The Best Gift Ever

Credit to Usagistu



A/N : Dalam rangka menyambut Ultah Severus Snape yang ke-51 yang jatuh tepat tanggal 9 Januari ini, saya memberanikan diri menulis fic ini. Mungkin judulnya terkesan payah dan critanya ga terlalu penting, tapi yah… mohon dimaklumi aja. Coz saya udah lama banget ga nulis alias rehat gara2 kesibukan di dunia nyata. Apapun reviewnya, saya terima dengan senang hati. Selamat membaca! ^^



The Best Gift Ever



"Selamat ulang tahun, Severus!"

Salah satu kening Severus terangkat. Kedua mata kelamnya menatap lekat-lekat wanita berambut keriting lebat yang berdiri di hadapannya. Alih-alih membalas ucapan selamatnya tadi, ia malah berujar, "Profesor Granger, apa yang kau lakukan tengah malam begini?"

Hermione atau profesor Granger—mengingat wanita itu sudah mengajar Rune Kuno selama beberapa tahun terakhir ini—menghela nafas panjang. Senyum manis di wajahnya berubah menjadi senyum jengkel. Ia balas menatap tajam Severus. Sepasang mata coklat almondnya berkilat-kilat. Severus benci mengakuinya, tapi hal ini justru membuat Hermione semakin terlihat cantik.

"Well, menurutmu apa? Aku berdiri di depan pintu masuk bilikmu sambil membawa kue tart dengan lilin ulang tahun menyala di atasnya dan juga sekotak hadiah. Oh, dan ini sudah bukan tengah malam lagi, dearest. Sekarang sudah dini hari. Lebih tepatnya, tanggal sembilan Januari dini hari!"

"Jika benar ini memang dini hari, love, kurasa kau harus mengecilkan volume suaramu," balas Severus datar, berusaha keras menyembunyikan seringainya. "Aku tak ingin seisi kastil terbangun dan ikut-ikutan memperingati hari di mana seorang Snape dilahirkan untuk meneror seantero Hogwarts. Kita berdua tidak ingin berbagi duka dengan mereka, kan?"

Dia ingat—Hermione ingat, batinnya puas.

Sembilan Januari. Hari yang baginya tak banyak bermakna. Hari di mana ia selalu menyadarinya dengan sebal dan penuh gerutu kalau umurnya sudah bertambah satu tahun. Sembilan Januari adalah hari ulang tahunnya, yeah. Hari celaka, dan wanita ini—wanita cantik yang sedang berdiri di hadapannya ini—bukan hanya sekedar ingat, tapi juga menganggap hari ini pantas untuk dirayakan.

"Maaf," ucap Hermione setengah berbisik, kali ini sembari tersenyum tipis. "Aku hanya ingin jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu."

"Tak perlu separanoid itu. Aku yakin kau orang pertama dan satu-satunya yang mengucapkannya pada hari ini." Sudut bibir Severus sedikit terangkat, nyaris membentuk cibiran, kebiasaan buruk yang susah sekali dihentikan.

"Kau tahu itu tidak benar, Severus." Kening Hermione berkerut, wajah cantiknya menampilkan ekspresi tidak setuju.

Seraya membuka pintunya lebat-lebar dan mempersilahkan Hermione masuk, Severus memilih untuk tidak berkomentar. Well, ia tahu Hermione benar, dan sepertinya wanita sok tahu itu memang selalu benar. Bukan hanya dia saja yang akan mengucapkan selamat ulang tahun pada Severus hari ini. Orang pertama, ya. Satu-satunya, tidak.

Setelah masa kegelapan berakhir dan seluruh masyarakat sihir di Britania Raya mengetahui kalau selama ini Severus selalu berpihak kepada Dumbledore dan Orde of Pheonix, keadaan pun berubah drastis. Bukan hanya medali penghargaan Order of Merlin kelas dua saja yang diterimanya, ia juga dihujani pujian dan dielu-elukan sebagai seorang pahlawan. Bahkan, ada sebuah klub penggemar bernama 'Snapelette' yang dibentuk khusus untuk menghormatinya.

Jujur, semua perhatian ini membuat Severus muak. Hal yang sebenarnya sangat diinginkannya tiada lain adalah hidup tenang, damai, dan tertutup. Bukannya hidup di bawah sorot lampu panggung bak seorang selebriti seperti sekarang. Namun, seperti yang pernah dikatakan Hermione padanya—yeah, lagi-lagi wanita itu mengatakan hal logis sesuai dengan apa yang juga dialaminya sendiri—Severus harus mulai membiasakan diri dan memakluminya. Mau tak mau, kini ia punya pencitraan baru di mata publik, dan ini berarti gunungan hadiah, karangan bunga, dan kartu ucapan selamat sedang dalam perjalanan menuju ke biliknya.

Severus mengantarkan Hermione ke ruang tengah dan mengawasi wanita itu meletakkan kue tart dan hadiahnya di atas meja. Ia menunggu dalam diam sampai Hermione membalikkan badan untuk kemudian memeluknya hangat.

"Selamat ulang tahun, Severus!"

"Kau sudah mengucapkannya tadi," komplain Severus datar, balas memeluk Hermione dan menyambut ciuman manisnya.

Insiden ramuan penangkal Amortentia yang terjadi beberapa bulan yang lalu membuat status hubungan mereka berubah, dari sekedar kolega menjadi sepasang kekasih. Severus bukan orang yang munafik. Dia orang yang pesimistis. Dulunya, ia menganggap dirinya tak pantas untuk dicintai siapapun. Dengan sifatnya yang antisosial, sarkas, dan tak bersahabat, ditambah lagi masa lalunya yang kelam sebagai seorang mantan Pelahap Maut, Severus tak akan heran kalau para wanita akan kabur berlarian ketika ia datang mendekat.

Bahkan, jika ada orang yang berkata kalau suatu hari akan ada seorang wanita cantik yang jatuh ke pelukan Severus, ditambah lagi wanita itu lebih muda sembilan belas tahun darinya, Severus pasti akan mengirim orang itu ke St Mungo setelah mengutuknya jadi kodok berkutil terlebih dahulu. Akan tetapi, lihatlah Severus Snape sekarang ini…

"Kadang aku ingin menjadi seorang Legilimens sepertimu," ucapan Hermione membuyarkan lamunannya. "Kau selalu tampak menyembunyikan banyak hal dariku. Terutama di saat kita sedang berduaan. Kurasa aku berhak tahu apa yang sedang kau pikirkan."

Severus menatap lekat-lekat ekpresi cemas yang tersirat di wajah kekasihnya. Ia menghela nafas, menggerutu lirih begitu tahu apa yang muncul di kepala wanita itu saat ini.

"Aku tidak sedang memikirkan dia, love. Aku tidak sedang memikirkan tentang Lily Evans." Lidah Severus terasa kelu. Sudah lama sekali ia tidak menyebut nama itu. "Tidak lagi sejak aku… kita berhubungan. Meski kau dan dia punya beberapa kesamaan, bagiku kau bukan sekedar pengganti dirinya. Kau takkan bisa menggantikan sesuatu yang tak pernah kumiliki, benar?"

Kedua mata Hermione yang tadinya diselimuti kecemburuan bercampur kekhawatiran kini kembali bersinar cerah. Senyum manisnya kembali mengembang.

"Orang yang tidak mengenalmu akan berpikir kau punya hati, dearest," godanya, seraya membelai dada bidang Severus.

"Siapa bilang aku punya hati, darling? Kukira kita sama-sama tahu kalau kau sudah mencurinya dariku," balas Severus, menyeringai. "Tapi mengingat aku masih punya reputasi yang harus kujaga di sini, sebaiknya kita merahasiakannya rapat-rapat."

Hermione tertawa kecil dan memberi Severus kecupan sekali lagi. Ia mengerang lirih ketika Severus memperdalam ciumannya. Ia balas mengulum bibir bagian bawah kekasihnya dan menggigitnya pelan, sebelum membiarkan lidah Severus membelai lembut permukaan bibirnya dan masuk untuk berduel dengan lidahnya. Severus menggumam memprotes saat Hermione menjauhkan bibirnya darinya. Tanpa terasa mereka memang sudah bercumbu selama beberapa menit dan nyaris kehabisan nafas, tapi Severus belum juga bosan berlama-lama mengulum bibir kekasihnya itu.

"Saatnya meniup lilin," bisik Hermione dengan nafas memburu.

Severus menjilat bibirnya yang basah dan terasa membara akibat cumbuan panas tadi, keningnya berkerut-kerut. "Meniup lilin? Untuk apa?"

"Dalam tradisi Muggle, jika kau meniup lilin ulang tahun sambil mengucapkan harapanmu dalam hari, maka harapanmu akan terkabul," jelas Hermione sabar. Ia menjentikkan tongkatnya pelan, membuat semua lilin yang ada di atas kue tart menyala secara serentak. "Nah, sekarang tiuplah! Jangan lupa berharap dalam hati!"

Tetapi Severus malah diam mematung. "Serius, Hermione. Untuk apa? Aku sudah punya semua yang kuinginkan saat ini. Reputasi, kehormatan, jauh dari Azkaban, dan yang terpenting sekaligus paling mustahil, aku punya kau di sisiku. Tak ada lagi yang kuinginkan, karena sepertinya semua harapanku sudah dikabulkan."

Mengabaikan semburat merah jambu yang muncul di kedua pipinya, Hermione menggumam, "Buatlah harapan apa saja, dearest, dan cepat tiup lilinnya."

Severus memutar bola matanya. Dia tidak suka didekte, apalagi oleh wanita. Bagaimanapun juga, dia adalah pria yang arogan, suka mendominasi, dan penganut sistem Patrialisme. Maka sambil menggerutu jengkel, ia memikirkan satu harapan yang sekiranya bisa segera terwujud. Di saat itulah sorot mata tajamnya tertuju pada jubah biru tua yang sedang dikenakan Hermione.

Menyeringai samar, Severus membatin. Aku berharap bisa melihat sendiri apa yang ada di balik jubah itu.

Hermione bertepuk tangan antusias setelah Severus meniup semua lilinnya hingga padam tak bersisa dalam sekali tiup. Ia tak menghiraukan tatapan sebal kekasihnya itu. Sejak awal, Severus sudah tahu kalau ia memang bossy, dan seharusnya pria itu bisa memakluminya.

"Ada apa, Severus? Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Aku ingin membuka hadiahku sekarang, darling," kata Severus dengan nada dalam dan berbahaya. Ada kilau misterius di mata kelamnya yang membuat jantung Hermione sontak berpacu kencang dan bulu romanya berdiri. "Oh, bukan. Bukan itu yang kumaksud." Severus menggeleng ketika Hermione menyodorkan kotak hadiah darinya. "Yang kumaksud adalah kau. Aku ingin membuka 'bungkusmu', sweet."

Seketika itu Hermione menelan ludahnya dengan agak kesulitan. Kedua kakinya terasa lemas, seolah meleleh akibat sorot lapar dan suara bernada dingin-tapi-seksi Severus. Tanpa sadar, Hermione mundur satu-dua langkah. Severus mengikutinya perlahan-lahan, seperti seekor pemangsa yang hendak menerkam buruannya.

"Aku pria yang tak punya banyak kebutuhan, witch. Tapi apapun yang aku inginkan, pasti akan kudapatkan, dan aku menginginkanmu sekarang."

Nafas Hermione seakan terhenti. Ucapan Severus ini membuat organ kewanitaannya mendadak basah. Ia harus susah payah meredam antusiasmenya. Yeah, aneh memang. Tapi mengingat kharisma Severus yang kuat, ditambah lagi tatapan mata tajamnya yang seolah bisa melumerkan apa saja, tak heran kalau ia mampu membuat Hermione terangsang bahkan sebelum ia menyentuhnya.

"A—aku tak tahu apakah aku siap…"

Hermione tak melanjutkan ucapannya. Tak ada gunanya berbohong. Toh sudah lama sekali ia ingin melakukan kontak fisik yang 'lebih' ketika bermesraan dengan Severus. Hanya sekedar berciuman dengan Severus lama-lama membuatnya frustrasi, dan kini ia penasaran. Jangan-jangan Severus membaca apa yang ada di dalam pikirannya ini.

"Severus, aku malu!" sergah Hermione ketika kedua tangan Severus terulur ke arahnya, berniat melucuti jubahnya. Hermione menggigit bibir bagian bawahnya. Dia tahu kalau penolakannya ini terkesan payah, karena sebenarnya ia malu tapi mau. Wajahnya pasti sudah merah padam saat mendengar Severus tertawa lirih.

"Apa yang membuatmu malu, love?"

Sembari menahan nafasnya (sekaligus berusaha meredam hasratnya), Hermione menjawab, "Well… Aku tahu aku tidak cantik, Severus. Tubuhku terlalu kurus, pinggulku kecil, pantat dan dadaku datar… Aku tidak ingin membuatmu kecewa setelah melihatnya secara langsung."

Setelah mengatakan itu, Hermione menunduk dalam-dalam, takut mengetahui bagaimana reaksi Severus.

Ia kehilangan keperawan di saat usianya masih 18 tahun, dan sayangnya ia melakukannya bukan dengan pria yang tepat—sesuatu yang sangat disesalinya sampai sekarang.

Justin—nama pria itu—adalah pria baik dan pintar. Segalanya terasa sangat menyenangkan bersamanya, termasuk juga saat berhubungan intim dengannya. Namun itu sebelum Hermione tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Justin dengan teman-temannya. Dia masih ingat benar Justin menyebut aktivitas pribadi mereka sebagai 'bercinta dengan papan setrika'. Kejujuran memang menyakitkan, lebih sakit dari sengatan Screwt Ujung-Meletup. Tapi itulah yang dirasakan Hermione saat itu. Sakit hati dan perih luar biasa.

"Hermione, lihat mataku," pinta Severus lirih, mengangkat lembut dagu mungil kekasihnya. "Apa kau sudah pernah bercermin akhir-akhir ini?"

Hermione membalas sindiran Severus dengan tertawa kecil. "Severus…"

"Hermione!" potong Severus, ekspresinya berubah serius. "Bagiku kau sempurna, love. Kau cantik, pintar, dan tak ada yang salah dengan tubuhmu. Hanya idiot berselera rendah yang menganggap sebaliknya, dan aku bukan idiot." Severus berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang. "Justru akulah yang tidak pantas untukmu. Aku ini jelek, tua bangka, dan berkepribadian buruk. Tubuhku sendiri pun jauh dari sempurna. Terlalu tinggi dan kurus, seperti tiang gawang Quidditch."

"Sekali lagi aku tidak setuju denganmu, dearest. Aku juga bisa mengatakan hal yang sama untukmu. Kau jenius, pemberani, pemikir yang hebat, dan mahir mengendalikan emosi. Tak banyak penyihir yang punya kualitas sepertimu. Ada puluhan, bahkan ratusan kelebihanmu yang tidak dipunyai pria lain. Aku mencintaimu apa adanya, Severus. Termasuk semua kekuranganmu." Hermione membungkam protes Severus dengan mengecup bibirnya mesra. "Kau belum tua. Kau juga tidak jelek, dan kuyakinkan kau, tiang gawang Quidditch jelas tak ada apa-apanya dibanding dirimu."

"Kasus ini selesai, kalau begitu." Severus menyuguhkan senyuman langkanya. "Sekarang aku sudah bisa membuka 'bungkusmu', kan?"

Hermione terkesiap ketika menyadari apa yang terjadi pada jubahnya—atau lebih tepatnya, apa yang terjadi pada penutup auratnya. Jubahnya lenyap, digantikan dua utas pita panjang dan tebal yang melintang secara tegak lurus, hanya menutup bagian dada dan kewanitaannya saja. Dan di tengah-tengah tubuhnya, persisnya di bagian perutnya, kedua ujung pita tersebut membentuk sebuah simpul.

"Hadiahku," kata Severus, menyeringai tipis. "Kau hadiah terbaik yang pernah kudapat, darling…" Tanpa menghiraukan pekik kaget Hermione, Severus bergegas menggendong tubuh kekasihnya itu ke kamar tidurnya. "…dan aku ingin segera 'membukamu' di atas ranjangku."

EL EXTREMO