terjadi, ga peduli berapa lama, tapi fanfic ini harus diteruskan sampai tamat. Terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah memasukkan fanfic ini sebagai cerita favoritnya, dan lain-lain. Terima kasih untuk teman2 sesama penggemar Severus Snape yang sudah ‘merangsang’ aku dengan imajinasi liar mereka n membangkitkan minatku lagi. Severus memang luar biasa! ^^V

Beowulf

Beowulf (2007)



Film animasi yang bener-bener bagus kalo dilihat dari sisi grafisnya. Bener-bener realistis. Sampai-sampai di awal nonton, aku sempet mikir kalo aku sudah salah download film non-animasi. Saking miripnya gambarnya dengan gambar orang sungguhan. Apalagi setiap detilnya juga ditampilkan dengan bagus, sampai setiap bulu dada, janggut, rambut, dan mata. Memang sih, untuk sinar mata dan beberapa ekspresi belum terlihat manusiawi. Masih agak mirip robot atau boneka. Tapi memang itulah yang membedakan film animasi dengan film live-action. Mungkin kalau dibuat bener-bener kaya orang 100 % mah ngapain pake animasi segala, langsung pake orangnya sekalian aja. Scara biaya film animasi kan mahal tuh. Hehe...

Kalau ga salah, Beowulf ini diangkat dari puisi kuno bangsa Denmark, cmiiw. Bercerita tentang seorang pahlawan pemberani pembasmi monster bernama Beowulf yang datang ke sebuah kerajaan yang sedang diganggu oleh monster mengerikan dan sadis bernama Grendel. Alkisah, Beowulf berhasil mengalahkan dan membunuh Grendel ini. Tapi tanpa diketahui Beowulf, Grendel punya seorang ibu yang juga berwujud monster, yang berencana untuk membalas dendam. Beowulf di sini digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berambisi untuk menjadi orang besar n hebat, dan ambisi inilah yang dimanfaatkan ibu Grendel untuk memperdaya Beowulf. Sesuai taglinenya 'Pride Is The Curse', garis besar cerita ini sebenarnya mirip pesugihan di Indonesia. Beowulf yang pengen jadi orang raja yang hebat, dihormati banyak orang, dan banyak harta, memilih untuk mengambil jalan pintas dengan mengadakan perjanjian dengan ibu Grendel, tanpa menyadari kalau ada kutukan yang akan datang suatu hari nanti di kerajaannya. Kalo sinopsis lengkapnya, mending langsung ke IMDB aja ya? Coz aku cuma pengen ngereview tentang film itu sendiri dari sudut pandang awam. ^^

Btw, film ini sama sekali tidak cocok buat anak di bawah umur, karena jelas-jelas di sini banyak adegan bugil (waktu Angelina Jolie muncul sebagai ibu Grendel n menemui Beowulf di sarangnya), adegan-adegan pelecehan kepada wanita, adegan sadis waktu melawan monster, dan ucapan-ucapan seronok. Hmm, mungkin karena disesuaikan dengan setting waktunya kali ya? Seingetku, setting waktu film ini mengambil masa-masa awal sebelum ajaran Kristus masuk ke eropa timur. Cmiiw.

Untuk filmnya, aku download di indowebster. Tapi entah kenapa kok sepertinya udah dihapus. Padahal kualitasnya udah DVD.Rip

Untuk subtitlenya yang aku terjemahin sendiri secara manual dan bukan google translate ada di sini

Merry Madagascar

Sejujurnya rada bingung juga mau posting tentang apa lagi kali ini. Tapi setelah ngelihat beberapa film hasil download di folderku, mendadak jadi kepengen bikin review.

Merry Madagascar (2009)




Film ini masih bercerita tentang Alex si singa, dan kawan-kawannya yang terdampar di sebuah pulau tropis yang indah, Madagascar. Diawali dengan niatan Alex dkk yang masih ingin pulang ke New York dan akhirnya membuat sebuah balon udara, tapi malah disangka sebagai ‘Red Night Goblin’ oleh bangsa lemur. Balon udara Alex ditembak jatuh dan lagi-lagi mereka gagal pulang ke New York. Usut punya usut, ternyata Red Night Goblin yang dimaksud King Julien adalah Santa Claus, dan karena kesalahpahaman, tanpa sengaja Alex menembak jatuh Santa Claus yang sedang melintas di atas pulau Madagascar. Santa Claus kena amnesia dan lupa semuanya. Natal terancam kacau sampai akhirnya Alex dkk memutuskan untuk menggantikan tugas Santa Claus dan mengantarkan semua hadiah kepada seluruh anak-anak di dunia, berharap bisa menumpang pulang sekalian ke New York.

Secara grafis dan cerita, film berdurasi kurang lebih 20 menit ini masih tetap kocak. Karakter-karakternya yang unik juga tetap menggelitik. Yang paling disayangkan mungkin durasinya yang terlalu pendek. Hehe…

Menerjemahkan subtitlenya sendiri juga ga terlalu banyak kesulitan. Malah bisa nemu beberapa bahasa slank yang sebenarnya sayang juga kalo diterjemahkan ke Indonesia. Di subscene, terjemahanku belum dikomen. Kalo misal bersedia, plis dikomenin ya? ^^

Untuk filmnya aku download di sini

Subtitle Indonesia yang aku terjemahkan sendiri, diketik manual dan bukan google translate ada di sini.