Kenapa harus SevMione?

Severus Snape and Hermione Granger

Disclaimer:I dont owe this fanart


Dalam dunia fanfic fandom Herry Potter, ada banyak pairing yang bertebaran. Kalau canon atau sesuai buku, antara lain : Harry-Ginny, RonMione (Ron-Hermione), dan lain-lain. Sedangkan dalam fanon (tidak sesuai buku),ada aliran slash dan het. Slash yaitu fanfic yang mempairingkan pasangan dengan jenis kelamin yang sejenis. Slash yang populer dalam fandom Harry Potter antara lain adalah Drary (Draco-Harry), SBRL (Sirius Black-Remus Lupin), dst. Sedangkan untuk Het, antara lain adalah Dramione (Draco-Hermione), SevMione (Severus Snape-Hermione Granger), dst.

Nah, di dalam blog ini, sepertinya saya memang sengaja memposting FF dengan pairing SevMione ini. Lalu apa alasannya? Jujur, saya suka dengan pairing yang banyak sekali-perbedaannya seperti ini. Dulu saya sempat suka dengan Dramione selama bertahun-tahun, tapi untuk ikutan membuat pairing itu rasanya saya selalu gagal membuat karakter Draco yang in character. Alih-alih menghasilkan Draco yang glamor, flamboyan, dan baddas, yang ada malah Draco yang lemah lembut... Maka dari itu, saya bersumpah pada diri sendiri, tidak akan membuat pairing ini sebelum bisa benar-benar meresapi kharakter Draco Malfoy yang sebenarnya. Saya juga kurang begitu suka dengan fanfic-fanfic yang bertebaran di banyak tempat, yang menggambarkan Draco dengan begitu out of characternya. Fanfic setipe dengan High School Musical, kalo boleh saya bilang, atau teenlit banged. Sejauh ini yang bisa saya sarankan untuk author Dramione yang bagus di Indonesia adalah fanfic milik dua author kaliber, Apocrief dan Ambudaff. Karena mereka bisa meramu chemistry Dramione dengan begitu menyentuh.

Well, kembali ke SevMione, seperti halnya dengan Dramione, SevMione mengandung begitu banyak perbedaan. Begitu kompleks. Dan inilah yang membuat pairing ini sebenarnya begitu menarik. Di luar negeri, pairing ini juga sangat populer, tidak kalah populernya dengan fanfic Dramione yang di Indonesia sudah seperti jamur di musim hujan (meski ga semua jamurnya bagus). Apa saja perbedaannya itu? Mari kita jabarkan.

Severus Snape dan Hermione Granger punya perbedaan umur yang lumayan jauh. Seinget saya, Severus Snape lahir di tahun 1960. Sedangkan Hermione Granger lahir 19 tahun kemudian. Jadi perbedaan umur mereka ini membuat mereka terlihat seperti pasangan bapak-anak, daripada pasangan kekasih. So what? Toh usia bukanlah halangan bagi seseorang untuk mencintai orang lain, kan? Di negeri ini sendiri, banyak sekali pasangan suami-istri yang juga beda umur sampai 10-20 tahun, atau lebih. Saya tidak membicarakan tentang Syeh Puji ya... Yang itu mah kebacut banged... *digorok* Di FF saya sendiri, saya selalu menuliskan Hermione sebagai gadis berusia 20 tahun, di mana dia sudah mature, cukup umur, dan punya pikiran sehatnya sendiri untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Sementara, Severus Snape berumur 39 tahun. Dia masih belum terlalu tua, bahkan berada di usia yang matang dan mapan bagi ukuran pria. Faktanya, pria yang berumur 30-40an itu biasanya justru lagi ganteng-gantengnya, dan punya kedewasaan yang mengagumkan. Pria itu seperti wine. Makin tua makin enak. *halah*

Severus Snape dan Hermione Granger adalah Guru dan Murid. So what? Toh banyak kan murid yang naksir sama gurunya sendiri. Bagi seorang murid, figur seorang guru itu adalah figur yang punya daya tarik tersendiri. Guru itu berwawasan luas, patut dijadikan teladan, dan punya hubungan yang dekat dengan mereka. Di fanfic saya sendiri sih, karena mengambil setting AU (alternative universe), diceritakan bahwa Hermione dan Severus awalnya tidak saling kenal, dan juga bukan guru atau murid. Yah, suatu saat mungkin saya akan kepikiran untuk nulis fanfic tentang SevMione yang punya hubungan guru-murid.

Severus Snape dan Hermione Granger adalah pasangan yang berbeda karakter. Jelas... Satunya Slytherin dan satunya lagi Gryffindor. Severus sendiri selalu digambarkan sebagai karakter yang dingin, misterius, punya pikiran yang tidak tertebak, sinis, berlidah tajam, dan luar biasa jenius (karena bisa berperan sebagai agen ganda). Tapi di balik itu semua, dia punya masa lalu yang sangat kelam dan menyakitkan. Seperti yang diketahui para fans Harry Potter, Severus Snape juga punya masa kecil yang hampir sama buruknya dengan Harry Potter. Severus kecil hidup dalam keluarga yang broken home dan menerima siksaan secara psikis dari orangtuanya yang sering bertengkar, bahkan mungkin juga siksaan fisik. Lalu saat ia bersekolah di Hogwarts, dia bukan murid yang populer dan cenderung dijauhi. Murid yang suka dibully/dianiaya oleh geng James Potter cs. Di saat yang sama, Severus punya love interest, cinta pertama, cinta sejati dan juga cinta satu-satunya, Lily Evans, yang ujung-ujungnya malah memilih untuk nikah dengan musuh terbesar dia, James Potter. Dengan begitu, maka bayangkan saja Severus Snape ini sebagai pria yang hidupnya sudah hancur luar-dalam. Sulit sekali bagi dia untuk membuka hatinya pada wanita lain.

Kebalikan dari Severus, Hermione Granger itu (keliatannya sih) lahir di keluarga yang harmonis. Dia dikelilingi oleh teman-teman yang menyayanginya, dan guru-guru yang selalu memperhatikan dia. Hermione adalah murid yang luar biasa cerdas dan sangat ingin tahu. Dia juga punya tekad yang kuat, keberanian, dan kesetiakawanan yang bukan main. Hampir mirip dengan karakter Lily Evans yang juga digambarkan sangat pintar di Hogwarts. Hermione juga sempat jadi prefek, sama seperti Lily. Sifat Hermione lainnya yang juga mirip dengan Lily adalah dia tipe cewe yang serius dan cenderung galak, tapi punya hati yang hangat.

Sejujurnya saya salut dengan keberanian fanficcer asing yang berani untuk membuat bermacam-macam pairing unik dan aneh, termasuk juga SevMione ini. Dalam hati, saya sadar kalau membuat pairing SevMione dalam bahasa indonesia adalah sesuatu yang tidak mudah. Belum banyak orang yang suka dengan pairing ini, meski saya yakin banyak sekali penggemar Severus dan Hermione di indonesia ini. Banyak orang masih mencibir perbedaan umur antara Severus dan Hermione. Dulunya, waktu awal-awal saya menulis Love Game dan mempairingkan Severus-Hermione banyak yang menganggap ff saya itu cuma buat lucu-lucuan saja. Buat guyonan atau entah apa, yang jelas waktu itu banyak menertawakan. Well, buat saya sendiri, yang lucu itu justru adalah sifat kolot dan tidak mau terbuka melihat sebuah perbedaan. Perbedaan itu indah loh. Mungkin kalau saya datang dengan konsep Dramione, saya tidak akan ditertawakan seperti itu. Tapi buat apa saya harus menyerah dengan tuntutan pasar yang memang lebih memfavoritkan pairing Dramione. Hell, orang harus punya ideologi. Dan kalau tidak ada yang berani membuat terobosan dan penawaran baru, selamanya ide itu cuma akan monoton dan tak berkembang.

I'm Officially Yours Chapter 6

Chapter 6


Kejutan


Disclaimer:Credit to Azraelgeffen for this lovely fanart. This is AWESOME!



Severus Snape berdiri diam di depan pintu toko bahan ramuannya, melamun. Meski suasana Diagon Alley masih ramai malam ini, toko itu sengaja tutup lebih awal dari biasanya sebagai hadiah untuk Severus dan para pegawai yang sudah membantunya bekerja keras selama beberapa bulan terakhir ini. Beberapa bulan terakhir ini Severus memang selalu giat bekerja dan lembur hampir tiap hari, hingga akhirnya pada hari ini, tepatnya sore ini, ambisinya tercapai juga. Ia tahu betul kalau setiap impian pasti butuh pengorbanan besar untuk meraihnya, dan ia sudah menjalani semua pengorbanan itu dengan suka rela. Kini, yang tertinggal hanyalah bagaimana cara terbaik untuk mengutarakan hal ini kepada kekasihnya, Hermione Granger. Gadis itu pasti masih marah kepadanya setelah sikapnya yang begitu dingin tadi sore. Padahal, andai saja gadis itu tahu apa yang selama ini dilakukan Severus untuknya...

Dengan perasaan yang campur aduk, Severus mengayunkan tongkat sihirnya, membuat pintu toko dan jendela etalasenya menutup sendiri, kemudian merapalkan mantra-mantra rahasia untuk mencegah tokonya itu dibobol maling. Prince's Apothecary, nama toko bahan ramuan milik Severus itu memang bukan toko yang besar. Meski begitu, mengingat prospek cerah yang menunggu dan beberapa proyek besar yang sedang dikerjakan di sana, bukan tidak mungkin akan ada orang iseng yang tergoda untuk membuat ulah. Mengenai nama toko itu sendiri, well... pada awalnya Severus sempat memikirkan gelar yang dibuatnya sendiri semasa sekolah, The Half-Blood Prince -- Pangeran Berdarah Campuran, namun karena rasanya nama itu terlalu mencolok untuk dijadikan sebuah nama toko bahan ramuan, akhirnya Severus lebih memilih nama belakang ibunya dulu, Prince, sebagai nama tokonya. Nama yang bagus. Glamor dan terkesan penuh percaya diri. Sebagaimana itulah yang ingin dikesankan Severus kepada semua orang tentang tokonya.

Sekali lagi Severus memandangi bangunan tokonya yang tidak terlalu besar jika dibandingkan toko di kanan-kirinya. Ada kepuasan tersendiri di wajahnya. Toko itu adalah sumber mata pencaharian halalnya setelah keluar dari lembah hitam, dan mengenang perjuangannya di awal-awal mendirikan toko itu membuat perasaan Severus menghangat di tengah suasana dingin di musim salju begini. Tak terasa hampir setahun ia mengelola toko itu. Belum lama, tapi kemajuannya lumayan pesat. Dia sudah punya lima orang pegawai dan reputasi tokonya bisa dibilang berada sedikit di bawah Slug and Jiggers Apothecary, toko bahan ramuan terbesar dan paling terkenal di Diagon Alley. Tidak buruk untuk sebuah toko yang baru berumur hampir setahun.

"Hai..."

Sapaan canggung dari seseorang yang berdiri di balik punggung Severus sedikit mengusik pria itu. Severus tak perlu berpikir lama untuk mengetahui siapa yang baru saja menyapanya ini. Tentu saja ia tahu betul siapa itu. Bahkan ia selalu ingin berada bersamanya, dan ingin selalu melakukan segala hal yang terbaik untuk orang tersebut.

"Hai," Severus membalikkan badannya dengan gerakan kaku dan bersikap seolah-olah tidak terkejut, meski jantungnya justru berdebar-debar aneh. Ia tak bisa memungkiri kalau ada sensasi menyenangkan yang dirasakannya begitu menyadari kehadiran sang penyapanya ini. Perasaannya pun nyaman dan tentram. Di luar sadarnya, Severus tersenyum tipis. "Hai, Hermione."

Hermione Granger, kekasihnya, memandangi Severus dengan sorot yang susah ditafsirkan. Lewat mata coklatnya yang berbinar itu saja, Severus sudah bisa merasakan pancaran kehangatan dalam diri gadis itu. Severus belum pernah berterus terang bahwa ia sangat menyukai sinar di mata Hermione itu. Sinar mata yang menunjukkan semangat dan optimisme. Meski begitu, di balik wajah cantiknya yang cerah itu, masih ada sisa-sisa kekesalan di sana. Menyadari ini, Severus jadi merasa tidak enak hati. Dia bisa memahami kenapa Hermione pantas kesal kepadanya.

"Kau menyusulku kemari?" tanya Severus, mencoba untuk tetap terlihat tenang sambil memasang raut tidak bersalah.

"Kau keterlaluan, Sev. Sudah tidak mau memuji kerja kerasku seharian membereskan rumah, tidak mau makan malam bersamaku di rumah, dan pergi begitu saja tanpa menciumku. Kau pikir kau bisa semudah itu kabur dariku?" balas Hermione, tersenyum masam. Kedua tangannya mengepal kuat.

Mengingat kejadian sore ini memang membuat hatinya bergolak. Dia masih kesal dan sebenarnya belum ingin memaafkan Severus. Namun setelah berhadapan langsung dengan Severus, mencermati bagaimana tenang dan kalemnya pria itu, mendadak kekesalan Hermione luruh. Gadis itu merutuk di dalam hati, menyesali kenapa ia selalu tidak bisa benar-benar marah kepada Severus. Terakhir kalinya ia marah besar kepada pria itu, kemarahannya hanya bertahan tiga hari saja, dan berakhir dengan kembalinya ia ke pelukan Severus. Bagaimanapun menyebalkannya dia, pria berhidung bengkok dan berambut hitam klimis itu seolah punya daya magnetik yang mampu menariknya kembali.

"Tidak. Tentu saja tidak, Mione." Severus meraih pinggang ramping Hermione dan mencium hangat kening gadis itu. “Tidak mudah kabur darimu. Aku tahu itu.”

Ekspresi kesal di wajah Hermione kini berubah. Yeah, dia masih ingin melabrak Severus, tentu. Tapi ciuman hangat di keningnya seolah menebarkan sensasi aneh yang membuat otaknya kacau dan jantungnya berdegup. Kini ekspresi kesal itu digantikan oleh ekspresi yang kurang lebih sama seperti yang ditunjukkan Hermione setiap kali ia mengucapkan tiga kata ajaibnya. Tiga kata ajaib yang sanggup menggetarkan dinding hati Severus yang kokoh dan tebal.

"Aku merindukanmu, Sev."

Oh, ingin sekali Severus mengucapkan hal yang sama. Mustahil ia tidak merindukan Hermione. Satu jam tanpa gadis itu di sisinya saja sudah terasa seperti seabad. Kepindahan Hermione ke rumahnya sekitar seminggu yang lalu justru tak bisa memupus kerinduan ini, karena Severus tetap harus selalu menghabiskan waktunya di toko, dan juga karena kepergian mendadak Hermione beberapa hari yang lalu. Namun bukan Severus Snape jika ia terang-terangan blingsatan karena kangen. Pria itu tetap saja berdiri terpaku di tempatnya, menatap Hermione lekat-lekat, dan dengan tersenyum samar ia berkata datar, "Tadi kan kita sudah bertemu di rumah."

"Itu benar. Tapi..." Hermione tak bisa menyembunyikan rona merah jambu di kedua pipinya dan juga senyum malu-malunya, salah satu hal yang membuat Severus harus mati-matian meredam rasa gemasnya. "Tapi entah kenapa aku masih merindukanmu."

Tanpa sepatah kata terucap, Severus meraih kedua tangan Hermione yang tidak dilindungi sarung tangan, menggenggamnya erat, dan meniupkan nafasnya yang hangat agar kedua tangan itu tidak lagi kedinginan. Ia melakukannya tanpa melepaskan pandangannya ke mata Hermione, berharap gadis itu bisa merasakan kerinduan yang juga melandanya lewat tatapan itu. Dulu, mungkin Severus piawai melontarkan rayuan kepada wanita mana pun yang menyewa jasanya. Namun kini, pria itu merasa sebanyak apapun rayuan yang ia ucapkan untuk kekasihnya ini, tetap saja tidak akan cukup merepresentasikan seberapa besar dan dalamnya penghargaan dan penghormatannya kepada gadis itu. Maka dari itu Severus memilih untuk bungkam, membiarkan kedua matanya saja yang berbicara. Toh, mata adalah jendela hati, kan?

"A... Aku tahu ucapanku tadi terdengar bodoh," ujar Hermione lirih, rona di wajahnya semakin kentara. Ia melirik kanan-kirinya dengan gelisah. "Tapi berpegangan tangan di emperan toko di saat Diagon Alley masih ramai begini..."

"Kau benar," balas Severus kalem, refleks melepaskan genggamannya.

Beberapa orang yang berjalan melewati mereka tampak curi-curi pandang ke arah mereka. Ada juga yang malah terang-terangan mengamati mereka berdua dengan tatapan ingin tahu. Severus menggerutu di dalam hatinya. Memangnya orang-orang itu tidak pernah melihat orang asyik berpacaran apa? Maka tanpa banyak bicara lagi, tangan kanan Severus terulur untuk menggandeng tangan Hermione. Ia ingin mengajak Hermione lekas-lekas pergi dari situ, sebelum orang-orang itu mengira mereka berdua akan melakukan suatu atraksi atau apa.

"Omong-omong, sedang apa kau di sini?" tanya Severus, setelah saling mendiamkan selama beberapa saat. Kini mereka sedang berjalan berdampingan menyusuri keramaian Diagon Alley di malam bersalju.

"Aku berbelanja untuk persiapan kita ke reuni. Membelikanmu jubah pesta dan lain-lain," ujar Hermione, tersenyum pahit. Ia merasa ragu untuk menceritakan hal memalukan yang baru saja dialaminya tadi, tapi ia pikir Severus harus tahu tentang ini. "Twilfitt and Tatting's. Kau tak akan percaya bagaimana cara mereka memperlakukanku tadi. Seolah aku tak punya cukup uang saja. Seolah-olah aku ini... sampah..."

"Mereka hanya menyukai pembeli yang berdarah murni..." mendadak Severus memutus ucapannya, teringat fakta bahwa Hermione adalah kelahiran-Muggle, jenis kaum yang selalu menjadi korban diskriminasi di dunia sihir. Mengingat hal ini dan membayangkan bagaimana perlakuan diskriminatif yang diterima Hermione di toko itu, mau tak mau membuat batin Severus tersayat. Ia selalu benci dan muak dengan kalangan darah murni yang selalu menganggap diri mereka sebagai kalangan kelas atas. Tapi ia mengurungkan niatnya untuk serta merta pergi melabrak manager Twilfitt and Tatting's. Bagaimanapun juga, itu bukanlah hal yang bijak. Karena itulah, demi menjaga perasaan Hermione yang sedang gundah, Severus berkata dengan hati-hati. "Aku sendiri jauh lebih menyukai koleksi Madam Malkin's, Mione. Kau tahu?"

"Oh, tentu aku tahu itu, Sev. Tapi aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Untuk reuni kita lusa, aku ingin kau tampak hebat di depan semua orang. Semula kukira Twilfitt and Tatting's punya jubah pesta yang bagus, karena itulah aku pergi ke sana. Tapi yang ada di sana hanyalah jubah-jubah dengan harga selangit dan pelayan yang ketus." Hermione merasakan genggaman tangan Severus semakin erat, seolah ingin menentramkan perasaan kecewa gadis itu. "Maka pada akhirnya aku beralih ke Madam Malkin's. Setelah beberapa jam yang hampir membuat frustrasi dan disodori puluhan lembar jubah beraneka model, aku menemukan jubah pesta yang sangat pantas untukmu. Sangat indah dan berkelas. Tidak terlalu mahal, tapi bahan dan jahitannya bagus sekali. Kainnya saja terasa halus. Aku hanya meminta tambahan beberapa detil, dan mereka akan mengirimkannya besok pagi ke rumah. Semoga saja kau akan menyukainya, Sev."

"Terima kasih, Mione." Severus menghentikan langkahnya sejenak untuk memandangi wajah Hermione. Ia bersimpati atas keteguhan Hermione, yang sampai rela bersusah payah dan dihina-dina hanya untuk mendapatkan jubah pesta terbaik demi Severus. "Kau memang gadis yang pantang menyerah."

"Untukmu, Sev, aku tidak akan pernah menyerah," balas Hermione, bibir manisnya menyunggingkan senyum penuh arti.

Severus jarang menyanjung Hermione, dan ini membuat setiap patah kata pujian yang terlontar dari mulut pria itu sama mahalnya dengan emas murni. Severus seakan punya berbagai cara untuk membuat perasaannya menjadi jauh lebih baik. Pria itu punya sesuatu dalam dirinya yang selalu mampu membuat Hermione nyaman dan aman di sampingnya. Kini Hermione merasakan sisa-sisa kekesalannya sore ini sudah lenyap tak bersisa. Sepertinya, untuk sekian kalinya ia bisa memaafkan Severus.

Sementara itu, hawa semakin terasa dingin ketika salju mulai turun di Diagon Alley, membuat kawasan pertokoan para penyihir itu terlihat semakin indah dengan kombinasi cahaya lampu, selimut salju putih, langit malam yang kelam, dan rintik-rintik salju dari langit. Sementara penyihir-penyihir yang lalu lalang di sekitar mereka pun masih sibuk memburu kebutuhan mereka, tampak tak begitu peduli dengan hujan salju ini, .

"Kurasa kau harus memakai ini, Sev," ujar Hermione sambil melilitkan ujung syalnya yang panjang ke leher Severus. Malam ini ia memang sengaja mengenakan syal yang panjang sekali sampai menjuntai nyaris ke pertengahan betis. Rupanya syal itu ada juga gunanya. Dia bisa berbagi syal dengan kekasihnya, membuat kesan romantis dan manis. Tapi sebenarnya syal itu bukanlah syal biasa. Itu adalah Syal Pengikat Pasangan yang ia beli dari Toko Lelucon Sihir Gambol and Japes, sebuah toko yang juga terletak di Diagon Alley. Syal itu masih produk baru dan belum banyak beredar, sehingga ada banyak kemungkinan bahwa Severus tidak mengetahuinya.

"Terlihat seperti syal wol bulu domba biasa, nona. Tapi fungsinya akan berubah menjadi semacam pasung kalau pasangan kita menunjukkan gelagat ingin kabur dari sisi pemakai syal ini," jelas gadis pelayan toko lelucon sihir yang melayani Hermione tadi. "Agak ekstrim, memang. Tapi ini akan sangat berguna bagi para wanita yang bermaksud mengajak kekasih mereka menemui calon mertuanya, kalau anda mengerti maksudku."

Saat itu Hermione hanya tersenyum simpul. Membayangkan syal indah dan lembut itu berfungsi sebagai pasung yang akan mengikat leher Severus agar tidak bisa kabur darinya adalah hal yang sedikit menggelikan dan agak berlebihan. Namun gadis cantik berambut coklat itu tidak ingin Severus main pergi begitu saja meninggalkannya seperti yang terjadi sore ini. Maka tanpa banyak pikir, ia pun membeli syal itu. Hanya untuk sekedar berjaga-jaga, sih.

Entah Severus menyadarinya atau tidak, namun raut mukanya sedikit menunjukkan penolakan saat Hermione melilitkan syal itu ke lehernya. "Lehermu bisa kebas nanti. Kau bisa masuk angin," kata Hermione, memaksa secara halus sehingga Severus tidak bisa berkutik.

"Menurutmu, apa tidak berlebihan? Aku tidak ingin terlihat konyol..." Severus mengamati syal yang melilit kedua leher mereka seperti sebuah kain penghubung. Ia tersentuh dengan perhatian Hermione, tapi entah mengapa firasatnya jadi tidak enak.

Hermione pura-pura tidak mendengar keluhan ini, dan mengalihkan perhatiannya ke Eeylops Owl Emporium yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. Toko khusus burung hantu itu terlihat sedang ramai. Cuaca yang tidak menentu di musim dingin begini rupanya menyebabkan banyak burung hantu jatuh sakit dan membuat para pemilik mereka kelabakan.

"Sebenarnya... aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, Mione," ujar Severus, agak risih dengan syalnya, namun ia tetap berusaha terlihat berwibawa di depan Hermione.

"Well, padahal aku juga ingin mengajakmu ke suatu tempat." Kedua alis Hermione terangkat. Pada awalnya ia memang bertekad untuk mengajak Severus pergi merayakan hari jadi mereka entah bagaimana pun caranya. Ia sudah siap jika memang harus menyeret Severus dari dalam tokonya, atau meluncurkan mantra Petrificus Totalus. Bagi Hermione, akan sangat keterlaluan kalau Severus tetap nekat bekerja meski sudah tahu bahwa hari ini adalah hari di mana tepat setahun mereka berpacaran.

"Tempatnya tidak jauh dari sini kok." Severus tersenyum tipis, menggandeng tangan kanan Hermione. "Ayo. Kutunjukkan padamu."

Dengan langkah mantap, Severus membimbing Hermione menerobos jalanan yang cukup ramai. Di depan beberapa toko, seperti toko kuali dan toko peralatan Quidditch, terlihat kerumunan orang. Tampaknya sedang ada peluncuran beberapa produk baru malam ini. Bergandengan dengan Severus di tengah suasana yang hiruk-pikuk begini tidak hanya membuat Hermione merasa aman, tapi juga mencegahnya jatuh terpeleset. Permukaan jalan yang licin diselimuti es tipis memang patut diwaspadai. Beberapa kali Hermione nyaris tergelincir kalau saja Severus tidak sigap menahan tubuhnya.

Mereka sudah berjalan melewati toko es krim Florean Fortescue, toko si pembuat tongkat sihir Ollivander, dan beberapa toko lainnya yang juga sedang ramai. Hermione tidak tahu kemana Severus hendak membawanya. Tapi yang ia tahu pasti hanyalah mereka sedang berada di area yang paling ramai dari Diagon Alley, dan terakhir kali ia mengunjungi tempat ini beberapa bulan yang lalu, ada salah satu toko yang terlantar ditinggalkan oleh pemiliknya.

"Nah, ini dia," ujar Severus dengan ekspresi berpuas diri dan nada bangga yang tak bisa disembunyikan.

Hermione memandangi bangunan toko yang berada tepat di hadapan mereka. Tampaknya itu adalah sebuah toko buku yang hampir selesai direnovasi. Dinding bagian luarnya berupa dinding batu yang dicat pastel, dengan kusen jendela berwarna keemasan membingkai etalasenya yang lebar dan masih kosong, dan pintunya dari kayu eboni yang hitam mengkilap. Perpaduan warna bangunan dan padanan cahaya lampu di etalasenya ini membuat penampilan toko itu jadi terlihat segar dan mencolok ketimbang toko-toko berdinding kusam di kanan-kirinya. Dari luar, Hermione bisa melihat kalau bagian dalam toko itu masih belum banyak terisi. Ada beberapa rak buku tinggi yang masih kosong melompong, beberapa kardus besar yang tertumpuk rapi, sebuah meja kasir, beberapa sofa empuk berwarna merah dengan bantal, dan sebuah perapian yang belum dinyalakan.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Severus. "Kau suka?"

Hermione mengangguk pelan. Ia mulai paham. Jadi Severus sudah membeli toko yang dulunya terlantar itu dan kini merenovasinya hingga tampak begitu menarik. Itu bagus, pikir Hermione. Namun ada satu hal yang mengganjal pikirannya. Severus bukanlah pria dengan selera seperti anak muda begini. Ia tidak suka warna-warni mencolok mata. Severus adalah pria yang membosankan dan dingin, berbeda jauh dengan kesan yang ingin ditunjukkan oleh toko di hadapan mereka ini, berwarna cerah ceria seperti kobaran api dan sepertinya terkesan agak feminim.

"Err... toko ini belum ada namanya, Sev..." Hermione berusaha menipis keraguannya walaupun sulit. Well, ia memang punya rasa ingin tahu yang besar sekali.

"Memang sengaja belum kuberi nama," balas Severus tenang, menatap papan nama berwarna merah cerah di bagian atas toko itu. "Karena kaulah yang harus menamai toko ini, Mione."

"Apa?"

"Ya, Hermione. Toko buku ini milikmu," terang Severus, tersenyum tipis dan memandangi lekat-lekat wajah Hermione yang kini sedang kaget bukan main.

Gadis berambut coklat itu masih saja diam terpaku dengan kedua tangan membekap mulutnya sendiri. Masih kaget bercampur tak percaya. Tubuh kekasihnya itu agak gemetar saat Severus merangkulnya, dan mau tak mau ini membuat Severus merasa sedikit bersalah. Dia sudah merahasiakan hal ini sejak berbulan-bulan yang lalu saat mereka berdua melintas di depan toko yang dulunya terlantar ini.

"Sayang sekali toko dengan lokasi strategis begini ditinggalkan begitu saja," komentar Hermione waktu itu. Kedua matanya yang coklat bening menyiratkan sorot prihatin. "Padahal kalau dikelola dengan bagus oleh orang yang tepat, bisa jadi toko ini akan sangat ramai, kan, Sev?”

"Kuharap begitu," balas Severus datar, sementara otaknya sedang bekerja keras.

Membeli toko itu untuk wanita yang dicintainya tersebut bukan perkara yang mudah. Selain harganya yang mahal, bangunan itu sudah tua dan butuh renovasi di sana-sini. Atap yang bocor, dinding yang berlubang, cat yang mengelupas, dan banyak lagi. Di saat yang sama, Severus tidak bisa menghabiskan tabungannya begitu saja. Toko bahan ramuannya sendiri saja masih perlu suntikan modal sewaktu-waktu dan dia tak boleh mengambil resiko. Karena itulah Severus memutuskan untuk bekerja mati-matian, lembur hampir setiap hari, dan berusaha keras menyabet proyek-proyek besar yang punya prospek cerah di kemudian hari. Menyuplai bahan ramuan untuk sebuah rumah sakit di Dublin dan menjalin kemitraan dengan penanggung jawab medis tim nasional Quidditch Peru adalah proyek besar yang sedang ditanganinya sekarang.

Konsekuensi logis dari kerja kerasnya ini tentu saja adalah berkurangnya frekuensi pertemuannya dengan kekasihnya, Hermione, selama berbulan-bulan. Meski, dia masih bisa menyisakan waktu di tengah malam untuk meladeni gadis cantik itu, sebenarnya Severus sangat kepayahan dan kelabakan. Namun semua itu dilakukannya dengan tulus dan tanpa mengeluh. Ia rela karena cintanya yang sangat mendalam, dan berpikir kalau hanya inilah yang bisa ia lakukan untuk menunjukkannya kepada Hermione. Severus tahu ia tidak terlalu mahir mengumbar kata-kata manis di depan gadis itu, tapi ia bisa menunjukkannya lewat perbuatan yang nyata. Toko inilah buktinya.

"Kurasa aku harus minta maaf sudah membuatmu begitu kesal sore ini. Tapi... cicilan toko ini jatuh tempo pada hari ini, dan aku butuh uang untuk segera melunasinya atau pemiliknya akan membatalkan perjanjian jual beli. Karena itulah aku harus tega meninggalkanmu untuk bekerja, mengingat klienku akan menyetorkan pembayaran hari ini…" ucapan Severus terputus. Hatinya mencelos saat mendengar suara isak tertahan kekasihnya, berpikir kalau ia sudah membuat gadis itu sedih lagi. "Oh, Hermione... Maafkan aku... Aku menyesal sudah main rahasia lagi... Tapi..."

"Bukan begitu!" balas Hermione dengan nada tinggi, menahan emosi. Gadis itu menunduk dalam-dalam, menolak untuk menatap penyesalan di mata Severus. "Aku kesal dan kecewa kepada diriku sendiri, Sev! Selama ini aku sudah berpikir buruk tentangmu dan berprasangka macam-macam. Sementara kau malah berusaha mati-matian demi aku. Aku benci diriku sendiri! Aku kira kau tega meninggalkanku demi pekerjaanmu. Aku kira kau egois dan semena-mena. Aku marah pada diriku sendiri karena sudah berpikir sekejam itu tentang dirimu!"

Hermione merasakan dadanya seolah ditoreh-toreh pisau tajam. Ia tahu betul seperti apa rasa penat yang selalu dibawa pulang oleh Severus selama seminggu ini tinggal bersama pria itu. Bahwa sepertinya makin hari Severus makin kurus dan kelelahan saja. Tapi pria itu selalu memaksakan dirinya untuk terlihat baik-baik saja di mata Hermione. Tak ada satu pun keluhan atau penolakan setiap kali Hermione meminta sedikit perhatian darinya. Padahal, andai saja ia bisa tahu lebih awal, bukan hanya seminggu itu saja Severus bekerja keras membanting tulang, melainkan sudah berbulan-bulan lamanya. Tentunya itu adalah sebuah pengorbanan besar.

"Aku ini wanita, Sev. Aku butuh dipeluk, dibelai, dan disayangi," tuntut Hermione saat melihat Severus sedang bersantai-santai di atas sofa sehabis pulang kerja, tampak acuh kepadanya. "Menjadi sekedar kekasihmu itu belum cukup bagiku."

Saat itu Severus tidak banyak berkomentar. Ia hanya langsung menanggalkan sikap acuhnya dan menemani Hermione naik ke atas ranjang, memberinya kehangatan dan belaian kasih sayang di sana. Sebanyak apapun limpahan cinta yang Hermione minta, Severus bersedia memberikannya. Inilah yang membuat Hermione tak bisa membendung rasa sedihnya. Ada apa dengan isi kepalanya yang selalu ia banggakan? Kenapa ia tidak peka? Kenapa ia tidak curiga? Ataukah memang kelihaian Severus menutupi dan menyembunyikan semua ini secara rapi yang membuatnya terlena? Mendadak saja Hermione merasa kalah telak oleh Severus. Pria yang umurnya hampir dua kali lipat umur Hermione itu memang jauh mengunggulinya dalam hal pengalaman hidup.

Severus sempat tercenung. Ungkapan penyesalan Hermione ini diluar dugaannya. Tadinya ia mengira Hermione akan langsung memeluknya dan mengucapkan terima kasih banyak, atau apalah itu, sebagaimana seorang wanita biasa mengungkapkan kegembiraannya mendapat hadiah dari kekasih mereka. Bukannya malah menangis seperti ini.

Menahan rasa bingungnya, Severus memutuskan untuk memeluk dan mengusap-usap punggung kekasihnya itu. Sudah jauh-jauh hari ia menanamkan kerelaan untuk berkorban demi Hermione, dan ia tidak menuntut Hermione apapun sebagai balasannya. Bagaimana pun juga, gadis itu tetap mau bersamanya saja itu sudah cukup bagi Severus. Apalagi mengingat sifatnya yang buruk selama ini, Severus tidak menyangka akan ada gadis yang tahan dengannya. Terutama gadis seperti Hermione, yang selain cantik, terpelajar, dan berasal dari kalangan baik-baik, juga punya sifat yang hangat, penyayang, pemberani, dan teguh pada pendiriannya. Tipe wanita yang memang dibutuhkan Severus untuk mengimbangi sifat pasif, dingin, dan pendiamnya.

"Sebenarnya yang kau benci hanyalah kekalahan, Mione," cibir Severus, mendekap Hermione semakin erat. Isak tangis gadis itu sudah reda dan kini ia sudah tenang. "Kau benci aku mengalahkanmu, karena aku jauh lebih pintar darimu."

Hermione mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. Ekspresinya campuran geli dan gemas mendengar ucapan Severus ini. Tampaknya pria berambut klimis itu memang tidak akan pernah bisa meninggalkan sinismenya sehari saja, tak peduli seperti apapun situasi yang tengah ia hadapi.

"Ya. Aku benci kau kalahkan. Aku tidak suka disaingi," ujar Hermione, pada akhirnya mengaku. "Aku hanya... Kau selalu bisa menundukkanku. Aku ini keras kepala, suka mengatur, dan tahu banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Tapi kau... Kau selalu saja bisa membuatku harus mengakui kalau kau memang lebih unggul dariku. Kau... kau sungguh jauh berbeda dari pria yang dulu pernah kuhadapi..." ucapan Hermione ini tentunya merujuk kepada Ron, dan bagaimana kedewasaan Severus jauh menenggelamkan semua hal yang ada dalam diri mantan tunangannya itu. Tak adil memang membandingkan Ron dan Severus. Hermione menyadari bahwa setahun bersama Severus telah memberinya kebahagiaan yang jauh melebihi kebahagiaannya bersama Ron selama bertahun-tahun.

Diclaimer:Credit to miateixeira for this beautiful fanart. Love it!

Severus memilih untuk pura-pura tidak mendengarkan ucapan Hermione ini. Bibir tipisnya memberi kecupan ringan di kening Hermione dan meluncur turun perlahan-lahan menuju ke bibir kekasihnya itu. Bibir Severus sempat mampir sebentar di pucuk hidung Hermione yang mancung, memberinya ciuman lembut, sebelum akhirnya sampai ke tempat tujuannya, bibir manis Hermione.

Sambil menahan nafasnya dan jantungnya yang berdegup kencang, Hermione memejamkan kedua matanya, menikmati ciuman hangat Severus. Gadis itu membiarkan Severus melumat bibirnya, dan mengulumnya selama beberapa detik, sebelum kembali mengecup bibirnya lembut. Hermione tak peduli kalau saat ini mereka sedang berada di emperan toko yang cukup ramai dengan banyak orang berseliweran. Ia hanya ingin memasrahkan bibirnya untuk pria yang sudah menguasai hatinya selama setahun ini. Hermione tak merasa sungkan balas mengecup dan mengulum bibir Severus, dan menerima ciuman balasan dari pria itu. Severus menuntaskan ciuman mereka dengan mengulum bibir bagian bawah Hermione selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyadari kalau aksi mereka sedang disaksikan seorang anak perempuan. Anak itu terpana menonton adegan mesra yang ada di hadapannya ini, sampai tak menyadari kalau permen lolinya terjatuh dari genggamannya.

"Jangan mencoba ini di rumah, nak," tegur Severus, memasang tampang horor kepada anak kecil itu, dan sukses membuat anak itu kabur ketakutan. Sebenarnya, tanpa perlu memasang ekspresi apapun di wajahnya saja ia sudah bisa membuat banyak anak kecil ketakutan kepadanya. Berdehem sebentar dan menata ekspresinya menjadi dingin dan datar seperti semula, Severus mengalihkan perhatiannya dari anak kecil tadi ke Hermione yang sedang tersenyum geli. "Kau mau melihat bagian dalam toko, Mione?"

"Dengan senang hati." Senyum Hermione semakin lebar. Dadanya terasa begitu lapang dan langkahnya semakin ringan saat Severus menggandengnya menuju ke pintu masuk toko.

Sebelum masuk, Severus mengayunkan tongkat sihirnya membentuk gerakan tertentu sambil berkomat-kamit merapalkan mantra asing yang belum pernah didengar Hermione. Sejenis mantra anti-maling mungkin, pikir Hermione logis. Severus hanya memberi isyarat kalau ia akan mengajari Hermione mantra itu nanti. Sejurus kemudian, pintu eboni itu pun terbuka dengan sendirinya. Bau cat yang masih baru saja kering segera menyapa indera penciuman Hermione. Begitu juga dengan wangi lemari berpelitur yang masih baru.

Severus menjentikkan tongkat sihirnya dan membuat seluruh lampu menyala secara bersamaan. Pria berpakaian serba hitam itu kembali menjentikkan tongkatnya, dan seketika itu api di perapian menyala. Mata kelamnya mencermati ekspresi terpukau di wajah Hermione. Ada perasaan yang sukar dilukiskan saat melihat senyum indah di wajah gadis itu. Senyuman Hermione membuat semua jerih payahnya seolah sudah terbayar lunas.

Hermione mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Toko itu cukup luas juga.Tak ada sekat sebagai pemisahnya, hanya perbedaan warna cat yang mempertegas pemisahan antara ruangan satu dengan ruangan lainnya. Ruang display buku, yaitu tempat di mana ada sekitar tiga rak besar menyentuh langit diletakkan di tiga sisi dinding dan empat rak kecil ditata berbaris di tengah ruangan dengan diberi jarak antara satu dengan yang lainnya, dicat biru langit. Ruang baca, di mana nantinya akan ada buku-buku yang bisa dibaca gratis sebagai sampel, dicat kuning gading. Terakhir, gudang tempat stok buku. Tak ada yang terlalu istimewa dengan gudang itu. Tetapi Hermione merasakan atmosfir yang berbeda di ruangan itu. Seolah suhu di ruangan itu sudah diatur sedemikian rupa dengan sihir agar buku-buku yang tersimpan tidak cepat rusak.

“Aku paling suka ruangan ini,” ujar Hermione sambil mengamati keadaan sekelilingnya di ruang baca. “Dengan perapian ini dan sofa sebagus ini, pasti akan sangat menyenangkan bisa membaca selama berjam-jam di sini. Sofa-sofa ini sepertinya bisa menampung sekitar sepuluh orang dan ruangan ini begitu hangat. Pengunjung toko pasti akan betah.”

“Kalau kau kurang suka dekornya, kau boleh saja mengubahnya. Terutama yang ada di ruang display. Kita sudah lihat kalau rak-raknya masih kosong. Beberapa buku yang sudah datang ada di dalam kardus-kardus itu, sebagaimana yang kau lihat itu. Sebagian lagi mungkin akan diantar kemari besok atau lusa. Daftar inventarismu ada di laci meja yang ada di sebelah meja kasir. Jadi kau harus mencocokkan buku mana saja yang sudah datang dan mana yang belum. Lalu, kalau kau merasa akan kerepotan, kau sudah bisa mulai merekrut pegawai besok…” Severus tidak melanjutkan penjelasannya, berpendapat kalau Hermione pasti sudah paham sendiri tanpa harus dijabarkan satu-persatu. “Toko buku ini… Apa kau sungguh-sungguh menyukainya, Hermione? Kalau tidak maka…”

“Aku menyukainya, Sev,” balas Hermione cepat. Kedua matanya berbinar, mencoba meyakinkan Severus. “Aku suka buku dan tergila-gila kepada ilmu pengetahuan. Kau tahu itu. Di sini seperti surge bagiku.”

“Asal kau jangan sampai lupa pulang saja sih. Kau punya aku yang harus kau urus di rumah,” ujar Severus kalem.

Hermione hanya menanggapi perkataan Severus ini dengan senyum manis. Ia masih terpesona dengan suasana ruang baca tokonya yang semarak, sesuai dengan selera anak muda sekarang. Dekor toko bukunya ini membuat toko Flourish and Blotts jadi terkesan kuno dan ketinggalan jaman. Belum lagi langit-langit toko bukunya itu. Tidak hanya ruang baca, tapi juga ruang display, langit-langitnya disihir agar mirip dengan suasana langit yang sebenarnya.

“Tidak seperti langit-langit di Hogwarts. Di sini hanya bisa menampilkan langit biru dengan awan-awan putih saat cuaca cerah, dan langit malam bertabur bintang,” jelas Severus. “Lagipula, kupikir siapa juga yang akan tertarik melihat langit mendung atau awan badai petir.”

“Ini saja sudah cukup, Sev. Luar biasa. Aku menyukainya.”

“Toko ini cukup dekat dengan tokoku. Jadi, kau bisa berkunjung sewaktu-waktu ke tokoku. Mengajakku makan siang bareng, atau hanya sekedar menengokku kalau-kalau aku menggoda pelangganku,” ujar Severus, agak menyindir. Dia tahu bagaimana sikap Hermione kalau sedang cemburu buta. “Semua ini baru awal, Mione, dan kini terserah kepadamu. Aku sendiri yakin, dengan kecerdasanmu, kau pasti bisa mengendalikan toko buku kecil ini dengan baik. Suatu saat Flourish and Blotts akan kalah tenar dibanding toko bukumu. Aku yakin itu.”

Ucapan Severus terdengar ambisius dan sangat percaya diri. Kalau saja Hermione tidak mengenal kekasihnya itu dengan baik, ia pasti sudah mengira Severus hanya membual. Tapi Severus bukanlah pembual. Kalau dia bisa mengatakan hal ini dengan sangat yakin, berarti ia memang yakin dengan kemampuan Hermione.

“Kau mau melihat lantai atas?” ajak Severus. “Lantai atas adalah kantormu dan ruang istirahat pegawaimu. Perabotan untuk mengisi lantai atas masih belum datang semua sih. Tapi kupikir, kau harus melihatnya. Siapa tahu kau akan punya ide lain.”

Sesampainya di lantai atas, Hermione memang melihat ruang istirahat pegawai masih kosong. Dindingnya yang bercat hijau muda saja masih baru saja kering dan lantai keramiknya belum dipasang. Sementara itu, di dalam kantor Hermione sudah ada satu kursi dan satu meja kerja, serta beberapa rak yang masih kosong. Dindingnya sendiri bercat putih bersih, kontras dengan warna gordennya yang merah tua bersulam emas.

“Lumayan,” komentar Hermione, berputar di tempatnya untuk mengamati seluruh ruang kantornya. “Aku menyukainya, Sev.”

“Syukurlah kalau begitu,” komentar Severus pendek.

“Tapi ada satu masalah di sini…”

“Apa itu?” tanya Severus, mengerutkan dahinya. “Kalau masalah bangunan ini, kurasa hanya kurang perabotan dan sedikit dekorasi.”

“Bukan itu, sayang.” Hermione menarik kedua tangan Severus, merapatkan jarak di antara mereka. “Aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Sekarang, katakanlah. Apa yang sebaiknya kulakukan untuk membalas kebaikanmu ini?”

“Oh,” bibir Severus terbuka sedikit. Well, sejak awal ia memang tidak mengharapkan imbalan dari Hermione. Dia rela dan ikhlas melakukan ini semua karena didasari oleh rasa cintanya. “Tidak usah. Aku tidak menginginkan apa-apa.”

Akan tetap sepasang mata coklat Hermione berkilat nakal. Bibirnya mengulum senyum menggoda saat berkata, “Buka saja celanamu.”

“Apa? Di sini? Sekarang?”

“Memangnya kenapa? Tidak ada yang melihat,” balas Hermione, setengah menantang.

Severus menahan nafasnya. Mendadak saja jantungnya mulai berdetak tak terkontrol. Ada perasaan hangat dan sensasi menggelitik yang bercampur aduk di dalam rongga dadanya. Ia sedikit kaget saat Hermione mendorong tubuhnya perlahan dan menahannya ke tembok. Terjepit di antara tembok dan tubuh sintal Hermione membuat Severus agak pasrah saat bibirnya diberondong ciuman panas.

Diawali oleh ciuman-ciuman pendek namun beruntun, ciuman Hermione semakin turun dan turun. Dengan agak tak sabar, ia menarik syal yang menghubungkan leher mereka berdua. Setelah puas mencumbu mesra bibir tipis Severus, daya jelajahnya berpindah ke dagu Severus yang kokoh, kemudian berpindah lagi ke leher. Di sana, gadis itu menyelingi ciumannya dengan beberapa kali menyedot titik-titik tertentu di leher Severus, meninggalkan bekas kemerahan yang tidak akan segera hilang, dan membuat pria itu mengerang lirih keenakan.

Sementara itu, salah satu tangan Hermione meraba-raba daerah selangkangan Severus, mencari-cari sesuatu yang selalu dibanggakan oleh Severus kepadanya. Severus melenguh tertahan dan membelalakkan kedua matanya. Cengkraman Hermione di bawah sana terlalu kuat rupanya, sedikit menyakitkan. Gadis itu hanya tersenyum menyesal, namun gerilyanya di bawah sana belum terhenti. Walau hanya jamahan lembut, remasan hangat, dan sentilan-sentilan kecil, Severus merasakan jemari Hermione semakin piawai saja merangsangnya.

Menelan ludahnya dengan agak kesulitan dan merasakan nafasnya sudah mulai memburu, membuat Severus menurut saja saat Hermione menggiringnya untuk duduk di atas meja. Meja kerja di kantor itu memang berukuran lumayan besar, cukup untuk sekedar merebahkan tubuh bagian atas. Kemudian kedua tangan Hermione membimbing kedua kaki Severus untuk membuka lebar ke samping kanan dan kiri, membentuk huruf M. Sejurus kemudian, sambil menahan kedua kakl Severus agar tidak berubah posisi, Hermione membaringkan tubuh bagian atas Severus secara perlahan-lahan, seraya masih tetap beradu pangut.

“Hermione…” bisik Severus ketika Hermione menarik lepas resleting celananya. “Kau… Kau tak perlu melakukannya kalau tak mau…”

“Aku mau,” balas Hermione lugas, kedua matanya tertuju pada organ paling intim dari tubuh Severus yang sudah tersingkap. Timbul perasaan lain dalam diri Hermione saat menatap daerah yang ada di tengah-tengah selangkangan kekasihnya itu. Ia mulai bersemangat dan bergairah, tak sabar ingin segera memberikan Severus kepuasan yang sudah menjadi tugasnya sebagai seorang kekasih. “Aku mau karena aku mencintaimu, Sev. Aku sama sekali tak keberatan melakukannya untukmu.”

Severus menggigit bagian bawah bibirnya saat merasakan remasan-remasan pada prgan vitalnya itu. Tangan Hermione yang hangat memberikan kenyamanan sempurna bagi kejantanannya, hingga Severus harus berusah payah meredam gejolak yang mulai berkobar. Severus tak ragu untuk melenguh pelan dan mengerang lirih saat tangan Hermione melakukan pijatan-pijatan yang dirasanya cukup nikmat, mengalirkan semacam kejutan listrik ke sekujur tubuh pria itu. Severus hanya bisa sedikit menggeliat-geliat di atas meja demi meresapi kenikmatan yang diberikan Hermione kepadanya.

Di sisi lain, tangan Hermione yang satunya menarik kursi yang berada di dekatnya, dan lekas-lekas duduk di atas kursi itu. Dengan duduk dan memposisikan kepalanya berada di antara kedua selangkangan Severus yang terbuka lebar di atas meja, terlihat seolah-olah gadis itu sedang bersiap menikmati sebuah santapan menggiurkan. Namun Hermione belum ingin mencicipi sajian lezat yang ada di hadapannya itu. Ia masih membiarkan jari-jarinya bermain-main di sana. Remasan dan kocokannya berusaha membangunkan sesuatu milik Severus yang masih setengah terbangun.

Kedua tangan Severus menggenggam kuat tepian meja, menahan dirinya agar jangan sampai terjatuh, saat merasakan susuatu yang hangat dan basah melingkupi organ vitalnya. Dengan sedikit susah payah, nyaris ditenggelamkan oleh perasaan nikmat yang menggebu, Severus mengangkat kepalanya dan menengok apa yang sedang dilakukan oleh Hermione di bawah sana. Ia hanya bisa melihat kepala Hermione sudah terbenam di antara selangkangannya, dan rasanya bukan main nikmatnya.

Severus melenguh, mengangguk-anggukkan kepalanya saat merasakan rongga mulut Hermione bergerak keluar masuk. Terasa seperti hangat saat rongga mulut Hermione membungkus milik pribadinya secara sempurna, tapi kemudian dingin ketika rongga mulut itu terlepas. Begitulah berulang-ulang. Hermione melakukannya dengan irama yang beraturan. Perlahan-lahan. Seolah ingin membuat Severus terhanyut dalam kenikmatan di setiap detik demi detik.

Sesekali Severus menggoyangkan pinggulnya, memberikan isyarat tubuh bahwa Hermione telah sukses menyentuk titik sensitifnya. Tanpa ragu, tangan Severus menekan kepala Hermione dalam-dalam, sekedar mengarahkannya ke lokasi yang tepat. Kolaborasi yang dilakukan oleh lidah dan kuluman Hermione terhadap titik-titik egeroniknya membuat Severus mabuk kepayang. Gelenyar-gelenyar yang dihasilkannya membuat Severus merasa seolah sedang ada pesta kembang api di dalam dirinya. Gairahnya meletup-letup dan nyaris meledak. Semua itu diekspresikannya dengan goyangan kepalanya yang semakin tak beraturan.

Nafas Severus sudah tersengal-sengal saat ia menekankan panggulnya sambil memegangi kepala Hermione. Ia menyukai cara Hermione menjajahnya dan menjelajahi organ vitalnya. Tarian lidah Hermione memang menggila, semakin gencar membombardir di beberapa titik sensitif Severus. Gadis itu sepertinya tanggap saat Severus mendesis nikmat dan menuruti bahasa tubuh Severus yang menginginkan lebih. Hermione juga bersedia menuruti arahan Severus, membiarkan kepalanya didekap dan digiring ke posisi yang dikehendaki Severus.

Jilatan maut dan sedotan Hermione pada kejantanan Severus semakin membuat Severus kelabakan. Pria itu menggelinjang beberapa kali hingga meja tempatnya berbaring bergoyang-goyang hebat. Kedua mata Severus terpejam erat, meresapi terjangan gelombang-gelombang erotis yang dikirimkan Hermione. Liukan pinggul pria itu menandakan kalau permainan lidah Hermione berhasil mengantarkannya mendaki sampai ke puncak.

“Bagus, sayang… Bagus…” desah Severus, nafasnya terputus-putus dan peluh bercucuran membasahi wajahnya. Pria itu memejamkan matanya rapat-rapat, menunggu klimaks yang akan datang sebentar lagi. Kejantanannya sudah tegak berdiri, berdenyut-denyut, dan siap meledak. “Hermione… aku hampir…”

Ucapan Severus terputus. Ia tak sanggup lagi berkata-kata. Gelombang kenikmatan itu datang menerpanya dengan dahsyat, membuat tubuhnya sampai mengejang dan menggelinjang liar di atas meja. Kejantanannya berdenyut keras dan memompa banyak sekali cairan cinta yang seketika itu pula menyemprot masuk ke dalam mulut Hermione.

Hermione yang belum siap menerima ledakan ini kaget dan tersedak. Ia pun terpaksa menelan cairan kental yang disemburkan Severus, meski ada sebagian yang mengalir melalui kedua sudut bibirnya. Perasaan Hermione tak bisa dijabarkan. Ia kaget, tak menyangka akan ada sebanyak ini dan seperti inilah rasanya cairan cinta. Bagaimana pun ini adalah kali pertama Hermione merasakan cairan cinta, karena ia belum sempat membuat Severus mencapai klimaks saat menyiksanya secara seksual kemarin.

Sambil menjilati lelehan cairan yang menetes dari bibirnya, Hermione menatap kejantanan Severus yang masih menegang. Tanpa pikir panjang, gadis itu mengepel area selangkangan kekasihnya itu dengan lidahnya. Ia membersihkan sisa-sisa ledakan yang berceceran di sekitar organ vital Severus sampai tuntas, membelai lembut senjata kebanggaan kekasihnya itu dengan penuh perasaan sayang, sebelum membenahi celana Severus, dan menutup kembali resletingnya.

Sementara itu, Severus mencoba mengatur nafasnya. Kepalanya masih terasa berat dan pandangannya agak berkunang-kunang. Tubuh bagian bawahnya terasa pegal-pegal, bercampur ngilu, dan sensasi geli yang menyenangkan. Ia harus mengakui bahwa Hermione sudah semakin hebat dan sangat cepat belajar. Dari lubuk hatinya yang terdalam, Severus merasakan perasaan cintanya semakin tumbuh subur terhadap gadis itu. Bahwa memiliki Hermione di sampingnya adalah sebuah keberuntungan yang tidak main-main. Gadis itu hebat. Luar biasa dalam segala hal.

“Kau hebat, Mione. Terima kasih,” ujar Severus sambil mencoba duduk di atas mejanya. Tanpa ragu dan tidak menghiraukan wajah Hermione yang masih belepotan, Severus meraih kepala gadis yang dikasihinya itu, dan membenamkannya ke dadanya yang bidang. “Aku mencintaimu. Sangat.”

“Aku juga mencintaimu, Sev…” balas Hermione lirih, membiarkan Severus mengecupi keningnya. “Tapi kurasa aku… aku harus cuci muka dulu…”



Terpaksanya bersambung…



A/N: Jujur, saya kurang percaya diri dengan chapter kali ini. Tapi, terima kasih kepada teman-teman yang selalu mendukung dan memberi semangat via FB dan Twitter. Kepada Aicchan, Kiriko, Lopelope, Sevachi, Dewi Dramioniac, Natha Lina, dan Kira Ketsueki. Kepada FarraLerman a.k.a Zoey, welcome to the jungle, dear. Senang bisa meracunimu dengan virus SevMione. ^^

I'm Officially Yours Chapter 5

Chapter 5

Gusar


Disclaimer : Credit to LadyNyaruInfinity for this sweet n beautiful fanart


Hermione mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Semuanya tampak bersih dan rapi, sama seperti keadaan saat ia belum meninggalkan Severus empat hari yang lalu. Mulai dari karpet yang tadinya bau apak, meja dan rak yang dilapisi debu, buku-buku yang semula tersebar di tempat yang tidak semestinya, jubah-jubah kotor yang bertumpuk di bak cucian, dan lain-lain. Kini semuanya tinggal kenangan. Seisi rumah sudah kembali seperti sedia kala berkat kerja kerasnya seharian ini.

Hermione bisa saja menyelesaikan semua itu dengan sekali melambaikan tongkat sihir, namun ia memilih untuk mengerjakannya dengan cara Muggle. Severus mungkin tidak akan setuju dengan pemborosan tenaga dan waktu seperti ini, Hermione tahu betul itu. Gadis berambut coklat lebat itu hanya ingin membunuh waktu sementara Severus sedang tak ada di rumah karena harus bekerja di toko bahan ramuan miliknya. Seluruh buku di perpustakaan Severus sudah dilalapnya habis di minggu pertamanya pindah untuk tinggal bersama kekasihnya itu, dan dia bosan harus menghabiskan waktu di rumah sendirian tanpa melakukan sesuatu yang berarti.

Sambil merebahkan diri di sofa, Hermione menatap langit-langit yang kini sudah bebas dari sarang laba-laba. Tak bisa dipungkiri kalau pekerjaan ala ibu rumah tangga ini membuatnya merasa sedikit sedih. Well, semasa masih bersekolah, Hermione selalu mati-matian belajar keras dan berusaha meraih prestasi akademis yang cemerlang. Semua orang mengakui kecerdasannya dan berharap bahwa suatu saat Hermione akan menjadi orang penting di masa depannya. Mungkin staf kementerian sihir atau bahkan perdana menteri sihir, siapa tahu? Hermione selalu berpikir kalau ia layak mendapatkan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar terpuruk di dalam sebuah rumah di ujung jalan Spinner’s End ini.

Hermione bukannya tidak pernah mencoba. Ia pernah magang di kementerian sebelum ini, tepatnya saat ia masih bersama Ron Weasley. Tapi sejak kejadian memilukan yang memicu perpisahaannya dengan pemuda berambut merah itu, Hermione tidak ingin berlama-lama di kementerian. Tepat setelah masa kerja magangnya habis tak lama setelah memergoki perselingkuhan Ron dengan Lavender, Hermione segera angkat kaki dari kementerian sihir. Lenyap sudah hasratnya untuk menjadi pegawai tetap Kementerian Sihir. Ia tak mau melihat Ron lagi untuk alasan apa pun, dan bekerja di satu tempat yang sama dengan pemuda itu malah akan memberinya banyak alasan untuk bisa tetap bertemu Ron, meski mereka berbeda departemen sekalipun.

Uang yang berhasil dikumpulkan dari hasil magangnya memang tidak bisa dibilang banyak, tapi itu sudah jauh lebih dari cukup. Galleon-Galleon hasil jerih payahnya itu kini tersimpan aman di Gringotts. Hermione masih belum mengotak-atik tabungannya itu sampai dengan hari ini, meski dulu ia pernah mengira akan menguras isi rekeningnya untuk membayar jasa Severus dulu. Siapa sangka ia malah mendapat pengalaman berharga dari keputusan bodoh dan nekatnya itu. Bahkan ia mendapatkan kehidupan baru yang baginya nyaris sempurna.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan hubungan mereka saat ini, berdamai dengan masa lalu Severus yang kelam dan kenangan buruk tentang mantan kekasih pria itu, membuat Hermione mulai yakin akan dikemanakan uang tabungannya tersebut. Biaya hidupnya selama ini ditanggung oleh Severus dan ini membuatnya tak perlu repot-repot mengeluarkan sepeser pun jika menginginkan sesuatu. Namun kali ini Hermione mulai berpikir untuk membelikan Severus suatu barang yang mahal dan sangat bernilai, yang bisa mengikat mereka untuk selamanya. Satu untuk Severus dan satu lagi untuknya.

Terdengar suara kenop pintu diputar dan tak lama kemudian muncul Severus dari balik pintu depan. Pria berwajah pucat dengan rambut hitam klimisnya yang menaungi kedua sisi wajahnya dan berhidung bengkok seperti burung Elang berjalan masuk, suara langkahnya nyaris tak terdengar. Tampak begitu lelah sama seperti biasanya saat ia pulang kerja. Namun bukan itu yang membuat Hermione heran. Severus belum pernah pulang secepat ini. Bahkan matahari masih belum terbenam.

“Aku membawakan pesananmu yang kemarin malam,” ujar Severus sambil mengayunkan tongkatnya dan memproduksi beberapa buntelan kecil dari udara kosong. “Garam, gula, dan lada. Kau bilang kita kehabisan tiga bumbu itu, kan?”

“Ah… Terima kasih.” Hermione bangkit dari sofa dan menerima ketiga buntelan itu sambil memberi Severus kecupan ringan di pipi. Dia tak mengira kalau Severus masih ingat dan menganggap serius racauan gugupnya kemarin itu.

Severus tampak tidak terlalu merespon kecupan Hermione. Wajah pria itu masih datar dan tak menunjukkan perubahan. Hanya mata hitam kelamnya yang memandangi wajah Hermione lekat-lekat, seolah berusaha menahan diri untuk mengatakan sesuatu kepada gadisnya itu.

“Kau yakin hanya itu saja yang tak dipunyai di rumah ini?” tanya Severus dengan ekspresi aneh di wajahnya.

“Well, ya. Memangnya apa lagi yang kita tidak punya?” Hermione malah balik bertanya, mengerutkan keningnya.

“Karena tadi… Herbert menitipkan ini padaku,” ucap Severus datar, sekali lagi memproduksi sesuatu dari udara kosong dan memberikan Hermione beberapa tangkai bunga Anemone segar sebagai hasilnya.

“Oh, tentu saja,” sambut Hermione, tersenyum lebar. Herbert adalah penjual bunga langganannya di Diagon Alley, tempat di mana Severus sedang menjalankan bisnisnya saat ini. “Aku memesannya tadi pagi lewat burung hantu. Tujuh tangkai bunga Anemone merah untuk mengisi vas kosong di kamar tidur kita.”

Severus tak berkomentar apapun atas hal ini, meski ada kemungkinan ia sedang memikirkan sesuatu di kepalanya. Tujuh tangkai bunga Anemone adalah jumlah bunga yang mengisi vas di hari kepergian Hermione, dan sesuai dengan kebiasaan Hermione, setiap pagi jumlah bunga itu akan bertambah satu tangkai dengan pesan cinta di setiap tangkainya.

“Sev, sepertinya Herbert salah hitung. Dia memberiku delapan tangkai.”

Severus yang kini sedang duduk bersandar di sofa sambil menaikkan kedua kakinya di atas meja hanya menanggapinya enteng, “Dia tidak salah hitung. Satu tangkai itu dariku.”

Kedua alis Hermione terangkat. Lumayan kaget mendengarnya. Untuk ukuran pria yang tidak terlalu romantis seperti Severus ini, membelikan bunga Anemone walau cuma satu tangkai saja adalah sebuah kemajuan berarti dalam hubungan mereka. Karena satu hal yang menyentuh perasaan ini, tanpa sadar Hermione tersenyum. Ada perasaan hangat dan nyaman menyelinap masuk ke dalam dadanya.

“Jadi, apakah jumlah bunga itu akan bertambah menjadi sembilan besok pagi?” tanya Severus lirih, seolah itu adalah pertanyaan yang tabu baginya.

“Kita lihat saja besok.” Hermione tersenyum misterius sebelum membalikkan badan, hendak menuju ke kamar tidur mereka untuk menyimpan bunga Anemonenya di tempat yang semestinya. “Setelah ini kau akan kubuatkan teh Camomile. Kau terlihat lelah, sayang. Kau bilang beberapa hari terakhir ini juga susah tidur, kan?”

“Jangan bilang kau tak tahu semua itu gara-gara siapa,” sahut Severus dingin. Well, Severus memang tidak mau mengakui kalau penyebab susah tidurnya akhir-akhir ini adalah karena ditinggal pergi Hermione, tapi dengan otaknya yang cerdas itu, seharusnya Hermione bisa menebaknya. “Tidak perlu. Tapi kalau kau tak keberatan, buatkan saja aku air panas untuk mandi.”

“Kalau begitu akan kubuatkan teh Camomile dan air panas untukmu,” kata Hermione tegas, berbalik kembali untuk memandangi wajah Severus yang tampak lesu. “Ibuku baru saja mengirimi kita beberapa kotak kecil teh Camomile merek Twinning. Itu merek teh terkenal di kalangan Muggle, Sev. Bahkan kudengar ratu Inggris juga meminumnya.”

Severus mengernyitkan dahi. Meski dia adalah keturunan berdarah campuran, dengan ayah seorang Muggle dan ibu seorang penyihir, dia tidak terlalu akrab dengan dunia Muggle. Berbeda dengan Hermione yang memang berasal dari bangsa Muggle.

“Bahkan ibuku menaruh perhatian padamu. Dia langsung tanggap begitu tahu kau sangat sibuk mengelola tokomu. Mungkin suatu saat nanti kita bisa mengunjungi orangtuaku lagi. Tentunya saat kau tidak terlalu sibuk. Kau mau, kan?”

Severus mengangguk lemah, kedua matanya yang letih terpejam, dan menggumam lewat bibirnya yang bergetar, “Sampaikan terima kasihku kepada ibumu, Mione…”

Melihat kondisi Severus yang loyo ini membuat Hermione tidak tega untuk mengusiknya lagi. Selain karena stress dan kurang tidur akibat kepergian Hermione yang tiba-tiba beberapa hari lalu, bisa jadi Severus juga letih karena kesibukannya bekerja setiap hari dan karena pergumulan panas mereka semalam. Untuk yang terakhir ini, sejujurnya Hermione tak tahu apakah ia harus merasa bersalah atau tidak. Karena toh mereka berdua sama-sama menikmatinya.

Maka setelah selesai mengurus bunga Anemonenya, Hermione segera memenuhi apa yang dijanjikannya kepada Severus tadi, membuatkan teh Camomile dan air panas untuk mandi. Saat semuanya siap, gadis itu pun kembali ke ruang tengah dengan membawa secangkir teh di atas nampan perak.

“Sev…” panggil Hermione ragu-ragu, melihat kekasihnya sedang merebahkan diri di sofa dengan telapak tangan kanannya melingkupi kedua matanya. Severus membalas panggilan Hermione dengan gumaman tak jelas. “Ini tehnya dan air panasnya sudah siap kalau kau ingin mandi sekarang.”

Severus terlihat seperti memaksakan diri bangun dari tidurnya untuk bisa duduk bersandar di sofa. Rupanya dia benar-benar kecapekan hari ini. Sering kali Hermione berpikir kalau Severus terlalu giat bekerja, dan setelah mereka mulai tinggal serumah, gadis itu tahu kalau memang begitulah kenyataannya. Severus lembur setiap hari dan selalu pulang menjelang larut malam. Meski begitu, Severus tak pernah mengeluh dan masih bisa menyisihkan waktu untuk meladeni Hermione di waktu luangnya yang sedikit itu.

“Seandainya kau memperbolehkan aku membantumu di toko…”

“Tidak,” potong Severus tegas, tanpa menatap Hermione. Jari-jarinya agak gemetar saat meraih cangkir tehnya, mencium aromanya sebentar sebelum menyesapnya sedikit. “Teh ini rasanya aneh. Kurasa lebih baik aku minum eliksir saja.”

Hermione memutar bola matanya mendengar perkataan yang tidak mengenakkan hati ini, pernyataan yang juga berarti meremehkan perhatian ibunya kepada Severus. Namun dia memilih untuk tidak protes. Sudah jadi pembawaan Severus untuk bersikap kaku dalam segala suasana. Pria itu memang tak bisa berpura-pura menyukai sesuatu hanya demi menyenangkan hati orang lain, dan Hermione sudah mulai terbiasa dengan hal itu.

“Kenapa tidak, Sev? Aku bisa banyak membantu dan kau tidak akan kecapekan seperti ini terus menerus. Aku hanya peduli padamu…”

“Kau tidak cocok di sana,” tukas Severus lagi, masih menolak menatap Hermione, namun nada bicaranya berubah tajam. “Tempat yang dipenuhi bahan-bahan ramuan dengan berbagai aroma menusuk seperti itu bukan tempatmu, kurasa.” Sebelum Hermione sempat membuka mulutnya lagi, Severus sudah melanjutkan ucapannya, “Lagipula, aku sudah punya cukup pegawai.”

“Kalau begitu kau harus berjanji kepadaku untuk tidak bekerja terlalu keras,” tuntut Hermione, masih mencoba sabar.

Kali ini Severus menatap Hermione tajam. Meski bibir tipisnya tertutup rapat, Hermione bisa melihat ketidaksetujuan di sorot mata yang nyalang itu. Hermione sudah siap mendengar bantahan klise seperti ‘Aku bekerja keras demi menghidupi kita’ atau ‘Aku sangat menyukai pekerjaanku dan itu bukan hal yang salah’, namun setelah ditunggu selama beberapa menit kemudian, Severus hanya mengiyakan pelan lewat sudut bibirnya yang berkedut membentuk cibiran samar.

“Bagus. Aku pegang janjimu.”

“Kalau kau tidak keberatan, aku mau mandi sekarang,” ujar Severus datar. Perasaannya sedang tidak enak dan dia tidak ingin Hermione mencecarnya lagi soal ini. Meski rasanya enggan sekali meninggalkan sofanya yang empuk, pria itu pun menegakkan diri dan berjalan agak gontai ke arah kamar mandi.

“Tentu,” balas Hermione sambil membereskan cangkir teh Severus dan meletakkannya kembali di atas nampan. “Mandilah duluan. Aku akan segera menyusul.”

Mendadak saja Severus menghentikan langkahnya yang sudah separuh jalan. “Kau menyusul? Maksudmu seperti… seperti kita…?”

“Ada yang salah dengan mandi bersamaku?” tanya Hermione, menunduk menyembunyikan rona di wajahnya. Well, sebenarnya dia ragu dan malu dengan hal ini. Tapi menurut buku yang pernah dibacanya, mandi bersama pasangan adalah salah satu cara untuk terus menghangatkan hubungan dan menjaga keharmonisan.

“Tidak ada yang salah. Hanya saja selama ini aku selalu mandi sendirian, sebelum kau pindah kemari minggu lalu,” balas Severus dingin, sebelum berbalik pergi. “Tapi terserah kau saja.”

Tanpa sadar, Hermione menggigit bibir bagian bawahnya, gemas. Diam-diam ia mempertanyakan kenapa dirinya bisa sampai jatuh cinta dengan pria yang sifatnya tidak tertebak seperti Severus. Sikap Severus seperti rollercoaster. Kadang bisa melambungkan hati Hermione tinggi-tinggi, tapi kadang juga bisa menukik tajam dan menjatuhkannya sampai ke dasar. Seandainya bisa, Hermione ingin sekali mempelajari Legilimency agar ia bisa membaca apa yang dipikirkan Severus tentang dirinya. Tapi itu tidak akan terlalu menantang baginya. Justru pria misterius seperti inilah yang selalu membuatnya geregetan dan penasaran setengah mati.

Beberapa saat kemudian Hermione berdiri diam di ambang pintu kamar mandi. Di balik pintu itu, di dalam kamar mandi, tidak terdengar suara sama sekali. Tenang dan damai. Suasana yang justru mengundang rasa penasaran bagi Hermione. Mengingat kondisi kekasihnya saat ini, dia mulai berpikir Severus jatuh pingsan atau jangan-jangan malah sudah tenggelam di dasar bak mandi saking capeknya.

“Sev…?” panggil Hermione, membuka daun pintu perlahan-lahan untuk mengintip, dan dia bisa bernafas lega saat mendapati Severus sedang berendam di dalam bak mandi dengan posisi memunggunginya.

Pria berambut hitam itu tampak mencoba rileks, menyandarkan kepalanya dengan berbantalkan kedua lengannya yang bertumpu pada tepian bak mandi. Tubuhnya yang kini polos tanpa selembar benang tampak membayang di bawah permukaan air panas. Uap air yang sesekali mengepul dari bak mandi membuat pandangan jadi kabur.

Sambil menahan nafasnya, Hermione mulai menanggalkan satu demi satu penutup tubuhnya dan menaruh semuanya di dalam ember pakaian kotor yang sudah terisi pakaian milik Severus. Gadis itu mengikat rambutnya dan menggulungnya ke atas agar tidak ikut basah terkena air sebelum masuk ke kamar mandi. Sebagian air panas yang ada di dalam bak mandi Severus tertumpah ketika Hermione ikut masuk ke dalamnya. Namun Severus masih saja bergeming, seolah tak begitu terpengaruh dengan kehadiran Hermione.

Jemari Hermione meraba dan membelai punggung telanjang Severus yang berada tepat di hadapannya. Punggung yang kokoh, padat berisi, dan ada beberapa tonjolan otot yang menghias apik di bagian-bagian tertentu. Punggung yang menawarkan kenyamanan bagi siapapun yang ingin bersandar kepadanya. Severus menggeliat kegelian saat perlahan-lahan jemari Hermione menyusuri lehernya dan semakin turun ke bawah menuju ke pinggangnya. Namun geliatannya berubah menjadi desahan nyaman dan keenakan saat Hermione mulai memijat kedua bahunya.

“Terima kasih,” ucap Severus lirih. Diam-diam dia mengakui kalau Hermione memang pintar memanjakan pria, hanya saja Severus tidak pandai untuk meminta ataupun mengutarakan hal ini. Berendam dalam bak air hangat dalam keadaan lelah luar biasa bersama kekasihnya yang sedang memijatnya membuat perasaan Severus mulai membaik. Kebetulan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Hermione, dan sepertinya ini adalah saat yang tepat. “Mione, kau sudah memikirkan tentang reuni itu?”

“Ah… Tentang itu…” Hermione tercenung sejenak, pijatannya terhenti. Sejak pertengkaran mereka yang terdahulu, ia sudah tak pernah lagi memikirkan hal ini. Jauh di dalam hatinya, Hermione ingin sekali membahas kemungkinan apakah mereka bisa datang ke reuni Hogwarts, namun ia tidak ingin hal ini memicu pertengkaran mereka lagi. Sambil melanjutkan kembali pijatannya yang sempat tertunda, Hermione berkata dengan nada tak yakin, “Entahlah, Sev. Menurutmu bagaimana?”

“Menurutku kita akan datang.”

“Kau bercanda!” Kaget bercampur senang, tanpa sadar jemari Hermione memijat bahu Severus terlalu keras, membuat pria itu sedikit menggeliat kesakitan. Meski begitu gadis berambut coklat itu tak bisa menyembunyikan rasa riangnya. Membayangkan ia bisa datang bersama Severus ke pesta reuni dan memproklamirkan hubungan mereka ke semua orang dengan bangga. “Apa yang membuatmu berubah pikiran, Sev?”

“Aku tahu kau ingin datang. Itu saja, Mione,” balas Severus datar tanpa emosi.

Senyum Hermione semakin lebar. Bukan uap air hangat yang membuat wajahnya merona merah dan dadanya menghangat, tapi kesediaan Severus untuk mengalah pada akhirnya. Kekasihnya itu mungkin dingin dan keras, tapi bukan berarti dia tidak bisa melunak untuk sesekali.

“Tapi…” Severus berkata dengan nada mengambang, seperti tidak terlalu yakin akan mengucapkan ini. “Akan ada Ron di sana.”

“Dan juga akan ada Lily, kurasa,” balas Hermione kaku. “Lalu kenapa memangnya? Kita berdua tidak melakukan sesuatu yang salah, sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk gentar menghadapi mereka. Mereka harus tahu kalau pada akhirnya kita bisa menemukan seseorang yang tepat dan pantas untuk dicintai, dan seseorang itu bukanlah mereka. Mereka harus tahu kalau kita juga bisa hidup berbahagia. Bukannya hancur, kesepian, dan larut dalam kesedihan terus menerus. Mereka harus tahu kalau kita bisa bangkit dan mengawali hidup baru setelah apa yang mereka lakukan kepada kita.”

Secara garis besar, sebenarnya pernyataan Hermione ini ditujukan kepada Ron. Meski ia tidak lagi menyimpan kemarahan dan dendam atas pengkhianatan Ron, ia masih belum ingin menemui Ron lagi sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi setelah gadis cerdas itu memikirkannya baik-baik, ia lelah terus-menerus menghindar. Lagipula, dengan adanya Severus di sampingnya, kini ia merasa kuat untuk menghadapi segala hal berserta segala kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi. Ia bukan lagi gadis yang patah hati dan merana karena ulah Ron dan Lavender.

“Aku suka dengan tekad dan keberanianmu, Mione. Khas Gryffindor,” ujar Severus, tersenyum samar. “Mendengar ucapanmu ini, semoga saja reuni ini bukan jadi ajang pamer pasangan nantinya.”

“Kesinisanmu konsisten dan menawan. Sudah pasti Slytherin, kalau begitu,” balas Hermione tak mau kalah. Tak perlu menebak, sebenarnya. Sejak awal mereka bertemu saja Hermione sudah bisa memprediksi hal ini lewat penampilan, pemikiran dan pembawaan Severus yang begitu kentara. Dingin, angkuh, berlidah tajam dan punya pola pikir yang mengejutkan sekaligus menohok.

“Kalau begitu, kau harus segera mempersiapkan segala sesuatunya, sayang. Gaun, kosmetik, perhiasan, sepatu, dan lain-lain. Reuni tinggal tiga hari lagi, kan?”

“Dua hari,” koreksi Hermione agak cemas. “Tapi kau tak usah khawatir. Aku masih punya gaun pesta yang belum pernah kupakai sama sekali. Untuk aksesoris juga kurasa kau tak perlu memikirkannya. Semuanya beres. Kurasa aku hanya harus membelikanmu jubah pesta dan sepatu baru. Bagaimana menurutmu, Sev? Kau ingin jubah yang model apa? Sebaiknya rancangan siapa ya?”

“Kau permaisuriku di rumah ini, Mione. Kau punya kuasaan, dan aku memasrahkan diri kepadamu mengenai ini. Kalau kau butuh apa-apa, kau sudah tahu di mana tempat menyimpan uang. Tapi gunakan seperlunya saja. Hmm, kurasa kau sudah tahu betul ini. Kau kan cerdas,” sahut Severus dengan nada bosan, selalu ingat untuk menyelipkan sinisme dalam ucapannya. Dia tidak terlalu suka memikirkan tetek-bengek masalah persiapan pesta, sebagaimana minatnya yang minim terhadap kegiatan hura-hura.

“Ah tentu saja,” Hermione tersenyum hambar. Lagi-lagi dia yang harus putar otak setiap kali Severus tidak menunjukkan antusiasme terhadap hal-hal tertentu. Tetapi Hermione tidak mengeluh. Ia sudah punya gambaran hebat tentang bagaimana penampilannya dan Severus di pesta itu nantinya. Pesta reuni Hogwarts ini akan menjadi kemunculan pertama mereka berdua sebagai pasangan di depan mata orang banyak. Karena itulah ia harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Semua harus sempurna, tanpa ada satu pun kesalahan, tekad Hermione. “Aku sudah tahu akan jadi seperti apa kita nanti. Semua sudah ada di kepalaku. Bahkan mungkin setelah makan malam nanti, aku bisa mulai mempersiapkannya.”

“Baguslah. Jadi aku bisa kembali ke toko dengan tenang setelah ini.”

“A—apa? Kau mau kembali ke toko?!” kali ini Hermione benar-benar menghentikan pijatannya, memaksa Severus untuk berbalik menghadapnya setelah merasakan kemarahan dalam nada bicara gadis itu. “Kau sudah berjanji kepadaku tadi, Sev. Tidak akan bekerja terlalu keras lagi. Pedulikan kesehatanmu!”

“Kau ini bicara apa, Mione? Kau bisa lihat kalau sekarang aku sehat-sehat saja,” balas Severus tanpa rasa bersalah sedikitpun di wajahnya. “Lagipula ada pesanan dalam jumlah besar yang harus diantar ke Dublin dan Lima besok siang dan pembayarannya akan dilakukan malam ini. Aku harus memastikan semua itu beres, begitu juga dengan masalah pembukuannya.”

“Kau bisa mengerjakannya besok pagi. Kau juga punya banyak pegawai. Suruh saja mereka… Oh, Sev, kau sudah janji…”

“Janjiku tadi itu kumaksudkan bukan untuk hari ini, tapi besok. Mulai besok aku tidak akan bekerja keras sampai larut malam lagi. Tapi untuk malam ini, aku tidak bisa, Mione. Pekerjaanku ini penting sekali untukku dan juga untukmu. Kau harus mengerti.”

“Bukan itu masalahnya, Sev…” bantah Hermione, kecewa sekali karena Severus sampai lupa dengan setahun hari jadi mereka yang jatuh pada hari ini. Benar. Tepat satu tahun sudah mereka menjalani hubungan yang diwarnai pasang surut dan konflik batin, sesuatu yang memang penting untuk dirayakan. “Kumohon… Untuk hari ini saja, tinggallah di rumah. Aku ingin merayakan sesuatu yang spesial bersamamu. Hari ini adalah hari…”

“Maaf. Tidak bisa. Aku tidak bisa kehilangan kedua proyekku itu, Mione. Semua kerja kerasku tidak akan berguna tanpa proyekku itu. Malah sebenarnya aku sudah harus berada di toko sekarang juga. Klienku akan datang pukul enam nanti.”

Setelah mengatakan ini, tanpa mengindahkan raut kekecewaan kekasihnya, Severus segera keluar dari bak mandi dan meraih handuk kecil untuk menutupi auratnya di sekitar pinggang. Namun sebelum Severus sempat mencapai pintu, Hermione sudah menghadangnya dan mencengkram kedua bahunya, tak mempedulikan tubuhnya yang terpampang polos tanpa selembar penutup di hadapan Severus.

“Severus Snape! Kau tak bisa meninggalkanku seperti ini!” tuntut Hermione dengan suara bergetar, kedua matanya berkaca-kaca. “Sebenarnya kau ini sungguh-sungguh mencintaiku atau tidak sih? Ini adalah hari yang sangat penting bagi kita berdua, tahu!”

“Baiklah. Aku bisa menunggumu berpakaian dulu sebelum aku pergi,” tukas Severus, memandangi Hermione dari atas ke bawah dengan sorot menahan kesal, dan semakin kesal saat menyadari sepasang mata coklat Hermione berlinang airmata. “Oh, tolong, Mione. Kau ini bukan ratu drama!”

Hermione menatap Severus dengan kemarahan yang tidak dibuat-buat. Gadis itu bukan menangis karena sedih, dia menangis saking kesalnya. Dia sudah sangat bersabar untuk sekian lama dan itu bukan hal yang mudah mengingat betapa egoisnya pria berambut hitam klimis yang ada di hadapannya ini. Pria itu seolah hanya bisa mematahkan hatinya berulang-ulang dengan ulahnya yang semaunya sendiri begini.

“Jangan pergi, kumohon…” pinta Hermione, sadar jika rengekannya ini terdengar kekanak-kanakkan.

“Maaf, aku harus pergi,” balas Severus dingin, sambil melepaskan cengkraman tangan Hermione pada kedua bahunya dan berbalik pergi. “Aku akan pulang lewat tengah malam. Jadi tak usah menungguku untuk makan malam dan tidurlah duluan.”

Hermione mengawasi kepergian Severus dengan perasaan jengkel meluap-luap yang bercampur aduk dengan rasa kecewa mendalam hingga membuat dadanya sesak. Tapi gadis itu menolak untuk menyerah. Dia sudah sejauh ini untuk mundur dan tak ada seorang pun yang boleh menggagalkan rencananya untuk merayakan setahun hari jadi mereka. Bahkan tidak juga Severus.


Masih bersambung ke chapter selanjutnya…


A/N : Maaf kalau misalnya chapter ini kurang seru dibanding chapter yang lalu. Sebenernya ini karena situasi menulis yang agak kurang kondusif nih, mengingat adik-adikku yang di bawah umur suka nyelonong masuk ke kamar n ngintipin isi laptopku. Bikin bete aja ==a Err, ada beberapa plot yang sebenernya aku rencanakan buat dimasukin di chapter ini. Tapi setelah aku pikir-pikir, plot-plot itu bisa dimasukin di chapter selanjutnya aja sekalian. Setidaknya, di chapter ini sudah menjawab satu pertanyaan yang sering ditanyakan ke aku, dan jawabannya : Ya, Severus dan Hermione bakal datang ke reuni Hogwarts.^0^

I'm Officially Yours Chapter 4

Chapter 4


Kejujuran



Disclaimer: Credit to comfortablylaura for this beautiful fanart.I LOVE IT!



“Hermione…”

Nama kekasihnya itu begitu saja terlontar keluar dari bibir Severus yang setengah terbuka, terpana agak tak percaya saat melihat sosok gadis yang sedang memunggunginya. Pemandangan yang tersaji di hadapannya memang seolah-olah hanya terjadi di dalam alam mimpi saja. Hermione dengan rambut coklat tuanya yang disanggul rapi dan mengenakan celemek putih sedang dikelilingi panci yang mengaduk isinya sendiri, tungku yang menguarkan asap putih beraroma wangi, dan setumpuk piring kotor yang berbaris satu-persatu untuk disabuni, sebelum melompat sendiri ke bak pembilas.

“Sev…” balas Hermione sambil berbalik anggun menghadap Severus, menggendong Crookshanks yang tampak asyik bermanja-manja di pelukan pemiliknya. “Kau terlambat untuk makan malam. Kau juga terlambat memberi makan Crookshanks. Kupikir kau sudah tahu dia tidak boleh diberi makan lebih dari pukul enam. Sekarang sudah pukul setengah tujuh, kau tahu?”

Raut muka Hermione terlihat datar, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara ia dan Severus. Namun dari sorot matanya tak bisa berbohong. Tampak jelas ia sedang menahan kerinduan. Bahasa tubuhnya pun mengatakan kalau sebenarnya ia berusaha keras untuk tidak semburat melompat ke pelukan Severus. Sedang mempertahankan gengsi, mungkin.

“Kita kehabisan gula dan garam. Err… juga lada. Apa kau membelinya saat keluar rumah tadi?” kata Hermione, nada bicaranya bergetar. Ia menyembunyikan kegugupannya dengan membelai Crookshanks terus-menerus.

Severus sendiri bahkan sampai tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi terpesona yang tidak dibuat-buat. Bisa jadi pria itu malah tidak mencerna apa yang baru saja dikatakan Hermione saking kagetnya.

“Aku tidak menyangka kalau kau akan pulang…” desis Severus, maju beberapa langkah untuk menyongsong Hermione yang tetap kukuh bertahan di tempatnya berdiri.

“Kalau begitu aku akan pergi lagi saja.”

“Bukan… bukan… Bukan itu maksudku, sayang,” sergah Severus buru-buru, berusaha meraih pinggang ramping Hermione, namun Hermione segera mengelak. “Hanya saja… aku kira… Ah, sudahlah.”

Hermione menatap sepasang mata kelam Severus dengan perasaan membuncah yang berusaha keras ia tahan. Betapa banyak hal yang ingin ia katakan pada pria berhidung bengkok itu. Betapa ia sangat ingin memeluk erat pria itu, berbagi kehangatan dengannya, merasakan dadanya yang bidang, dan aroma tubuh maskulinnya yang memabukkan. Betapa ia ingin untuk mengecup bibir tipis Severus dan membiarkan semua mengalir begitu saja. Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah mereka akan berakhir di ranjang atau di meja makan…

“Ma—makan malam hampir siap. Duduklah, Sev,” ucap Hermione gugup, memalingkan muka. Posisi Severus yang berdekatan dengannya membuat bulu kuduknya meremang. Padahal pria itu belum sempat melakukan apapun terhadapnya, namun jantungnya sudah berdegup kencang. Daya pikat Severus masih terlalu kuat.

Dengan gerakan canggung, Severus melambaikan tongkatnya dan membuat dua buah kursi makan yang saling berhadapan bergeser dengan sendirinya. Satu kursi untuknya, dan satu kursi lagi untuk Hermione. Sementara itu, piring-piring, mangkuk kecil berisi kentang tumbuk, senampan penuh roti bawang, pot berisi sup panas, dan pinggan tahan panas berisi daging asap melayang dengan sendirinya untuk kemudian mendarat di meja makan. Disusul garpu, pisau, serbet, sendok dan lain-lain yang beterbangan dan langsung menempatkan diri di posisi mereka yang semestinya.

Baik Severus maupun Hermione masih sama-sama bungkam saat duduk di kursi mereka masing-masing. Hermione berusaha menghindari tatapan Severus yang terus memburunya dengan berpura-pura sibuk makan. Beberapa kali ia salah menggunakan sendok sup untuk menyendok kentang tumbuk, keliru mengambil sambal alih-alih saus, dan hal-hal yang menunjukkan kalau makan malamnya kali ini sangat tidak nyaman. Berulang kali Hermione merutuk dalam hati. Kenapa ia bisa salah tingkah begini?

“Hermione.” Gadis berambut coklat itu tak sempat menarik tangan kanannya saat Severus menangkap dan menggenggamnya hangat. “Aku sangat senang kau kembali. Serius.”

Gadis cantik itu tak tahu lagi harus berkata apa. Ia hanya bisa memaksakan seulas senyum tipis dan ada sedikit kekecewaan di hatinya saat Severus melepaskan genggaman tangannya. Ia ingin Severus menggenggam tangannya lebih lama lagi.

Severus memang lumayan pelit bicara kalau sedang makan, membaca, atau bekerja, dan Hermione tahu itu. Tetapi suasana makan malam kali ini malah terasa jauh lebih sepi dari biasanya. Nyaris sesunyi suasana pemakaman. Bunyi denting sendok beradu dengan piring dan suara tetes air dari keran seolah sudah dikeraskan berkali lipat untuk mengisi kekosongan ini.

“Jadi…” Hermione menelan ludahnya dengan agak kesulitan. Dia terlanjur membuka pembicaraan setelah lima menit saling mendiamkan. Severus sudah keburu menghentikan suapannya dan menunggu apa yang ingin dikatakan gadis itu, membuat perasaan Hermione jadi tidak enak. “Jadi, kemana saja kau hari ini?”

Apa harimu indah? Pertanyaan yang satu ini tersangkut di kerongkongan Hermione. Urung terucapkan. Terlalu basa-basi dan klise, pikir gadis itu. Severus pasti akan menganggapku aneh.

“Aku ke pemakaman. Ada seseorang yang meninggal baru-baru ini,” balas Severus dengan nada ogah-ogahan. Pertanyaan Hermione ini sebenarnya wajar saja. Tapi Severus sedang tidak ingin memperpanjangnya.

“Kau pasti bertemu Lily!”

Sontak gerakan pisau dan garpu di kedua tangan Severus terhenti. Mata tajamnya segera menatap Hermione dengan tatapan ala pemburu yang mencermati mangsanya yang sedang tersudut. Ekspresinya yang dingin dan datar tanpa emosi justru membunyikan alarm bahaya bagi Hermione. Jelas sekali kalau Severus sangat tidak menyukai topik pembicaraan ini.

Meski perasaannya tidak karuan, Hermione menolak untuk menyerah. Ia balas menatap mata kelam Severus dengan sorot menantang dan menunjukkan kecemburuannya. Hermione sendiri sadar kalau mungkin saja kekasihnya sedang berusaha membaca pikirannya lewat tatapan mata yang bak sinar laser ini, tapi dia tak punya sesuatu yang harus ia tutupi. Dia tak akan berbohong jika berkata kalau ia benci Severus menemui wanita lain.

“Ya.” Hanya sepatah kata itu saja yang terucap dari bibir Severus sebelum ia kembali sibuk dengan daging asapnya. Padahal Hermione mengharapkan lebih dari sekedar ‘ya’ yang datar seperti ini.

“Lily Evans, benar? Atau aku harus menyebutnya sebagai Lily Potter.”

Mendadak saja Severus meletakkan pisau dan garpunya dengan kekuatan berlebihan, nyaris seperti ingin membantingnya ke meja, dan sontak mengejutkan Hermione. Meski ekspresinya belum banyak berubah, dengan helai-helai rambut yang membingkai wajahnya seperti tirai hitam, dan bibirnya yang tetap berupa garis datar, Hermione tahu kalau pria itu sedang berusaha menahan emosinya.

“Aku memang tidak sengaja menemuinya di pemakaman,” ujar Severus dingin, sebelah alisnya terangkat. “Tapi hanya itu saja. Tak ada lagi hal istimewa yang terjadi di antara kami, kalau itu yang kau cemaskan.”

Hermione berusaha mengatur nafas, meski sepertinya ia bisa menyemburkan nafas api kapan saja. Sulit sekali untuk tidak tampak gusar sekarang ini, meski ia mendengar dengan jelas apa yang sudah diucapkan Severus sebagai pembelaannya. Mungkin ini karena ia sudah tahu siapa jati diri Lily yang tak sengaja terlontar lewat racauan Severus sewaktu mereka sedang asyik bersetubuh. Lily Evans adalah mantan kekasih Severus sebelum wanita itu menikah dengan James Potter.

“Lily Potter itu, di—dia ibu dari sahabatku…” kata Hermione, meremas-remas serbet di tangannya, membayangkan serbet itu sebagai leher Severus saking gemasnya.

“Lalu?”

“Lalu?” tukas Hermione tak sabar. “Tidakkah itu berarti sesuatu untukmu, Sev?”

“Tidak,” balas Severus tenang, malah kembali asyik mengiris potongan daging asap. “Dia boleh saja jadi ibu atau nenek dari siapa saja saat ini. Bukan urusanku lagi.”

“Oh. Aku lega mendengarnya,” kata Hermione dengan nada bicara menekan dalam-dalam. Perubahan ekspresi di wajahnya mau tak mau membuat Severus agak gentar juga. Gadis itu seolah hendak meletuskan gunung berapi di dalam dirinya begitu mendengar sambutan Severus yang dingin dan acuh ini. “Kalau begitu aku tak ingin membahasnya lagi.”

Setelah mengatakan hal ini, Hermione segera bangkit dari kursinya dan berjalan dengan langkah menghentak-hentak, ciri khasnya saat sedang kesal.

“Kalau kau tak ingin membahasnya, masalah ini tidak akan pernah selesai, Hermione!” kata Severus meninggikan nada suaranya dan segera menyusul Hermione yang hendak naik ke lantai atas, menuju ke kamar tidur mereka. Lama-lama ia tak tahan dengan tingkah Hermione ini dan ia tak bisa membiarkan pertengkaran mereka berlangsung lebih lama lagi.

“Kalau kau ingin menyelesaikannya, maka kau tak perlu sedingin ini, Sev!” balas Hermione, berusaha menyingkirkan Severus yang menghadangnya. Namun alih-alih berhasil mendorong pria itu, Hermione justru jatuh ke dalam pelukannya.

“Aku dan Lily benar-benar tidak melakukan apapun. Bahkan kami tidak sengaja bertemu. Hanya itu!!” ujar Severus, mempererat dekapannya. Dalam hatinya ia menyesalkan kenapa Hermione tidak bisa menerima penjelasannya. Ia sudah berkata jujur saja Hermione masih marah, apalagi kalau tidak jujur. Memangnya gadis ini mau aku bicara apa lagi, batin Severus bingung. “Kumohon jangan cemburu buta begini padaku!”

“Cemburu buta? Kepadamu? Enak saja!” sahut Hermione lantang, meronta-ronta dalam pelukan Severus, memukul dan menendang sebisanya seperti seekor kuda liar berontak. “Sekarang lepaskan aku! Lepaskan!!!”

Hermione tidak menyangka kalau Severus benar-benar akan melepaskan dekapannya begitu saja. Gadis itu belum siap. Maka tak ayal lagi ia langsung jatuh terhuyung mundur, dan saat berusaha menyeimbangkan tubuhnya, kaki Hermione malah terserimpet lipatan karpet, dan mendarat dengan posisi kaki yang salah diiringi bunyi debum cukup keras.

“Astaga! Apa yang sudah kulakukan?!” Severus terperanjat, menatap Hermione yang sedang terbaring kesakitan di lantai. Buru-buru ia duduk berlutut dan memeriksa kondisi kekasihnya itu. “Hermione, ka—kau tidak apa-apa, kan, sayang?”

Karena kesal, Hermione sempat menghadiahi dua-tiga kali pukulan ke dada bidang Severus (yang sepertinya tidak banyak berarti bagi pria bertubuh sebesar itu), sebelum menjawab kesal. “Kakiku sakit! Sepertinya aku terkilir, Sev…”

“Maaf…”

“Kenapa kau melepaskanku?”

“Kau sendiri yang memintaku.”

“Tapi jangan tiba-tiba begitu dong! Sakit…” Hermione meringis sambil memegangi kakinya yang terkilir. Well, sebenarnya pantat dan punggungnya juga sakit. Tapi itu tidak sebanding dengan rasa malunya. Ia malu sekali. Untung saja Severus tidak menganggap kejadian konyol ini sebagai hal yang lucu. Malah tampaknya pria itu mencemaskan kondisi kaki Hermione. “Ap—apa yang kau lakukan, Sev?”

“Aku akan menggendongmu ke kamar. Gendong di punggung saja ya? Terakhir kali aku membopongmu, aku malah tak sengaja membuat kepalamu benjol kerena terbentur kusen pintu sewaktu kita hendak masuk kamar. Aku tidak ingin mengulangi kesalahanku,” ujar Severus sambil menyodorkan punggungnya, diam-diam tersenyum geli.

Disclaimer:Credit to LadyKenora for this superb fanart!

Dengan agak terpaksa, Hermione melingkarkan kedua tangannya ke leher Severus , merebahkan badannya di punggung pria itu dan membiarkan dirinya digendong perlahan-lahan menaiki anak tangga. Sesekali ujung hidung mancung Hermione bersentuhan dengan rambut Severus yang berminyak, dan tanpa disadari oleh si pemilik rambut, Hermione menghirup aroma rambut yang khas itu sambil tersenyum penuh arti. Dia sudah merindukan wangi minyak rambut Severus selama tiga hari. Sementara itu, dengan posisi punggung yang berdempetan dengan dada Hermione, Severus bisa merasakan perubahan detak jantung Hermione, dan dia menyukai irama jantung itu. Jantung Hermione yang semula teratur mendadak jadi berdebar kencang. Entah apa yang bisa membuat jantung gadis itu berdebar sekacau ini.

“Nah, sudah sampai,” gumam Severus seraya duduk di tepi ranjang dan membiarkan Hermione memisahkan diri darinya agar bisa berbaring nyaman di ranjang mereka yang empuk. “Tunggu sebentar…”

“Ada apa?” tanya Hermione heran, menyadari Severus mendadak saja tertegun diam menatap vas bunga yang kosong di atas meja di sebelah ranjang mereka.

“Tujuh tangkai bunga Anemone yang ada di vas itu lenyap. Ap—apa kau memindahkannya atau apa…?“

Perasaan Severus jadi tidak enak. Semenjak tahu makna yang tersimpan di balik bunga Anemone, ia jadi begitu menaruh perhatian khusus terhadap kuntum-kuntum bunga tersebut. Entah bagaimana, sepertinya ia mulai menyukai bunga Anemone.

“Aku membuangnya.” Hermione lekas-lekas menyambungnya saat melihat perubahan ekspresi Severus, salah satu alis yang terangkat dan sudut bibir yang berkedut seolah ingin mencemooh. “Bunga-bunga itu sudah layu, sayang. Terima kasih sudah rajin memberinya air selama aku tidak ada. Tapi bunga semacam itu daya tahannya tidak terlalu lama.”

Air muka Severus kembali tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dengan demikian, maka Hermione tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran pria itu.

“Lagipula bukannya kau tak terlalu peduli? Pria seperti kau tidak suka bunga, kan?” kata Hermione, tersenyum masam karena teringat sambutan Severus dulu.

“Tidak. Tidak sebelum memahami bahasa bunga,” balas Severus kalem, dan menirukan ucapan Hermione dulu. “Bunga Anemone merah itu tidak sekedar cantik, sayang.”

“Kau benar.” Raut wajah Hermione berubah cerah. Ia tersenyum manis. Ada perasaan yang sulit dilukiskan mengetahui kalau Severus sudah paham apa tujuannya selalu memajang bunga Anemone itu.

Severus tersenyum tipis, memandangi ekspresi sumringah Hermione dengan kepuasan tersendiri di dalam batinnya. Tak lama kemudian pria itu bangkit dari tepi ranjang dan mengambil sesuatu dari dalam lemari yang ada di sudut ruangan. Hermione mengenalinya sebagai sebotol ramuan herbal, tetap ia baru tahu kalau Severus menyimpan ramuan itu di sana.

“Apa itu balsam?”

“Benar,” sahut Severus ringan, kembali duduk di tepian ranjang untuk kemudian mengangkat kedua kaki Hermione pelan-pelan, dan meletakkan sepasang tungkai kaki mulus kekasihnya itu di pangkuannya.

“Kau mau memijatku, Sev?” tanya Hermione tak percaya.

Severus menjawabnya dengan sentuhan-sentuhan jemarinya di seputaran lutut kaki kiri Hermione, menekan lutut itu perlahan menuju ke betis dan tumit dengan jempol dan ujung jari telunjuknya, lalu mengurutnya dengan mengoleskan balsam itu sedikit demi sedikit. Severus melakukannya secara berulang-ulang dan dalam sekejap saja kaki kiri Hermione yang tadinya terkilir terasa hangat dan berangsur-angsur tidak sakit lagi. Namun rupanya bukan hanya kaki kiri Hermione saja yang mendapat perawatan istimewa ini, tak tanggung-tanggung Severus juga memijat kaki kanan Hermione.

“Sudah baikan?” giliran Severus yang bertanya.

Semburat merah jambu di kedua pipi Hermione adalah jawabannya. Kalau ada ungkapan sedikit bicara dan banyak bekerja, maka ungkapan ini telah diterapkan Severus dengan baik. Juga perhatiannya yang tulus dan tidak disangka-sangka, padahal di saat yang bersamaan pria itu justru menampakkan sikap acuh dan dingin. Sisi misteriusnya selalu mampu membuat Hermione bingung sekaligus gemas, namun gadis itu menyukainya. Sangat menyukainya.

“Sev, kau luar biasa…”

Beberapa helai rambut yang jatuh ke wajah Severus memblokir pandangan Hermione, membuat gadis itu tak bisa tahu seperti apa ekspresi kekasihnya saat mendengar pujian mesra ini. Tapi apapun ekspresi Severus tidaklah penting. Toh pria berambut klimis itu selalu saja mahir menyembunyikan ekspresi dan suasana hatinya dari siapapun.

“Baiklah kalau begitu.”

Severus menyudahi pijatannya, memindahkan kedua kaki Hermione dari atas pangkuannya ke ranjang dengan hati-hati selayaknya sedang memperlakukan porselen yang mudah pecah, dan beranjak dari tepi ranjang. Sepertinya ia hendak meninggalkan kamar. Serta merta dan tanpa basa-basi seperti biasanya.

“Tunggu!” panggil Hermione. Kakinya yang terkilir sudah sembuh dan terasa ringan untuk digerakkan. Namun itu belum seberapa dibanding dengan perasaannya yang melambung tinggi. Ia merasa Severus sudah bersikap cukup manis malam ini dan ia tak bisa menerimanya tanpa membalas. “Kau mau kemana? Tetaplah di sini bersamaku…”

“Aku tidak bisa, sayang. Kali ini giliranku mencuci piring, benar?” balas Severus, tersenyum tipis. Sosoknya yang sedang berdiri diam di ambang pintu terlihat seperti batu karang yang kokoh, menantikan perintah Hermione selanjutnya. Well, sebenarnya dia tidak tergesa-gesa hendak meninggalkan kamar.

“Kalau begitu, lekaslah kembali. Aku punya sesuatu untukmu.” Hermione menyunggingkan senyuman menggoda dan tatapan penuh arti yang segera ditangkap Severus sebagai sebuah sinyal yang ia tunggu-tunggu sejak ditinggalkan kekasihnya itu beberapa hari yang lalu.

Severus pun memincingkan kedua matanya, berpura-pura tak begitu tertarik, dan menjawabnya dengan nada sedatar mungkin. “Baiklah. Terserah kau saja.”

Seusai menutup pintu dan berjalan menjauhi kamar dengan meminimalisir suara langkahnya (dia tak ingin Hermione tahu kalau sebenarnya dia sangat bersemangat), Severus bergegas menuju ke dapur untuk membereskan makan malam. Mencuci piring dan membereskan meja bukanlah hal sulit. Severus hanya butuh waktu sepersekian detik untuk melakukan itu semua. Dengan mantra sederhana saja, piring-piring kotor, sendok, garpu dan lain sebagainya segera mencuci dirinya sendiri, sedangkan makanan yang tak sempat termakan beterbangan masuk ke dalam lemari.

Kemudian, seolah sedang dikejar waktu, Severus buru-buru masuk ke toilet untuk menyikat gigi. Tidak ada ciuman sebelum menyikat gigi usai makan, begitulah aturan yang dibuat Hermione. Karena itulah Severus memastikan giginya sudah benar-benar bersih dan nafasnya sudah wangi. Untuk lebih yakin lagi, Severus berkumur dengan obat kumur. Dia tak mau mengambil resiko seandainya Hermione menolak untuk dicium hanya gara-gara bau mulut.

“Apa aku perlu bercukur…?” tanya Severus pada dirinya sendiri sambil memandangi refleksinya di cermin. Ia baru saja menyisir rambutnya, mencuci muka, dan menyemprotkan parfum khusus untuk pria ke titik-titik tertentu di tubuhnya, dan semua dilakukannya secepat yang ia bisa. Tentu saja ia tidak boleh membiarkan Hermione menunggu terlalu lama. “Atau aku mandi sekalian saja? Ah, sepertinya tidak usah. Begini juga sudah cukup.”

Sambil menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, Severus meyakinkan dirinya sendiri untuk segera berangkat ke medan pertempuran. Tiba-tiba dia merasa gugup sekali, seperti pengantin baru di malam pertama saja. Tidak sabaran dan gelisah, ingin cepat-cepat berkumpul dengan wanita yang dikasihi sekaligus dirindukannya.

Severus bahkan tak peduli kalau dia nekat berlari dan melompati dua anak tangga sekaligus saat menuju ke kamar tidur. Namun ia berhenti dulu selama semenit di depan pintu kamar untuk mengatur nafasnya yang memburu dan merapikan diri sekali lagi. Memeriksa aroma mulutnya yang wangi mint segar, rambutnya yang masih licin berminyak, dan lain sebagainya. Severus mungkin tidak tahu kalau di balik pintu kamar sana Hermione juga sedang jumpalitan sendiri mempersiapkan dirinya untuk segera bisa bermesra-mesraan.

“Hermione. Kau sudah siap?” tanya Severus sambil mengetuk pintu kamar. Beberapa detik kemudian dia sadar. Untuk apa mengetuk pintu kamarnya sendiri? Dia kan bisa langsung masuk saja.

“Masuklah, Sev!”

Teriakan Hermione dari dalam kamar membuat jantung Severus seolah melompat dari rongga dadanya. Ia gelisah, sekaligus sudah tak sabar. Dengan telapak tangan yang dibasahi keringat dingin, Severus memutar kenop pintu, membukanya lebar-lebar dan seketika itu ia merasa seolah sedang berada di surga.

Entah sejak kapan kamar tidur mereka dipenuhi nuansa pink kemerahan, mulai dari sprei, dinding, dan juga gorden. Sementara itu di langit-langit kamar tergantung sebuah lampu kristal yang memancarkan cahaya berwarna pink lembut. Berbatang-batang llin sengaja di letakkan sekeliling kamar, dan ada dua batang lilin aroma terapi yang diletakkan di atas meja di samping ranjang. Hermione pasti buru-buru mendandani kamar mereka begitu Severus meninggalkannya tadi. Apapun itu, hasilnya luar biasa.

“Kenapa bengong? Masuklah, sayang…”

Sekali lagi Severus terpana dengan apa yang dilihatnya. Jika dia memang benar-benar berada di surga, maka Hermione pastilah bidadarinya. Bidadari yang sedang mengenakan jubah mini lentur yang menonjolkan lekuk pinggang, sepasang paha mulus beserta tungkai kakinya indah, dan memamerkan belahan dadanya yang menggiurkan. Kali ini Hermione membiarkan rambut coklat tebalnya terurai sepinggang, memaksa Severus untuk mengakui bahwa kecantikan Hermione semakin terpancar dengan dibingkai rambutnya yang berkilau.

Severus seolah diterbangkan ke awang-awang. Tubuhnya terasa ringan begitu Hermione menarik kedua tangannya. Kekasihnya itu lalu membimbing dan membaringkan tubuh Severus di atas ranjang. Severus nyaris lupa bernafas saat Hermione mulai menaiki tubuhnya, untuk selanjutnya menduduki perut bagian bawahnya dengan memposisikan kedua kakinya di samping kanan-kiri tubuh Severus, dan mulai melucuti jubahnya sendiri.

Lingerie di balik jubah berpotongan minim itu sanggup membuat mata pria mana pun melotot saking seksinya. Bahkan juga Severus yang sudah berulang kali melihat tubuh polos Hermione. Sepertinya gadis itu memang sengaja mengenakan lingerie merah dengan potongan dada sangat rendah begitu untuk menyenangkan hati Severus. Dalam posisi menunduk, payudara Hermione seakan nyaris mencuat keluar dari penutupnya, dan ini mengundang kekaguman Severus. Ia tak akan pernah bosan memandanginya.

“Woman on top,” desis Hermione, tersenyum nakal, sambil melemparkan jubah mininya begitu saja.

“Posisi favoritku,” balas Severus sebelum menyambut kecupan ringan dari Hermione sebagai hidangan awal.

Mereka berdua saling beradu bibir, saling menempelkan bibir dengan penuh kelembutan. Untuk menambah sensasi kenikmatannya, Severus memejamkan kedua matanya dan mengulum bibir Hermione selama beberapa detik. Sementara itu kedua tangan Hermione terulur membelai pipi dan rahang Severus, mengangkat wajah kekasihnya itu setiap kali mereka adu pangut, seolah tidak ingin bibir Severus terpisah terlalu lama dari bibirnya. Bibir bagian bawah Severus menjadi incaran favorit Hermione. Beberapa kali ia mengecup dan mengulum bagian tersebut, sambil sesekali memasukkan lidahnya ke rongga mulut Severus yang mulai terbuka.

Setiap kali bibirnya bersentuhan dengan bibir Hermione, Severus merasakan manis dan pahit yang khas dari rasa coklat. Rupanya tadi Hermione sengaja mengulum permen coklat, dan kini ia membagikan rasa coklat yang lumer di lidahnya kepada Severus. Permen coklat itu pun beberapa kali berpindah dari mulut ke mulut melalui ciuman mereka, dan Severus mulai menikmati memakan permen dengan cara seperti ini.

Kedua tangan Severus tak tinggal diam. Dengan gerakan perlahan dan memutar, kedua tangan pria itu membelai paha mulus Hermione, semakin naik dan naik menuju bongkahan pantat Hermione, untuk kemudian meremas-remas pantat itu seperti sedang meremas adonan kue. Beberapa detik kemudian Severus terkejut menyadari bahwa kekasihnya itu tidak mengenakan celana dalam.

“Kau tidak pakai celana dalam?” tanya Severus, menghentikan cumbuannya sejenak.

“Tidak sempat pakai. Kau kembali terlalu cepat sih,” jawab Hermione ringan, melanjutkan percumbuan mereka. Ia mengulum bibir Severus seperti sedang mengulum permen dan berlama-lama memainkan lidahnya.

Di saat yang bersamaan, dengan posisi yang duduk menindih perut bagian bawah Severus begini, Hermione menggerak-gerakkan pantatnya maju mundur seakan sedang menunggangi kuda. Tak perlu waktu terlalu lama bagi Hermione untuk merasakan bahwa kejantanan Severus yang tepat berada di bawah miliknya sendiri sudah mengeras. Gerakan menggesek dan meliukkan pinggang yang dilakukan Hermione cukup ampuh untuk menghantarkan rangsangan.

Sambil terus menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk area vital kekasihnya, Hermione membiarkan kedua tangan Severus berkelana menjelajahi bagian bawah tubuhnya. Jemari Severus menari-nari di sekitar paha dan betis gadis itu, naik-turun, sesekali meremas-remas, kemudian meluncur menuju ke daerah kewanitaan yang tak tertutup apapun. Hermione mendesah lirih saat Severus menyibak roknya dan menelusupkan salah satu tangannya ke sana, sementara tangan yang satunya masih bermain-main di pantat Hermione yang kenyal.

Namun belum sempat jemari itu menunaikan tugasnya di area kewanitaan Hermione, tiba-tiba saja Hermione menangkap kedua tangan Severus, dan membentangkan kedua tangan tersebut di atas kepala pria itu. Ini dilakukannya sambil terus mengecup mesra bibir Severus dan saling beradu kelihaian lidah masing-masing.

Hermione kemudian sedikit mengubah posisi tubuhnya, tidak lagi duduk tepat di atas area vital Severus, tapi menungging dengan mencondongkan dadanya ke wajah Severus seolah ingin menyodorkan gundukan bulat melimpah miliknya. Lidah Severus terjulur, melata-lata menjelajahi buah dada montok yang disuguhkan tepat di hadapannya. Desahan nikmat Hermione membuat pria itu semakin bersemangat. Dengan giginya, ia berusaha menarik lepas penutup dada kekasihnya. Ia ingin mengecap dan merasakan kenikmatan bagian tubuh yang sejak awal tadi sudah mampu membuat darahnya menggelegak.

“Sev…” Tiba-tiba saja Hermione berbisik di teling kanan Severus. Perubahan posisi yang terakhir ini otomatis menggagalkan upaya Severus. Dengan terpaksa ia hanya bisa memandangi buah dada Hermione yang setengah tersingkap tanpa bisa mengutak-atiknya lagi. “Kau tahu aku sangat mencintaimu, kan?”

Severus mengalihkan perhatiannya dari dada Hermione ke wajah gadis tercintanya itu. Kenapa tiba-tiba Hermione menanyakan hal ini? batin Severus curiga. Tidak biasanya Hermione menghalanginya menjamahi tubuhnya. Bahkan sekarang Severus merasakan kedua tangannya sedang dicengkram Hermione erat-erat agar tidak bisa bergerak.

“Tentu saja, sayang,” balas Severus bingung. Ia pun menengadah agar bisa lebih jelas menatap wajah Hermione. Wajah cantik itu terlihat murung dan membuat hati Severus terusik.

“Kalau begitu maafkan aku. Aku harus melakukan ini.”

“Apa?!”

Sedetik kemudian Severus terkejut bukan main menyadari kedua tangannya sedang terikat kuat pada dua sisi tiang ranjang mereka. Ia tak tahu sejak kapan bisa ada seutas tali tambang yang melilit kedua pergelangan tangannya. Hanya saja seharusnya ia tahu betul kalau Hermione adalah penyihir yang sangat cerdas dan semestinya Severus tidak boleh meremehkan kemampuan gadis itu.

“Kau…? Apa yang kau lakukan?” Severus mulai merasa cemas saat Hermione merogoh saku celananya untuk mengambil tongkat sihir miliknya.

“Tidak. Kau tidak membutuhkan benda ini sekarang, sayang,” kata Hermione enteng seraya melemparkan tongkat sihir itu jauh-jauh. “Nah, sekarang saatnya interogasi,”

“Interogasi apa?”

“Aku ingin tahu apakah kau juga mencintaiku sama seperti aku mencintaimu. Kau tahu sendiri seperti apa masa laluku. Seperti apa dulu kisahku dengan Ron. Tak ada yang pernah kututup-tutupi darimu. Bahkan aku sudah mengenalkan orangtua Muggleku kepadamu, membujuk mereka supaya bersedia menerimamu walau itu sulit. Aku ingin kau juga begitu. Terbukalah kepadaku, Sev!”

Air muka Hermione berubah serius. Dia kembali menduduki area vital Severus dan kini kedua tangannya sibuk melucuti satu-persatu kancing baju pria itu, lalu menyingkap tubuh bagian atas Severus. Merasa belum cukup, Hermione juga melepaskan kait celana panjang Severus dan memelorotkannya sampai ke lutut, membebaskan sesuatu di antara selangkangan kekasihnya itu. Hermione sempat tersenyum kecil saat mengetahui kejantanan Severus sudah terbangun dari tidurnya.

“Oh… Jadi kau ingin menyiksaku secara seksual?” Severus mulai paham, tapi ia hanya terkekeh pelan dan melontarkan sindiran dingin. “Kebetulan. Aku ingin tahu seberapa hebatnya kau dalam menyiksaku.”

“Jangan kuatir. Tiga hari terakhir ini aku sudah belajar banyak dari buku. Tinggal mempraktekkan saja,” balas Hermione sambil tersenyum penuh kemenangan.

Tanpa ragu-ragu, ia menggerayangi organ kelaki-lakian Severus, menggenggamnya dengan lembut, dan mengocoknya seperti sedang mengocok botol bir. Hermione mengocoknya dengan irama yang tidak runtut. Pelan, semakin cepat, dan melambat. Begitu terus berulang-ulang. Pada awalnya Severus masih bisa tahan, tapi lama-kelamaan bahasa tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kenikmatan. Tarikan nafas pria itu mulai tersengal-sengal nikmat, mengangguk-anggukkan kepalanya, dan sesekali terdengar suara lenguhan dari bibir tipisnya.

“Nah, sekarang jelaskan apa hubunganmu dengan Lily?” Hermione langsung menghentikan rangsangannya begitu melihat bahasa isyarat ini.

Namun Severus hanya tersenyum mengejek. Well, ternyata rangsangan Hermione belum cukup ampuh untuk memaksanya bicara. “Hanya segitu, sayang? Kupikir kau sudah tahu keperkasaanku. Tapi rupanya dugaanku salah.”

“Dugaanmu yang salah, Sev…” balas Hermione tak mau kalah.

Apa yang dilakukan Hermione selanjutnya membuat Severus terkesiap. Tak disangka-sangka Hermione memperlakukan kejantanan Severus tak ubahnya seperti es loli. Gadis itu memberanikan dirinya untuk menjulurkan lidahnya dan mulai menyapukannya perlahan-lahan. Mulai dari ujung sampai ke pangkalnya. Ekspresi aneh tercetak di wajah cantik Hermione. Bisa dimaklumi, gadis itu baru pertama kalinya melakukan ini, dan ia terkejut mengetahui seperti apa rasa dan aroma kejantanan itu.

“Tidak suka ya? Menyerah sajalah!” cibir Severus, padahal ada dorongan yang menggebu dalam hatinya agar Hermione sudi melanjutkan aksinya.

“Tidak. Justru aku menyukainya. Rasanya enak juga,” sahut Hermione dengan ekspresi takjub. “Malahan, kupikir akan lebih enak kalau aku olesi ini.”

“Oh… astaga… “ keluh Severus lirih, hanya bisa memandangi pasrah saat Hermione mengoleskan sirup coklat banyak-banyak sampai menutupi seluruh permukaan kelelakian Severus. Rupanya gadis itu memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang dari awal.

Keluhan Severus berganti erangan panjang saat Hermione memasukkan barang kebanggaannya itu ke mulut, dan mengulumnya selama beberapa menit sambil menjilatinya. Tak hanya itu saja, jilatan Hermione juga turun merambah dua butir telur yang ada di bawah kejantanan Severus. Ini membuat Severus semakin berkelonjotan di atas ranjang. Kedua tangannya yang terikat mengepal kuat-kuat, berusaha untuk berontak. Lenguhan nikmat Severus membuat Hermione tambah bersemangat untuk semakin memacu gairah pria itu.

Hermione terus melumat kejantanan Severus sambil sesekali menggigit kecil kulit batangnya. Rongga mulutnya yang hangat dan basah membuat organ vital Severus betah berlama-lama bersarang di sana. Gerakan lidah Hermione yang melata-lata, membersihkan sirup coklat yang berlumuran sampai tuntas, memberikan kenikmatan lebih bagi Severus. Gadis itu terus mengulum dan menyedot tak peduli badan Severus yang sudah gemetaran menahan gelenyar dahsyat karena ulahnya.

Pada awalnya memang Hermione merasa jijik, namun lambat laun rasa jijiknya berangsur hilang. Ia merasakan cita rasa kejantanan Severus tidaklah terlalu buruk. Gadis itu sama sekali tidak merasakan mual dan ingin muntah karena aroma alat kelamin pria yang khas. Seperti yang dikatakannya tadi, ia mulai menyukainya. Menghisap barang milik Severus membuat kewanitaannya berdenyut, membangkitkan gairahnya sendiri. Bahkan timbul perasaan bangga dalam dirinya setiap kali Severus menggeliat, menggelepar liar, dan melenguh keenakan.

“Jangan…” pinta Severus tanpa daya.

Tubuh pria itu terhempas lemas sesaat setelah menegang, nyaris mendapatkan orgasmenya yang pertama kali. Hermione yang menyadari hal ini buru-buru mencabut kejantanan Severus dari mulutnya, dan membuat kekasihnya itu kecewa berat karena seketika itu pula ia gagal meraih puncak kenikmatan. Keringat mengucur membasahi tubuh Severus. Dadanya yang bidang naik-turun seirama dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Wajah Severus yang biasanya pucat kini dipenuhi rona merah, gairahnya masih berkobar-kobar meski baru saja dijatuhkan sedemikian rupa.

“Baiklah… baiklah… Aku akan bicara…” ucap Severus lirih dengan nafas yang masih memburu. “Tapi aku bicara bukan karena kau menyiksaku… aku bicara karena aku mencintaimu… Aku sadar apa kesalahanku… Tidak boleh main rahasia…”

“Itu bagus,” sambut Hermione puas, mempermainkan jari-jarinya di perut Severus yang rata, sambil sesekali iseng menyentil ujung kejantanan Severus yang masih tegang. Rupanya ia masih penasaran dengan benda yang satu itu.

“Lepaskan dulu ikatanku…”

“Tidak.”

“Kumohon…”

“Tidak.” Hermione bersikeras. “Tak ada hubungannya melepas ikatanmu dengan kemauanmu untuk berbicara, Sev. Nah, sekarang katakan apa hubunganmu seperti Lily? Bagaimana sejarah kalian?”

Severus menatap dalam-dalam mata coklat Hermione. Bibirnya masih tertutup rapat. Ia ragu. Selama ini Severus memang selalu memendam segala sesuatu tentang hidup dan masa lalunya rapat-rapat dari semua orang, beranggapan kalau tak ada seorang pun yang bisa ia percayai. Hidupnya adalah miliknya sendiri.

“Lily… kami dulu bersahabat sejak sama-sama belum akhil baligh… pernah berpacaran juga walau cuma seumur jagung. Dia cinta pertamaku, ciuman pertamaku, dan dulunya dia adalah segalanya bagiku. Segalanya bagiku selama hampir seumur hidupku… Tapi itu sebelum ia meninggalkanku... Mencampakkanku seperti seonggok debu kotor…”

Severus menghela nafasnya. Sakit hati itu datang lagi. Membongkar masa lalu yang kelam tidak pernah terasa menyenangkan bagi pria itu. Dia membencinya. Setiap patah kata yang berusaha keras ia ucapkan terasa pahit di lidahnya. Sama pahitnya dengan perasaannya dulu saat ia dibuang, dijauhi, dan dibenci oleh Lily. Menjadi tokoh antagonis memang tidak pernah terasa menyenangkan. Itu adalah sebuah mimpi buruk.

Belaian lembut Hermione menyadarkan Severus. Gadis itu membelai wajahnya dengan tatapan penuh arti, seolah ingin berkata melalui tatapannya bahwa ia tidak terlalu masalah dengan hal ini dan ingin berbagi rasa sakit hati dengan Severus. Hermione, sebagaimana yang diketahui Severus di kali pertama pertama pertemuan mereka dulu, juga pernah merasakan sakitnya dikhianati oleh kekasih yang sempat dianggapnya sebagai cinta sejatinya.

“Sudah puas, sayang?” Severus memincingkan matanya, tampak tak terlalu senang. Bibirnya tipisnya membentuk sebuah cibiran. Dia tak mau dicap melankolis gara-gara ini.

Hermione terdiam sejenak, sebelum memutuskan untuk merebahkan kepalanya di dada Severus yang bidang sambil membelai-belai perut datar kekasihnya itu. Puas? Tentu saja belum. Meski begitu, setelah menyaksikan sendiri betapa sulitnya untuk mencongkel sedikit informasi tentang Lily lewat mulut Severus, gadis itu tahu kalau ia sedang berusaha membongkar sebuah aib. Jantung Severus yang berada dekat sekali dengan telinganya semula berdetak kencang, namun saat Hermione memeluknya hangat, perlahan detak jantung itu kembali normal. Pertanda Severus sudah agak tenang.

“Lalu kenapa kalian bisa berpisah?” tanya Hermione, dan spontan kembali memacu jantung Severus.

“Kau pernah melihat tato jelek dan mengerikan di lengan kiriku, sayang?” Severus menarik nafasnya dalam-dalam. Yang satu ini sudah membebaninya lama sekali. Penyesalan terbesarnya seumur hidup. “Tato itu sungguhan. Tanda kegelapan sungguhan.”

Sontak Hermione mengangkat kepalanya dari dada Severus, lalu bergantian memandangi tato di lengan kiri Severus dan mata kelam pria itu dengan sorot yang mengingatkan Severus akan kenangan lamanya belasan tahun yang lalu. Lily juga pernah memandanginya seperti itu karena tato sialan ini. Sorot yang menunjukkan keterkejutan, cemas, takut, dan marah sama seperti yang ada di mata Hermione saat ini. Tapi khusus untuk Lily, wanita itu juga menambahkan tatapan jijik kepadanya.

Hermione menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan penuturan Severus ini. Tato bergambar tengkorak dengan ular yang terjulur keluar dari mulutnya adalah sebuah pertanda buruk di dunia sihir, lambang dari sebuah organisasi kejahatan besar yang sangat berkuasa di masa lalu, dan sekaligus identitas bagi para anak buahnya. Menculik, menyiksa, dan membunuhi orang-orang adalah hal biasa bagi orang-orang semacam itu.

Di masa-masa sekarang, saat kejayaan organisasi itu sudah jatuh, tato itu hanya jadi semacam olok-olok di mata semua orang. Kalangan anak muda menganggapnya sebagai trend dan mengecap lengan kirinya dengan gambar serupa hanya agar terlihat keren, tanpa tahu betapa dalam dan berbahayanya tanda itu di masa lalu.

Karena itulah, Hermione menganggap Severus hanya latah, ikut-ikutan menandai lengan kirinya untuk menambah kesan garang dan jantan demi tuntutan profesi. Karena sebagai pria penghibur, profesi itu menuntut Severus agar mampu mengesankan pelanggannya. Wanita mana pun pasti penasaran ingin merasakan ketangguhan mantan anggota mafia di ranjang, tanpa peduli apakah tatonya palsu atau asli. Namun Hermione tak menyangka kalau Severus ternyata benar-benar mantan anggota organisasi sihir hitam itu.

“Jadi kau benar-benar…? Oh, aku tak percaya kau baru memberitahukan ini kepadaku sekarang!”

“Aku tahu kau akan terkejut. Karena itu aku tidak memberitahumu!” balas Severus dengan nada tinggi, dan sambil menahan badai hebat yang berkecamuk di dalam batinnya, ia berkata, “Tapi karena kau sudah terlanjur tahu… Kurasa kau sudah bisa meninggalkanku sekarang…”

Meninggalkanku seperti Lily meninggalkanku, batin Severus pahit. Pria itu sadar bahwa citranya sudah teramat parah buruk. Mantan pria penghibur yang juga mantan penjahat. Bagaimana pun juga, Severus menyadari bahwa dulu Lily mengambil keputusan yang tepat dengan mencampakkannya. Wanita sebaik itu tidak boleh berhubungan dengan sampah masyarakat seperti Severus.

“Kalau aku meninggalkanmu, menurutmu apa yang akan terjadi kepadaku, Sev?” tanya Hermione lirih, tersimpan kesenduan di dalam nada bicaranya.

“Kupikir kau akan bertemu dengan pria baik-baik. Yang tampan, kaya dan mungkin berpangkat. Lalu kalian akan punya anak dan hidup berbahagia.” Namun Severus tidak bersungguh-sungguh mengatakan ini. Ia hanya teringat kepada kisah hidup Lily, karena memang begitulah yang dialami oleh wanita itu setelah meninggalkan dirinya.

“Aku sudah pernah bertemu dengan pria baik-baik. Pria yang bukan anggota organisasi kejahatan apapun. Dia juga punya masa depan yang cerah waktu itu, calon Auror. Tapi kau tahu sendiri apa yang sudah ia lakukan kepadaku, Sev. Pria baik-baik itu menghancurkanku berkeping-keping,” ujar Hermione dengan bibir bergetar lirih, sedih sekali. “Intinya, aku tidak butuh pria tampan, pria kaya atau pria baik-baik. Aku membutuhkanmu, Sev. Sungguh.”

“Hermione…”

“Mungkin ini akan terdengar klise dan norak untukmu, tapi aku mencintai dirimu yang seperti ini. Aku mencintaimu apa adanya. Kau yang selalu dingin, membosankan, dan tak pernah lelah melontarkan sindiran tajam kepadaku. Kesinisanmu dan sifat apatismu terhadap banyak hal. Sisi romantismu yang kau simpan rapat-rapat. Senyummu dan tertawamu yang mahal. Selera humormu yang payah. Gaya berpakaianmu yang suram seperti penjaga kuburan. Aku tak masalah dengan itu semua. Aku mencintaimu, dan hanya itulah yang kutahu.”

“Tapi aku juga butuh keterbukaan darimu, karena aku tak bisa hidup bersama seseorang yang begitu tertutup dan misterius sepertimu. Rasa ingin tahuku besar sekali dan itu sudah bawaanku sejak lahir,” Hermione menggigit bagian bawah bibirnya. Saat ini dadanya terasa sangat sesak. “Rasa ingin tahuku telah membawaku untuk menyelidiki siapa itu Lily Evans. Tidak susah untuk melacaknya. Bahkan mudah sekali, dan aku sama sekali tidak menyangka kalau mantan kekasihmu adalah ibu dari sahabatku sendiri. Yeah, dia memang cantik, berkepribadian menarik, dan semua orang senang berada di dekatnya. Tak heran kau bisa jatuh cinta kepadanya.”

Severus terdiam seribu bahasa. Dia tidak ingin berkomentar tentang betapa hebatnya Lily dibandingkan Hermione. Dia mencintai Hermione dengan seribu alasan yang tidak bisa ia jabarkan. Seribu alasan yang membuat ia bisa kembali berdiri tegak setelah sekian lama hancur. Tak pernah sekalipun ia menganggap Hermione sebagai pengganti Lily, karena ia mencintai keduanya dengan cara yang berbeda.

“Aku tak bisa menandingi kehebatan Lily. Aku tidak akan pernah bisa. Tapi aku bersedia memberikan apa yang tidak bisa Lily berikan kepadamu, Sev. Karena itulah aku ada di sini bersamamu sekarang. Karena kau pun berhak untuk hidup bahagia, tak peduli betapa mengerikannya masa lalumu. Dan jika kau sungguh-sungguh ingin merasakan seperti apa kehidupan yang bahagia itu, maka aku akan tetap di sini menemanimu. Karena memang di sinilah tempatku yang seharusnya. Di sampingmu.”

Setelah mengatakan itu semua, Hermione melambaikan tongkatnya dan membebaskan kedua pergelangan tangan Severus dari lilitan tali tambang. Hati gadis itu terasa lapang. Ia sudah mengeluarkan segala uneg-unegnya. Hidup bersama Severus mungkin memang tidak mudah, tapi hidup tanpa kehadiran pria itu di sisinya akan jauh lebih tidak mudah lagi.

“Terima kasih, Hermione.”

Severus mengusap-usap pergelangan tangannya yang terasa kebas. Semua ucapan Hermione tadi telah membuatnya melambung bebas ke awing-awang, bahagia bukan kepalang. Kenyataan bahwa Hermione tidak akan membuangnya setelah mengtahui banyak keburukan dirinya memang patut betul-betul disyukuri.

“Terima kasih sudah melepaskanku, dan… terima kasih sudah mau menerima masa laluku. Terima kasih sudah bersedia kembali ke rumah ini. Terima kasih dan banyak sekali terima kasih yang harus kuucapkan padamu atas semua yang telah kau berikan kepadaku. Mungkin akan makan waktu semalaman jika kau ingin mendengarkan semuanya secara berurutan.”

“Tentu aku mau, sayang. Tapi kita tidak punya banyak waktu lagi, Sev, Aku.. aku sangat merindukanmu dan aku menginginkanmu malam ini,” ujar Hermione sambil tersenyum nakal dan menarik kedua tangan Severus, membimbing pria itu agar mau duduk bersimpuh di atas ranjang dan melakukan posisi woman on top lagi.

Severus meladeni kemauan Hermione dengan senyum tipis. Dia sudah pasrah akan diperlakukan apa saja. Kalau pun Hermione ingin memperbudaknya semalaman pun, ia tak akan menolak. Kerinduan yang dipendamnya selama tiga hari ini harus dilampiaskan. Bahkan ia tak akan ambil pusing andai ranjang mereka sampai roboh karena tidak mampu menahan gempuran demi gempuran yang akan terjadi sebentar lagi. Malam ini dia hanya ingin menjadi seorang penikmat.


Masih bersambung entah sampai kapan


A/N : Jujur, saya ragu sewaktu menulis chapter ini. Karena ada kritikan dari DT yang minta adegan foreplay, intercourse, dan afterplay yang ditulis secara komplit. Tapi mengingat sepertinya chapter ini sudah terlalu panjang. Adegan ‘ini-itu’nya ditunda saja di chapter yang akan datang. Itu pun kalau memungkinkan sih. ^^ -siap-siap dijitak- Chapter ini juga sekaligus menjawab review dari jeng Oryn. Haste Luego!